Download Majalah Farmasetika
fotosensitivitas
Antibiotik Pemicu Fotosensitivitas Obat yang Harus Diketahui Apoteker

Antibiotik Pemicu Fotosensitivitas Obat yang Harus Diketahui Apoteker

Majalah Farmasetika (V1N6-Agustus 2016). Reaksi fotosensitivitas merupakan efek samping yang umum terjadi dari banyak obat, meliputi agen-agen antimikroba, obat-obat anti-inflamasi non-steroid, diuretik, dan kemoterapetik. Faktanya, sekitar 8% reaksi samping dermatologik dikaitkan dengan efek fotosensitisasi dari obat.

Beberapa bahan yang membuat peka terhadap sinar matahari :

Obat antiansietas
Alprazolam
Chlordiazepoxide

Antidepresan
antidepresan trisiklik

Obat antijamur (yang diminum)
Griseofulvin

Antihiperglikemik
Sulfonilurea

Obat antimalaria
Kloroquin
Kuinin

Antipsikotik
Fenotiazin

Diuretik
Furosemid
Tiazid

Obat Kemoterapi
Dacarbazin
Fluorouracil
Methotrexate
Vinblastin

Obat jantung
Amiodarone
Kuinidin

Obat kulit
Antibakteri (chlorhexidine, hexachlorophene)
Obat antijamur
Ter
Pewangi
Tabir surya

Karena antibiotik yang menyebabkan fotosensitivitas banyak digunakan dalam praktik klinis, apoteker harus mengetahui potensi fotosensitivitas saat memberikan obat dan melakukan konseling pada pasien yang mengonsumsi obat-obat ini.

Fototoksisitas atau Fotoalergi?

Fotosensitivitas karena obat merupakan respon kulit terhadap interaksi antara bahan kimia (obat) dan bahan fisik (cahaya). Bahan kimia yang dapat menimbulkan reaksi fotosensitivitas dapat berupa bahan sistemik ataupun bahan topikal. Obat ini merupakan senyawa di-trisiklik, dengan berat molekul 300-500 gm/mol.

Spektrum kerja obat ini adalah spektrum radiasi yang dibutuhkan oleh fotosensitizer karena obat ini berbeda, yakni reaksi fototoksik dan reaksi fotoalergi. Dibutuhkan pemeriksaan dan anamnesa yang teliti untuk dapat menegakkan diagnosis.

Meskipun kedua subkategori fotosensitivitas ini mungkin sulit dibedakan karena manifestasi klinis yang serupa, terdapat beberapa perbedaan yang dapat terlihat.

Reaksi fototoksisitas dapat terjadi pada setiap pasien yang mengonsumsi sejumlah obat tertentu dan terpapar cahaya dalam jumlah tertentu yang dapat menimbulkan reaksi. Dibandingkan dengan reaksi fotoalergi, fototoksisitas membutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi dan dapat muncul pada paparan obat pertama kali. Reaksi fototoksik yang banyak terjadi yaitu sengatan matahari (sunburn) pada area kulit yang terbuka, yang kemudian mengalami hiperpigmentasi.

Baca :  Apoteker Berjuang Lawan COVID-19, Perdana Menteri Inggris Ucapkan Terimakasih

Reaksi fotoalergi lebih jarang terjadi dibandingkan reaksi fototoksik dan dihasilkan oleh imunitas yang dimediasi-sel. Seperti reaksi alergi lainnya, reaksi fotoalergi tidak muncul pada saat paparan obat pertama kali sehingga membutuhkan sensitisasi.

Tidak seperti fototoksisitas, reaksi fotoalergi hanya membutuhkan sejumlah kecil agen pemicu dan kemunculannya dapat tertunda selama beberapa hari setelah paparan terhadap cahaya dan obat. Secara klinis, reaksi ini menyerupai eksim dan dapat menyebar ke area kulit yang tidak terpapar oleh cahaya.

Klik halaman berikutnya >>

Share this:

About Hafshah

Hafshah Nurul Afifah, S.Farm., Apt. meraih gelar sarjana dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran pada tahun 2012. Gelar apoteker diperoleh dari Program Studi Profesi Apoteker Universitas Padjadjaran pada tahun 2016. Tahun 2012 hingga 2013 bekerja full-time sebagai editor buku farmasi di CV. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Saat ini masih aktif sebagai editor dan penerjemah lepas serta bekerja sebagai staff Quality Assurance di sebuah industri farmasi swasta di Bandung.

Check Also

Studi Kasus: Pasien Ibu Hamil di Amerika Meninggal Setelah Tanpa Sengaja Diberi Anastesi Spinal Digoksin

Majalah Farmasetika – Seorang pasien hamil tanpa riwayat medis yang signifikan sedang menjalani persalinan sesar …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.