Download Majalah Farmasetika
regulasi

Ada Apa dengan Surat Izin Apotek “SIA” dan Surat Izin Praktik Apoteker “SIPA” ?

Majalah Farmasetika (V2N1-Januari 2017). Rubrik Opini. Akhirnya yang dinanti-nanti oleh insan kefarmasian di Republik ini telah hadir. Per tanggal 13 Januari 2017, Menteri Kesehatan RI telah resmi mengeluarkan Surat Edaran No. HK.02.02/Menkes/24/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

Surat Edaran Petunjuk Pelaksanaan Permenkes No.31 Tahun 2016

Surat edaran ini berisi petunjuk pelaksanaan Permenkes RI No. 31 Tahun 2016. Surat edaran ini bertujuan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat izin praktik bagi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang akan melaksanakan pekerjaan kefarmasian.

Sebagaimana kita ketahui, Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 merupakan perubahan atas Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Ketentuan dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 yang diubah oleh Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 hanya Pasal 17, 18 dan 19. Hal-hal yang berubah dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 diantaranya adalah nomenklatur surat izin kerja yang harus dimaknai sebagai surat izin praktik.

Kerancuan definisi Surat Izin Apotek

Definisi surat izin kerja dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 adalah surat izin yang diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi. Sehingga dengan terbitnya Permenkes RI No. 31 Tahun 2016, surat izin untuk apoteker diseragamkan menjadi surat izin praktik apoteker (SIPA), baik bagi apoteker yang bekerja di fasilitas produksi, distribusi maupun pelayanan. Selain dari ketiga pasal tersebut, tidak ada perubahan terhadap Permenkes RI No. 889 Tahun 2011.

Lalu apakah definisi Surat Izin Apotek (SIA)? Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, definisi SIA adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan Apotik di suatu tempat tertentu.

Oleh banyak kalangan, definisi SIA tersebut dimaknai sebagai izin terhadap sarana apotek. Padahal jika dicermati lebih lanjut, sejatinya SIA diberikan kepada seorang apoteker, bukan kepada sarana apotek. Inilah awal mula kerancuan terhadap definisi SIA. Lebih lanjut disebutkan bahwa penyelenggaraan apotek dapat dilakukan oleh apotekernya sendiri atau dapat juga apoteker yang bekerjasama dengan pihak lain sebagai pemilik sarana. Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 (PP 51 Tahun 2009) tentang Pekerjaan Kefarmasian, istilah pemilik sarana apotek diganti menjadi pemilik modal.

Penjelasan ini dapat dilihat dalam Pasal 25 PP 51 Tahun 2009. Kedudukan pemilik modal hanyalah memberikan modal dan tidak diperkenankan terlibat dalam pengelolaan apotek. Pekerjaan kefarmasian di apotek tetaplah merupakan kewenangan mutlak seorang apoteker.

Kerancuan Definisi SIA berimbas Kepada Pemberian Izin Apotek

Kerancuan definisi SIA ini juga berimbas kepada pemberian izin apotek di instansi pemerintah daerah. Peraturan ini juga menyebutkan bahwa Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotik kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Baca :  Penelitian Buktikan Resep Elektronik Mampu Tingkatkan Kepatuhan Pasien

Banyak ditemukan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang masih rancu terhadap definisi SIA yang dianggap sebagai izin terhadap sarana apotek. Bahkan dibeberapa kabupaten/kota, instansi yang mengeluarkan SIA bukan Dinas Kesehatan akan tetapi dialihkan ke Badan/Dinas Perizinan Terpadu.

Pengalihan ini merupakan imbas dari Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Peraturan tersebut mengamanatkan dibentuknya instansi khusus yang berwenang mengeluarkan seluruh perizinan pemerintah daerah, sehingga tidak ada lagi perizinan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan.

Dinas Kesehatan hanya Berwenang untuk Memberikan Rekomendasi Teknis

Dinas Kesehatan hanya berwenang untuk memberikan rekomendasi teknis sebelum dikeluarkannya SIA oleh Badan/Dinas Perizinan Terpadu. Hal ini semakin menambah kerancuan tentang perizinan apotek di kabupaten/kota.

Jika berbicara dalam kerangka pembinaan dan pengawasan terhadap sarana apotek, pihak Dinas Kesehatan setempat terkadang tidak dapat serta merta mencabut SIA walaupun ditemukan pelanggaran terhadap aturan yang ada. Namun yang terjadi, Dinas Kesehatan memberikan rekomendasi pencabutan SIA kepada Badan/Dinas Perizinan Terpadu. Sehingga keputusan akhirnya bukan berada di Dinas Kesehatan.

Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Dinkes menjadi Kurang Bertaji

Hal ini membuat fungsi pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan menjadi kurang bertaji terhadap sarana apotek, dikarenakan kewenangan perizinannya dipangkas oleh aturan yang ada. Sehingga banyak terjadi, pemilik modal masih bisa melobby pihak Badan/Dinas Perizinan Terpadu untuk urung mencabut SIA yang sudah direkomendasikan untuk dicabut oleh Dinas Kesehatan.

Sering juga terjadi, pihak pemilik modal menjalin kerjasama dengan apoteker lain dikarenakan apoteker sebelumnya mengakhiri kerjasama. Namun apotek tetap buka sekalipun apoteker telah berganti. Padahal sekali lagi, SIA adalah izin yang diberikan kepada seorang apoteker, bukan sarana apotek. Bila apoteker berganti, maka SIA menjadi batal demi hukum.

Jika kita hitung masa berlakunya, Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 telah berusia 15 (lima belas) tahun. Padahal ada banyak sekali perubahan aturan dan situasi lapangan yang telah terjadi. Saat keluarnya Peraturan Pemerintah No. 51 (PP 51) Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ada harapan agar kerancuan-kerancuan tentang aturan perizinan apotek dapat terselesaikan, khususnya tentang SIA dan SIPA.

Dua tahun berselang, yaitu pada Tahun 2011 keluarlah Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian yang salah satunya mengatur tentang SIPA. Akan tetapi Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 dan Permenkes RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tetap belum dicabut. Mulai saat itu muncul dualisme aturan perizinan apotek yaitu SIA dan SIPA. SIA tetap dimaknai sebagai izin terhadap sarananya dan SIPA dimaknai sebagai izin terhadap tenaga apotekernya. Padahal idealnya, keluarnya Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 haruslah dibarengi dengan keluarnya aturan baru yang mencabut Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 dan Permenkes RI No. 922/Menkes/Per/X/1993.

Substansi dalam Regulasi Juga Terjadi Kerancuan

Itu dari sisi kedudukan regulasi. Dari substansi yang ada dalam regulasi-regulasi tersebut juga terjadi kerancuan. Surat Edaran No. HK.02.02/Menkes/24/2017 Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian justru memuat tentang SIA yang sama sekali tidak diatur dalam Permenkes RI No. 889 Tahun 2011 dan Permenkes RI No. 31 Tahun 2016. Hal ini mungkin kelalaian yang semestinya tidak perlu terjadi.

Baca :  Dianggap Tidak Sah, Gugatan Ribuan Calon Apoteker Korban UKAI Ditolak PTUN

Dalam salah satu poinnya menyebutkan bahwa SIA bersifat melekat pada SIPA dan memiliki masa berlaku sesuai dengan SIPA. Babak baru kerancuan pun kembali terjadi. Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 dan Permenkes RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 yang mengatur tentang SIA menyebutkan bahwa SIA tidak memiliki masa berlaku. Secara logika hukum, seharusnya poin tentang pengaturan masa berlaku SIA pada surat edaran tersebut menjadi cacat hukum dikarenakan bertentangan dengan aturan yang masih berlaku, yaitu Kepmenkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 Permenkes RI No. 922/Menkes/Per/X/1993.

Kesimpulan

Mungkin tidak banyak pihak yang menyadari kerancuan-kerancuan di atas. Namun sebagai seorang apoteker, sudah sewajarnya memahami bahwa ada banyak ketentuan yang mengatur tentang pekerjaan kefarmasian. Seharusnya tidak terjadi tumpang tindih dan pertentangan antar peraturan yang ada.

Penjelasan-penjelasan diatas mudah-mudahan menjadi bahan masukan bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI agar dapat lebih cermat lagi dalam mengeluarkan peraturan. Ada baiknya sebelum mengeluarkan peraturan, dilakukan uji publik terlebih dahulu sebagaimana proses yang dilakukan oleh kementerian lainnya.

Sebagai contoh, dalam proses perencanaan pembangunan dilakukan kegiatan forum konsultasi publik sebelum dokumen perencanaan pembangunan dibahas dalam kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

Forum konsultasi publik ini dilakukan untuk meminta masukan dari berbagai pihak khususnya di luar pemerintahan dalam penyempurnaan rancangan awal dokumen perencanaan pembangunan. Inilah yang disebut sebagai pendekatan partisipatif.

Bila pendekatan ini dilakukan, maka inilah yang menjadi salah satu kunci sukses dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu tranparansi dan akuntabilitas. Kedepan, mudah-mudahan Kementerian Kesehatan RI dapat lebih mewujudkan tranparansi dan akuntabilitas dalam proses pembentukan aturan perundang-undangan. Semoga.

Daftar Pustaka :

  1. Republik Indonesia, 2009 Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta : Sekretariat Negara
  2. Republik Indonesia, 2002 Keputusan Menteri Kesehatan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Jakarta : Kementerian Kesehatan
  3. Republik Indonesia, 2011 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta : Kementerian Kesehatan
  4. Republik Indonesia, 2016 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Perubahan atas Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta : Kementerian Kesehatan
  5. Republik Indonesia, 2017 Surat Edaran No. HK.02.02/Menkes/24/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
  6. Kesehatan RI No. 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Jakarta : Kementerian Kesehatan
Share this:

About Decky Ferdiansyah

Decky Ferdiansyah, S.Si, Apt. Seorang praktisi dan pemerhati kesehatan yang bekerja sebagai PNS di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung. Lulus sebagai Apoteker pada Tahun 2004 dari Universitas Padjadjaran Bandung. Tercatat sebagai anggota Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Provinsi Lampung. Menyukai aktivitas membaca dan menulis. Saat ini sedang menempuh Program Pascasarjana Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung

Check Also

Ayok Apoteker! Tunjukkan Peranmu Untuk Pengaruhi Pasien Agar Mau Divaksinasi

Majalah Farmasetika – Pembicaraan tentang vaksinasi hanya meningkat sejak pandemi COVID-19. Menurut temuan dari sebuah …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.