Download Majalah Farmasetika

Bagaimana Cara Menentukan Masa Simpan atau “Shelf Life” Vaksin Kadaluarsa?

Majalah Farmasetika – Produk farmasi, meliputi obat (sintesis maupun tradisional), serum, termasuk vaksin memiliki batas waktu layak guna (expiration date) sebagaimana halnya juga pada produk pangan.Vaksin merupakan produk farmasi bersifat heterogen yang mengandung zat imunogenik yang mampu mendorong imunitas pada tubuh yang bersifat spesifik, aktif, dan protektif terhadap penyakit menular.

Apa itu kadaluarsa atau waktu simpan?

Penetapan “expiration date” atau waktu kadaluarsa pada produk vaksin selain ditujukan untuk menjaga konsumen dari dampak buruk akibat produk yang sudah berubah, juga untuk menjamin efektivitas dan mutu dari produk yang dipasarkan.Namun demikian, pemahaman mengenai makna keterangan “expiration date” atau “masa simpan” terhadap produk-produk farmasi masih minim di khalayak umum.

Walaupun “masa simpan” dan “kadaluarsa” memiliki makna yang sama, penggunaan “masa simpan” pada vaksin lebih umum digunakan.Masa simpan atau “shelf life” dapat diartikan sebagai periode dalam waktu, dimulai sejak waktu produk dihasilkan, dimana produk masih memiliki spesifikasi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam menjamin efikasi dan keamanan produk dalam kondisi penyimpanan tertentu.

Cara penentuan masa simpan vaksin

Masa simpan vaksin ditentukan berdasarkan hasil serangkaian pengujian yang dinamakan sebagai “uji stabilitas”.Uji stabilitas vaksin merupakan serangkaian pengujian yang dirancang untuk memperoleh informasi mengenai kestabilan vaksin untuk menentukan umur simpan dan periode penggunaannya dalam kondisi pengemasan dan penyimpanan tertentu.Stabilitas vaksin sendiri dinilai sebagai kemampuan vaksin untuk mempertahankan sifat kimiawi, fisik, mikrobiologis, dan biologisnya dalam batas yang ditentukan selama masa pakainya.

Bergantung pada sifat antigen dan komponen lain serta pada proses pembuatannya, parameter yang menunjukkan stabilitas vaksin harus dipilih berdasarkan kasus per kasus.

Dalam pemilihan parameternya, idealnya harus mencerminkan hubungan antara kualitas vaksin dan efikasi atau keamanan sebagaimana yang dilakukan dalam uji klinis. Untuk sebagian besar vaksin, potensi dianggap sebagai parameter yang menunjukkan dampak terhadap imunogenisitas dan efektivitas.

Parameter uji stabilitas

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penentuan parameter juga perlu didasarkan atas jenis vaksin yang diuji. Untuk jenis vaksin virus hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine), titer merupakan parameter yang menunjukkan stabilitas nyata yang dapat dipelajari secara langsung dari setiap lot maupun batch.Parameter lain yang dapat menyebabkan perubahan dalam kualitas vaksin dengan efek yang tidak diketahui pada kemanjuran dan keamanan juga perlu diperhatikan.

Baca :  Vaksin COVID-19 Sukses Lindungi Monyet dari Infeksi Virus SARS-CoV-2

Parameter tersebut meliputi kandungan antigen, penampilan, pH, keamanan umum, toksisitas spesifik, kandungan agen antimikroba, kelengkapan adsorpsi, sterilitas, adjuvan (adsorben), dan perubahan fisik maupun kimia. Adapun untuk vaksin jenis virus non-hidup (non-live vaccine), sangat kecil kemungkinan untuk dapat menguji potensi secara langsung kecuali pada vaksin yang diformulasikan (misalnya teradsorpsi).

Uji stabilitas vaksin berbeda dengan obat

Berbeda halnya dengan uji stabilitas pada obat-obatan, frekuensi pengujian pada uji stabilitas vaksin tidak dapat ditentukan secara mutlak dalam jangka waktu yang ditentukan. Titik waktu yang tepat untuk pengujian stabilitas vaksin harus ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik vaksin yang akan diuji, laju perubahan parameter yang diukur, tujuan pengujian, desain studi dan analisis data selanjutnya.

Masa simpan vaksin kemudian ditentukan berdasarkan analisis data secara statistik menggunakan uji regresi linear dimana variabel bebasnya adalah waktu sedangkan variabel terikatnya adalah potensi. Dari analisis statistik ini akan diperoleh sebuah persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara kedua variabel tersebut. Masa simpan atau masa kadaluarsa dinilai sebagai waktu dimana potensi vaksin menunjukkan angka 90% dari potensi awal.

Implikasi zona waktu berbeda

Dengan demikian, menjadi sebuah implikasi menarik bilamana suatu produk vaksin yang diproduksi di suatu daerah atau negara tertentu, bila didistribusikan ke daerah atau negara lain tentu harus dilakukan pengujian ulang untuk menyesuaikan data hasil uji dengan kondisi dimana vaksin akan digunakan.

Apakah produk vaksin yang didistribusi antar daerah harus dilakukan uji stabilitas ulang atau tidak dapat didasarkan pada perbedaan zona iklim antar negara.

Dalam acuan pengujian stabilitas produk farmasi, dunia terbagi ke dalam empat zona iklim, meliputi zona iklim I, II, III, dan IV. Indonesia sendiri termasuk ke dalam zona iklim IV. Adapun perbedaan kondisi lingkungan dari masing-masing zona iklim dapat dilihat berdasarkan gambar di bawah

Masing-masing zona iklim memiliki kondisi suhu dan kelembaban yang berbeda. Perbedaan ini tentunya dapat berpengaruh terhadap stabilitas vaksin sebagaimana halnya pada produk obat-obatan.

Baca :  CDC Rilis Aturan Tanpa Jaga Jarak dan Masker Bagi yang Sudah Divaksinasi Penuh

Peningkatan suhu pada lingkungan dapat berakibat pada peningkatan reaksi molekuler yang terjadi pada bahan-bahan penyusun vaksin, termasuk virus yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, produk vaksin yang diproduksi di negara dengan zona iklim II yang semula memiliki masa simpan yang lebih lama, saat dipasarkan di Indonesia yang termasuk ke dalam zona iklim IV akan memiliki masa simpan yang lebih singkat.

Hal tersebut dapat terjadi akibat adanya peningkatan suhu lingkungan yang secara tidak langsung juga meningkatkan laju reaksi pada produk yang mempercepat perubahannya hingga menjadi bentuk tidak stabil. Penjelasan ini dapat tergambar sebagaimana pada persamaan Arrhenius yang menjelaskan hubungan antara laju reaksi yang diimplikasikan oleh konstanta laju reaksi (k) dan suhu (T) berikut:

Berdasarkan persamaan tersebut, kenaikan suhu (T) berakibat pada peningkatan konstanta laju reaksi (k). Peningkatan konstanta laju reaksi ini berakibat pada peningkatan laju perubahan bentuk stabil vaksin ke bentuk tak stabilnya yang berarti mempercepat proses menuju bentuk tak stabilnya. Dengan kata lain, semakin besar nilai k maka masa simpan vaksin akan semakin singkat.

Kesimpulan

Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam melihat masa simpan vaksin tidak dapat ditinjau berdasarkan data yang disajikan oleh produsen semata. Faktor kondisi lingkungan yang mempengaruhi stabilitas vaksin dapat menjadi faktor koreksi yang menyebabkan terjadinya perbedaan masa simpan vaksin pada daerah-daerah tertentu.

Tentu penting bagi otoritas kesehatan setempat untuk melakukan penyesuaian keterangan masa simpan tersebut untuk menjamin mutu, keamanan, dan khasiat vaksin dapat tetap terjaga hingga ke tangan konsumen.

Sumber:

Aashigari, S., Ramya G. G., Snesha, S. et al. 2018. Stability Studies of Pharmaceutical Products. World Journal of Pharmaceutical Research, 8(1): 479-492.
Puglielli, M. 2014. What Is Shelf Life Testing Of A Pharmaceutical Product?. Accessed online at https://www.aniglobalsource.com/blog/what-is-shelf-life-testing-of-pharmaceutical-product.
WHO. 2006. Guidelines on Stability Evaluation of Vaccines.

Share this:

About Cecep Suhandi

Cecep Suhandi adalah mahasiswa Farmasi Universitas Padjadjaran. Saat ini Cecep sedang membangun @herbalreports, sebuah platform berisi informasi seputar herbal dan manfaatnya.

Check Also

Terobosan Inovatif! Nanopartikel Lipid Efektif Sebagai Pembawa Vaksin mRNA Virus Infeksi Paru-Paru

Majalah Farmasetika – Nanopartikel dapat meningkatkan kelarutan obat, membantu dalam menghindari sistem kekebalan tubuh, dan …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.