Download Majalah Farmasetika
Sumber Gambar : Media Indonesia

Maraknya Bilik Disinfektan, Peneliti SF ITB Ingatkan Resiko Bahaya Penggunaannya

farmasetika.com – Sekelompok peneliti dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF ITB) memberikan kajian (29/3/2020) terkait bahaya penggunaan desinfektan yang berlebihan dan tanpa pengawasan terutama pada penggunaan bilik disinfeksi (disinfection chamber).

Seperti kita ketahui, saat ini di berbagai titik fasilitas umum, bahkan di titik masuk perumahan dibangun bilik disinfeksi untuk pencegahan penyebaran virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab wabah COVID-19.

Menurut laporan Amirah Adlia dkk melalui situs resmi SF ITB terkait COVID-19, upaya pencegahan penyebaran virus dengan cara bilik disinfeksi diadopsi di beberapa tempat oleh masyarakat, meskipun dengan menggunakan alat sesederhana botol semprot. Berbagai macam cairan disinfektan yang digunakan untuk bilik disinfeksi ini diantaranya adalah diluted bleach (larutan pemutih/natrium hipoklorit), klorin dioksida, etanol 70%, kloroksilenol, electrolyzed salt water, amonium kuarterner (seperti benzalkonium klorida), glutaraldehid, hidrogen peroksida (H2O2) dan sebagainya.

Apa itu disinfeksi?

Disinfeksi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat membunuh kuman/mikroba (bakteri, fungi, dan virus) yang terdapat di permukaan benda mati (non-biologis, seperti pakaian, lantai, dinding) (Centers for Disease Control and Prevention, CDC) [1].

Efektivitas dari disinfektan dievaluasi berdasarkan waktu kontak atau “wet time”, yakni waktu yang dibutuhkan oleh disinfektan tersebut untuk tetap berada dalam bentuk cair/basah pada permukaan dan memberikan efek “membunuh” kuman. Waktu kontak disinfektan umumnya berada pada rentang 15 detik sampai 10 menit, yakni waktu maksimal yang ditetapkan oleh United States Environmental Protection Agency (EPA) [2].

Waktu kontak dan konsentrasi efektif belum diketahui

Waktu kontak efektif dan konsentrasi cairan disinfektan yang disemprotkan ke seluruh tubuh dalam bilik disinfeksi untuk membunuh mikroba belum diketahui, apalagi waktu kontak efektif terhadap virus SARS-CoV-2. Pada konsep bilik disinfeksi, baik waktu kontak maupun konsentrasi efektif akan sulit dipenuhi. EPA tidak menyarankan penggunaan produk disinfektan yang belum teruji efikasinya jika digunakan dengan metode aplikasi lain seperti fogging, electrostatic sprayer atau penyemprotan.

Hingga saat ini, belum ada data ilmiah yang menunjukkan berapa persen area tubuh yang “terbasahi” cairan disinfektan dalam bilik ini serta seberapa efektif metode ini dalam “membunuh” mikroba. Ketika disinfektan disemprotkan dalam bilik ini, bisa jadi virus justru menyebar ke area yang tidak terbasahi oleh cairan ini. Hal ini dapat membahayakan pengguna bilik selanjutnya jika ada virus yang “tersisa” di dalam bilik dan terhirup pengguna tersebut.

WHO tidak menyarankan penggunaan alkohol dan klorin

World Health Organization (WHO) tidak menyarankan penggunaan alkohol dan klorin ke seluruh permukaan tubuh karena akan membahayakan pakaian dan membran mukosa tubuh seperti mata dan mulut [3].

Baca :  Mengenal SADS-CoV, Virus Korona Babi yang Berpotensi Menular ke Manusia

Penelitian yang dipublikasikan pada JAMA Network Open Oktober 2019 menemukan bahwa sebanyak 73.262 perawat wanita yang rutin tiap minggu menggunakan disinfektan untuk membersihkan permukaan alat-alat medis berisiko lebih tinggi mengalami kerusakan paru-paru kronik [4].

Inhalasi gas klorin (Cl2) dan klorin dioksida (ClO2) dapat mengakibatkan iritasi parah pada saluran pernafasan (WHO) [5].

Penggunaan larutan hipoklorit dan electrolyzed salt water bisa berbahaya

Penggunaan larutan hipoklorit pada konsentrasi rendah secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan iritasi kulit dan kerusakan pada kulit.

Dan penggunaannya pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kulit terbakar parah. Walaupun data masih terbatas, inhalasi hipoklorit (OCl) dapat menimbulkan efek iritasi ringan pada saluran pernafasan [6].

Penggunaan electrolyzed salt water sebagai disinfektan pada bilik disinfeksi, memiliki mekanisme dasar menghasilkan klorin sebagai disinfektan. Efek samping yang muncul akan sama seperti alkohol dan klorin. Sejauh ini, potensi penggunaan electrolyzed salt water untuk menginaktivasi virus, yang dipublikasikan pada Journal of Veterinary Medical Science, ditentukan dengan mencampurkan virus dengan air [7], sehingga waktu kontak juga berpengaruh pada efektivitas inaktivasinya.

Penggunaan kloroksilenol bisa mengiritasi kulit bahkan kematian

Kloroksilenol (bahan aktif cairan antiseptik komersial) yang juga digunakan sebagai salah satu disinfektan untuk bilik disinfeksi dapat meningkatkan resiko tertelan atau secara tidak sengaja terhirup. Studi pada hewan menunjukan bahwa kloroksilenol menyebabkan iritasi kulit ringan dan iritasi mata parah.

Kematian terjadi pada dosis tinggi (EPA) [8]. Studi medis yang dilakukan di Hong Kong, dimana melibatkan 177 kasus keracunan cairan antiseptik komersial yang mengandung kloroksilenol, menunjukkan komplikasi serius pada 7% pasien hingga terjadinya kematian [9].

Penyemprotan disinfektan ke tubuh dan jalan raya tidak efektif

Penyemprotan disinfektan ke tubuh manusia, udara, dan jalan raya dipandang tidak efektif. Selain itu, penggunaan berlebihan disinfektan berpotensi menimbulkan bahaya bagi kesehatan dan lingkungan [10]. Salah satunya adalah timbulnya resistensi, baik resistensi bakteri ataupun virus terutama apabila disinfektan tidak digunakan pada konsentrasi idealnya.

“Perlu studi lebih lanjut dalam pemilihan disinfektan yang aman dan efektif untuk bilik disinfeksi, mengingat dengan cara ini memungkinkan terjadinya kontak antara cairan disinfektan dengan kulit, mata dan dapat terhirup. Pengawasan pihak terkait dalam suatu aturan/pedoman menjadi sangat penting untuk meminimalisir efek bahaya dari disinfektan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.” tertulis dalam sebuah pernyataan di pusat informasi COVID-19 SF ITB.

Perlu edukasi yang tepat untuk disampaikan kepada masyarakat

Jika disinfektan semprot memang terbukti aman dan efektif secara ilmiah, edukasi lain yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah bilik disinfeksi ini hanya berfungsi untuk membersihkan permukaan tubuh atau pakaian saja (mengurangi jumlah mikroba) dan tidak menyembuhkan pasien yang telah terjangkit virus corona atau jika virus sudah masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Masyarakat harus tetap berupaya untuk mencegah pemaparan virus SARS-CoV-2 sesuai dengan poin 12.

Baca :  WHO Minta Lanjutkan Uji Klinik Hidroksiklorokuin untuk COVID-19

Solusi aman untuk pencegahan pemaparan virus SARS-CoV-2 saat ini sesuai rekomendasi WHO adalah dengan cuci tangan menggunakan sabun (minimal 20 detik), mandi serta mengganti pakaian setelah melakukan aktivitas dari luar atau dari tempat yang terinfeksi tinggi, serta menerapkan physical distancing (minimal 1 meter).

Sumber :
Tanggapan terhadap maraknya penggunaan disinfektan pada bilik disinfeksi untuk pencegahan COVID-19
oleh: Amirah Adlia, Andhika Bintang Mahardhika, Anita Artarini, Catur Riani, Hubbi Nashrullah Muhammad, Muhamad Insanu, Neng Fisheri Kurniati, Rika Hartati, Yuda Prasetya Nugraha. Sekolah Farmasi ITB (https://fa.itb.ac.id/tanggapan-terhadap-disinfektan-bilik/, farmasi@fa.itb.ac.id, Instagram: farmasiitb)

Referensi :

  1. Kementerian Kesehatan RI Pedoman Bahan Berbahaya Pada Produk Alat Kesehatan dan PKRT; Kementerian Kesehatan RI, 2012; ISBN 978-602-235-238-9.
  2. Lowe, R.; Strazdas, L.; Quon, J.; Srikanth, M. The importance of contact time and visible wetness to ensure effective disinfection. Available online: https://www.beckershospitalreview.com/quality/the-importance-of-contact-time-and-visible-wetness-to-ensure-effective-disinfection.html
  3. World Health Organization Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public: Myth busters. Available online: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus- 2019/ advice-for-public/myth-busters.
  4. Dumas, O.; Varraso, R.; Boggs, K.M.; Quinot, C.; Zock, J.-P.; Henneberger, P.K.; Speizer, F.E.; Le Moual, N.; Camargo, C.A. Association of Occupational Exposure to Disinfectants With Incidence of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Among US Female Nurses. JAMA Netw. Open 2019, 2, e1913563.
  5. Amy, G.L.; Bull, R.; Craun, G.F.; Pegram, R. a.; Siddiqui, M. Disinfectants and disinfectant by-products. Available online: www.who.int/ipcs/publications/ehc/ehc_216/en/.
  6. Slaughter, R.J.; Watts, M.; Vale, J.A.; Grieve, J.R.; Schep, L.J. The clinical toxicology of sodium hypochlorite. Clin. Toxicol. 2019, 57, 303–311.
  7. BUI, V.N.; NGUYEN, K. V.; PHAM, N.T.; BUI, A.N.; DAO, T.D.; NGUYEN, T.T.; NGUYEN, H.T.; TRINH, D.Q.; INUI, K.; UCHIUMI, H.; et al. Potential of electrolyzed water for disinfection of foot-and-mouth disease virus. J. Vet. Med. Sci. 2017, 79, 726–729.
  8. US EPA Pesticides – Fact Sheet for Chloroxylenol Available online: https://www3.epa.gov/pesticides/chem_search/reg_actions/reregistration/fs_PC-086801_1-Sep-94.pdf.
  9. Lam, P.K.; Chan, C.K.; Tse, M.L.; Lau, F.L. Dettol poisoning and the need for airway intervention. Hong Kong Med. J. 2012, 18, 270–5.
  10. Xiao, Y.; Torok, M.E. Taking the right measures to control COVID-19. Lancet Infect. Dis. 2020.
Share this:

About farmasetika.com

Farmasetika.com (ISSN : 2528-0031) merupakan situs yang berisi informasi farmasi terkini berbasis ilmiah dan praktis dalam bentuk Majalah Farmasetika. Di situs ini merupakan edisi majalah populer. Sign Up untuk bergabung di komunitas farmasetika.com. Download aplikasi Android Majalah Farmasetika, Caping, atau Baca di smartphone, Ikuti twitter, instagram dan facebook kami. Terimakasih telah ikut bersama memajukan bidang farmasi di Indonesia.

Check Also

Strategi Mengatasi Migrain pada Anak: Panduan Lengkap untuk Orang Tua dan Pasien

Majalah Farmasetika – Migrain adalah gangguan sakit kepala yang ditandai dengan serangan berulang yang menyakitkan …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.