Download Majalah Farmasetika
Presidium Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) bersilaturahim ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah , Jl. Cik Ditiro No.23, Terban, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Sumber : FB FIB)

UU Praktik Kefarmasian Pertegas Cakupan Layanan Praktik Apoteker di Masyarakat

Majalah Farmasetika – Cakupan peran praktik kefarmasian mencakup aspek yang sangat luas dan unik karena meliputi kesehatan manusia dan juga kesehatan hewan, dari pembuatan, pendistribusian, pengelolaan, penggunaan, pelayanan kefarmasian maupun penelitian dan pengembangan sediaan farmasi yang terdiri dari bahan obat, obat, obat tradisonal dan kosmetika maupun obat hewan.

“Luasnya cakupan dan uniknya Praktik Kefarmasian ini ternyata masih belum memiliki regulasi yang mengatur secara konprehensif praktek kefarmasian, sehingga pada gilirannya justru membayakan keselamatan pasien maupun kesehatan manusia secara luas akibat penyalah gunaan dan pengguna salahan sediaan farmasi maupun obat hewan” Terang apt. Sudarsono, M.Sc., salah satu kontributor RUU Praktik Kefarmasian sesuai press rilis yang redaksi terima (9/4/2021).

Penggunaan obat hewan yang serampangan berakibat pada resiko terjadinya resistensi antibiotik dan mengganggu kesehatan manusia.

Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakuakan oleh M.A. Hanny Ferry Fernand dan Rosita Dwi Chrisnandari tentang Kajian Residu Tetrasiklin HCl dalam Daging dan Hati Ayam Broiler pada Beberapa Peternakan di Kabupaten Lamongan Menggunakan Metode Spektrofotometri Ultraviolet yang dimuat dalam Journal of Pharmacy and Science Vol. 6 No.1, (Januari 2021), menyimpulkan bahwa  kadar  residu  tetrasiklin  HCl pada daging dan hati ayam Broiler melebihi tingkat residu maksimum antibiotik kelas tetrasiklin dalam daging  dan  susu  berdasarkan  SNI  01-6366-2000 yang  membatasi  residu  tidak  lebih  tinggi  dari  0,1 ppm.

Di lain pihak keterlibatan langsung Praktik kefarmasian oleh apoteker dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien memberikan efek yang positif terhadap keluaran terapi yang diberikan kepada pasien dengan diabetes mellitus di keresidenan banyumas.

Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwonugroho dkk yang dimuat dalam Journal of Applied Pharmaceutical Science 11 (03); 2021: 054-059 tanggal 5 maret 2021 dengan judul penelitian Community pharmacist home visit-based intervention improved diabetes patients’ outcomes: A randomized controlled trial.

Ternyata praktik kefarmasian di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi kesehatan manusia saja, tetapi juga diperuntukkan bagi kesehatan veteriner dengan melayani resep dokter hewan yang berupa obat hewan dalam kategori obat keras sebagaimana diamanatkan dalam pasal 51 UU No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Lebih jauh pada PP No.3 Tahun 2017 Tentang Otoritas Veteriner pada pasal 35 pasal 4 huruf e menyebutkan bahwa Tenaga paramedik veteriner salah satunya adalah tenaga yang memiliki kompetensi teknis di bidang farmasi veteriner.

Baca :  FIB Akan Lakukan Langkah Strategis Hingga Judicial Review PMK No. 3 Th. 2020

“Namun, patut disayangkan peraturan-perundangan yang ada saat ini belum memberikan ruang yang cukup bagi apoteker untuk melakukan praktik kefarmasian veteriner” lanjut Sudarsono. 

“Praktik kefarmasian ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu oleh apoteker sebagai satu-satunya profesi tenaga kefarmasian di Indonesia yang dapat dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian dan/atau asisten tenaga kefarmasian sebagaimana termuat dalam UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan” Tegas Sudarsono

Peraturan-perundangan terkait SDM kefarmasian saat ini yaitu pasal 1 ayat 6 PP No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi dan penjelasan pasal 11 ayat 6 UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, memiliki kecenderungan untuk mengaburkan batas-batas kompetensi professional tenaga teknis kefarmasian karena menggunakan istilah atau sebutan yang sama untuk ahli madya farmasi dan analis farmasi sebagai tenaga teknis kefarmasian, padahal sesungguhnya 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian ini secara akademik memiliki kompetensi professional yang berbeda.

Selain itu, memasukkan sarjana farmasi dalam kelompok tenaga teknis kefarmasian adalah suatu hal yang keliru karena secara akademik sarjana kefarmasian tidak memiliki kompetensi professional sebagai tenaga kesehatan.

“Hal ini tentunya sangat berpotensi membahayakan keselamatan pasien dan akan mengganggu akurasi data sebaran tenaga teknis kefarmasian dengan kompetensi professional membantu apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian di sarana pelayanan kesehatan” lanjut Sudarsono.

“Sudah selayaknya Sarjana Farmasi diakomodir menjadi profesi Apoteker, melalui system pendidikan terintegrasi (Sarjana Farmasi + Apoteker)” lanjutnya.

Dalam kesempatan lain, Ketua Presidium FIB apt. Dasrul menyimpulkan peraturan perundangan yang ada saat ini secara definisi belum mengatur dengan jelas keberadaan apoteker dan apoteker spesialis dengan kekhususan kompetensi professional yang dimilikinya.

Hal ini dapat terlihat pada pasal 1 ayat 5 PP No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi, dimana apoteker secara sederhana didefinisikan sebagai seorang sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

“Akibatnya, ditengah kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dibidang kedokteran dan kefarmasian yang spesialistik, apoteker sebagai profesi tenaga kefarmasian seolah-olah ketinggalan dan gagal mengikuti tren perkembangan ilmu pengetahuan dan hanya fokus mengerjakan kegiatan-kegiatan praktik kefarmasian terutama pelayanan kefarmasian yang bersifat administratif logistik dan sangat tradisional” Tekan Dasrul 

Baca :  FIB : Wabah COVID-19, Apoteker Berperan Tangani Perbekalan Farmasi dan Alkes

Dasrul mengungkapkan bahwa praktik kefarmasian oleh Apoteker memiliki peran strategis dalam sistem kesehatan di Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan pencapaian tujuan pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Peran strategis praktik kefarmasian itu tertuang dalam PP No.72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional, dimana sebagai salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional, dengan melakukan praktik kefarmasian yang benar diharapkan dapat menjamin: aspek keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.

“Peran strategis Praktik Kefarmasian dalam sistem kesehatan di Indonesia menurut pasal 108 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional dalam rangka menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau” Kata Dasrul.

“Namun hingga saat ini pengaturan Praktik Kefarmasian belum diatur dalam UU sehingga berpotensi membahayakan Ketahanan Negara dan masyarakat.” lanjutnya.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berorientasi pada keselamatan pasien serta dapat mengakomodasi luasnya cakupan aspek praktik kefarmasian serta keunikan praktik kefarmasian, maka perlu mengatur Praktik Kefarmasian dalam suatu undang – undang.

“Secara resmi sudah kita ajukan ke DPR. Untuk finalisasi draf, FIB akan menggandeng semua unsur dan stakeholder kefarmasian, tanpa terkecuali” Tegas Dasrul.

“Selain itu FIB juga sudah meminta arahan dan dukungan 2 ormas terbesar di tanah air melalui PBNU dan PP Muhammadiyah.” tutupnya. (NW/Red).

Draft RUU Praktik Kefarmasian bisa dilihat di https://gudangilmu.farmasetika.com/draft-rancangan-undang-undang-praktik-kefarmasian/

Share this:

About Apoteker Sudarsono

Apoteker Klinis di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung,

Check Also

Simak! Kemenkes Terbitkan Panduan Terbaru Penerbitan SIP Bagi Tenaga Medis dan Kesehatan

Majalah Farmasetika – Pada tanggal 12 Januari 2024, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi G. Sadikin, …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.