Majalah Farmasetika-Rubrik Opini (V1N5-Juli 2016). Sungguh menarik tema diskusi yang ada di tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 19 Juli 2016 di stasiun televisi Tv One, yaitu “vaksin palsu, bagaimana dengan obat?”. [Baca : PP IAI di ILC “Vaksin Palsu” Tegaskan Pentingnya Peranan Apoteker Terkait Penanganan Obat]
Berawal dari penemuan Bareskrim
Kasus penemuan vaksin palsu oleh Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (Bareskrim Mabes Polri) telah membuka tabir yang bertahun-tahun tertutup. Betapa tidak, praktek pembuatan, pendistribusian dan penggunaan vaksin palsu oleh oknum-oknum tenaga kesehatan telah dilakukan secara massif, rapi dan bertahan lama.
Dari penyelidikan awal oleh pihak Bareskrim Mabes Polri, terungkap bahwa praktek haram ini telah berjalan sejak tahun 2003 sampai sekarang. Artinya selama kurun waktu tersebut, sudah ribuan vaksin palsu dibuat, diedarkan dan digunakan disarana-sarana pelayanan kesehatan. Sungguh ini merupakan tragedi kemanusiaan. Apalagi yang menjadi korban adalah bayi-bayi dan anak-anak yang kelak akan menjadi pewaris bangsa besar ini. Bagaimana nasib bangsa ini kedepan ada dipundak mereka. Merekalah aset terbesar bangsa ini.
Regulasi yang terkait dengan peredaran obat dan vaksin
Jika kita menelisik lebih lanjut tentang regulasi obat dan vaksin, maka sebenarnya ada banyak sekali regulasi dan prosedur yang sangat ketat terkait hal tersebut. Leading sector pemerintah adalah Kementerian Kesehatan sebagai regulator dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sebagai operator. Ada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan lain sebagainya. Selain itu masih terdapat banyak regulasi setingkat Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan juga Peraturan Kepala Badan POM. Hal ini diatur agar obat dan vaksin yang digunakan untuk pelayanan kesehatan dapat terjamin ketersediaaan, keamanan dan mutunya demi mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Maka yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kasus vaksin palsu ini masih terjadi dan dalam jangka waktu yang sangat lama? Siapakah yang salah? Apa solusi kedepannya agar hal seperti ini tidak terjadi lagi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar timbul ditengah-tengah masyarakat. Apalagi masyarakatlah yang menjadi korban dari kejadian ini semua. Yang lebih menyedihkan, korban secara langsung menimpa bayi-bayi dan anak-anak. Sungguh sepertinya sudah habis bahasa untuk mengungkapkan keprihatinan atas tragedi ini. Dimana peran negara selama ini?
Jalur distribusi legal tidak ditemukan peredaran vaksin palsu
Dalam diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 19 Juli 2016 di stasiun televisi Tv One, terungkap paparan Kementerian Kesehatan RI dan Badan POM RI bahwa terdapat dua jalur produksi dan distribusi peredaran obat dan vaksin, yaitu jalur distribusi legal dan jalur distribusi ilegal.
Jalur distribusi legal melibatkan produsen/pabrik pembuat vaksin, distributor yang berbadan hukum dan berizin resmi yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan pengguna yaitu rumah sakit, klinik, dan apotek.
Pada jalur ini tidak ditemukan adanya vaksin palsu. Yang menjadi masalah adalah produksi dan distribusi vaksin palsu pada jalur ilegal. Karena ilegal, maka tidak ada data resmi yang dapat menjadi pegangan. Aspek produksi vaksin palsu pada jalur ini dilakukan secara sembarangan dan tidak mengikuti aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Bagaimana mungkin vaksin yang langsung disuntikkan ke tubuh bayi dan anak-anak dibuat dalam skala produksi rumah tangga, menggunakan fasilitas seadanya dan dilakukan oleh tenaga yang tidak berwenang dan berkompeten untuk hal itu. Apalagi wadah-wadah vaksin yang digunakan adalah wadah sisa limbah dari vaksin yang berasal dari rumah sakit – rumah sakit swasta.
Terungkap bahwa kandungan yang ada dalam vaksin palsu tersebut sangat berbeda dengan yang tertera pada kemasannya. Selain diproduksi secara sembarangan, vaksin-vaksin palsu tersebut diedarkan juga melalui jalur ilegal dan penanganan selama distribusipun dilakukan tidak tepat. Padahal distribusi vaksin harus memenuhi aturan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).
Rantai dingin (cold chain) harus selalu dijaga sesuai dengan suhunya. Hal ini untuk tetap menjaga keamanan dan kualitas vaksin itu sendiri. Maka sekalipun masa kadaluarsanya masih panjang, vaksin yang tidak dijaga rantai dinginnya akan mudah sekali rusak. Ada indikator tertentu yang bisa dilihat pada kemasannya bila suatu vaksin telah rusak. Vaksin rusak seperti ini sekalipun diproduksi dengan benar, tidak dapat digunakan lagi untuk pelayanan kesehatan.
Klik halaman berikutnya >>
Praktik kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian
Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dipenjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu adalah tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (asisten apoteker). Tenaga kefarmasianlah yang diberi kewenangan oleh regulasi dalam hal produksi, distribusi dan pengadaan obat dan vaksin.
Apoteker berperan penting dalam produksi dan distribusi obat dan vaksin
Berdasarkan pengalaman sebagai apoteker ketika mengunjungi fasilitas pabrik obat dan vaksin, maka akan ditemukan banyak sekali aspek-aspek CPOB yang sangat ketat, dilakukan oleh tenaga-tenaga yang kompeten dan diawasi oleh Badan POM. Hal ini dilakukan untuk memastikan kualitas (quality assurance) produk obat dan vaksin yang dibuat. Penanggungjawab quality assurance dipabrik obat haruslah seorang apoteker. Hal ini selain sesuai dengan regulasi yang ada, juga dikarenakan bahwa apotekerlah yang berkompeten dalam hal tersebut. [Baca : Gambaran Singkat Proses Pengemasan Vaksin di GlaxoSmithKline]
Seorang apoteker dididik dan dilatih untuk memastikan bahwa produk obat dan vaksin yang dibuat harus aman dan berkualitas. Karena produk-produk tersebut langsung dimasukkan kedalam tubuh manusia untuk kepentingan pengobatan. Jika tidak dilakukan oleh tenaga yang tidak berkompeten, maka obat dan vaksin tidak akan aman dan berkualitas dan dapat mengancam keselamatan jiwa orang yang menggunakannya.
Pada fase distribusi obat dan vaksin juga harus diisi seorang apoteker sebagai penanggungjawab. Ketika sebuah produk obat dan vaksin diproduksi dengan aspek CPOB yang ketat, maka perlakuan yang sama harus diterapkan ketika obat dan vaksin melewati fase distribusi yaitu dengan menerapkan aspek CDOB yang ketat. Maka distributor resmi yang boleh mengedarkan vaksin ini harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat.
Fasilitas distribusi dan penyimpanan yang dimiliki harus terlebih dahulu diperiksa oleh Kesehatan Kesehatan dan Badan POM sebelum mereka mendapatkan izin pendistribusian. Dan untuk memastikan aspek ini terpenuhi adalah seorang apoteker yang diberi kewengan untuk itu. Maka tepatlah peran apoteker sebagai penanggungjawab sebuah distributor obat.
Menjadi benarlah apa yang diungkap oleh Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Nurul Falah Eddy Pariang dalam tayangan diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) tersebut. Bahwa jikalau dari aspek produksi, distribusi dan pengadaan obat dan vaksin di sarana-sarana kesehatan dilakukan oleh apoteker, maka tidak akan ditemukan obat dan vaksin palsu.
Asumsi penyebab adanya vaksin palsu
Mengapa ditemukannya kasus vaksin palsu ini? Karena pengelolaannya tidak dilakukan oleh apoteker. Ditambah lagi dengan adanya oknum tenaga kesehatan yang tergiur dengan keuntungan dari penjualan dan penggunaan vaksin ilegal. Terlebih oknum-oknum tenaga kesehatan itu tidak percaya dengan vaksin produksi PT. Biofarma yang merupakan satu-satunya produsen vaksin milik pemerintah. Padahal kebutuhan vaksin untuk program imunisasi pemerintah telah dijamin cukup tersedia oleh pemerintah dengan didukung oleh PT. Biofarma. [Baca : 8 Poin Penjelasan Bio Farma Terkait Peredaran Vaksin Palsu]
Perencanaan kebutuhan vaksin imunisasi secara nasional telah disusun secara detail dan akurat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi se Indonesia dan juga Kementerian Kesehatan RI. Bahkan data cakupan imunisasi nasional dari Kementerian Kesehatan RI untuk seluruh balita yang ada telah mencapai angka 93 persen. Porsi terbesar dari cakupan imunisasi ini ada pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatan swasta? Inilah yang menjadi titik lemah dan temuan vaksin palsu yang diungkap oleh pihak kepolisian.
Dampak ditemukannya vaksin palsu
Banyak sekali hikmah yang bisa kita dapatkan dari kasus vaksin palsu ini. Semua vaksin palsu yang ditemukan oleh Bareskrim Mabes Polri adalah vaksin dengan merk dan produksi luar negeri. Kalau saja para orang tua mengimunisasi bayi dan anak-anaknya pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah, maka tidak akan ada cerita vaksin palsu. Dan ini terbukti dari pernyataan pihak kepolisian bahwa vaksin palsu hanya ada pada fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta.
Momentum ini harus menyadarkan masyarakat bahwa merk dan produksi vaksin luar negeri tidaklah menjamin keamanan dan mutunya. Bagi para tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan haruslah berbenah dan menata diri untuk lebih percaya pada produksi dalam negeri yang sudah berkala internasional seperti PT. Biofarma.
Mudah-mudahan tidak ada lagi cerita vaksin palsu, obat palsu dan produk-produk kesehatan palsu yang lainnya. Sehingga kita sebagai bangsa dapat mencapai cita-cita Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28H ayat 1, yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Artikel Majalah Farmasetika ini termasuk kedalam artikel edisi khusus yang telah diterbitkan di http://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…