Edukasi

10 Hasil Penelitian Klinis Diabetes yang Wajib Diketahui Apoteker

Majalah Farmasetika (V1N6-Agustus 2016). Selama bertahun-tahun, sejumlah penelitian klinis penting di bidang diabetes telah diterbitkan dan menghasilkan metode-metode pengobatan diabetes yang saat ini digunakan. Seorang ahli farmasi klinis di Horizon Blue Cross Blue Shield of New Jersey, Timothy O’Shea, PharmD, merangkum 10 penelitian mengenai diabetes yang wajib diketahui oleh Apoteker pada situs pharmacytimes.com.

Menurut Sample Registration Survey 2014. Diabates dengan komplikasi menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Sementara, data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan, jumlah penyandang diabetes di Indonesia diperkirakan sebesar 10 juta dengan menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia.

Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia menunjukan kecenderungan meningkat, yaitu dari 5,7% tahun 2007, menjadi 6,9% tahun 2013. Dikutip dari data yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, 2/3 diabetesi (sebutan untuk penderita diabates) di Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki diabetes.

Berikut ini 10 penelitian mengenai diabetes yang wajib diketahui oleh setiap apoteker.

1. UGDP (1970)

Pertama kali dilaksanakan pada tahun 1960, UGDP merupakan salah satu uji klinis acak skala besar pertama yang dilakukan di Amerika Serikat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas obat-obat antidiabetes jangka-panjang dalam mencegah atau memperlambat komplikasi vaskular pada diabetes.

Sejumlah 823 pasien berusia rata-rata 53 tahun dikelompokkan secara acak pada kelompok tolbutamid (suatu senyawa sulfonilurea), insulin standar, insulin variabel, atau plasebo. Perlakuan dengan fenformin (suatu senyawa biguanida) ditambahkan 18 bulan setelah rekrutmen dimulai untuk agen tersebut.

Karena banyaknya kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pasien-pasien yang diberi tolbutamid, peneliti menghentikan tujuan penelitian ini sebelum akhir perlakuan. Kira-kira 2 tahun kemudian, mereka juga menghentikan rekomendasi untuk memberikan fenformin pada pasien karena tingkat kematian yang lebih tinggi akibat penyakit kardiovaskular dan penyakit lainnya.

Perlakuan 2 kelompok insulin dilanjutkan hingga akhir masa perlakuan pada pasien, tetapi keduanya tidak lebih efektif dari plasebo dalam memperpanjang masa hidup atau memperlambat onset dan pembentukan komplikasi vaskular.

Kesimpulan
Baik insulin maupun agen-agem hipoglikemik lainnya yang diteliti tidak memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap komplikasi vaskular dibandingkan perbaikan pola makan saja. Tolbutamid dan fenformin menyebabkan tingkat kematian yang lebih tinggi.

2. UKPDS (1998)

Diawali oleh hasil penelitian UGDP (1970), penelitian ini merupakan penelitian terbesar dan terlama yang pernah dilaksanakan pada pasien-pasien diabetes tipe 2 (DT2). Penelitian ini melibatkan 5.102 pasien yang baru didiagnosa DT2 di 23 pusat pengobatan di Kerajaan Inggris pada tahun 1977 hingga 1991. Pasien-pasien ini dipantau rata-rata selama 10 tahun untuk menentukan efek kontrol glikemik intensif terhadap kejadian komplikasi vaskular dan membandingkan kelebihan dan kekurangan berbagai obat antidiabetes (metformin, golongan sulfonilurea, dan insulin. Manfaat obat-obat inhibitor ACE dan beta-bloker terhadap berbagai target tekanan darah (TD) juga diteliti.

Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan risiko sebesar 25% pada titik akhir mikrovaskular pada kelompok pengobatan-intensif (median HbA1C 7%) terhadap kelompok pengobatan-konvensional (HbA1C 7,9%). Meskipun terdapat kecenderungan terhadap penurunan risiko komplikasi mikrovaskular, kecenderungan ini tidak mencapai signifikansi secara statistik. Kelompok intensif menunjukkan lebih banyak episode hipoglikemik dan kenaikan berat badan dibandingkan kelompok konvensional.

Tidak terdapat perbedan yang tampak pada laju kematian akibat infark miokard atau gejala diabetes lainnya pada partisipan yang diberi terapi senyawa sulfonilurea atau insulin.

Pada sub-kelompok subjek berat badan berlebih, pasien yang diberi terapi intensif dengan metformin mengalami penurunan risiko komplikasi akibat diabetes dan tingkat kematian secara keseluruhan terhadap perbaikan pola makan saja.

Pengendalian tekanan darah yang ketat menurunkan morbiditas dan mortalitas terkait diabetes, dengan masing-masing tingkat penurunan yang mencapai signifikansi secara statistik. Perbedaan tekanan darah dapat dibandingkan antar-agen antihipertensi yang digunakan.

Kesimpulan
Pengendalian glikemik intensif (median HbA1C 7%) pada DT2 menghasilkan penurunan risiko komplikasi mikrovaskular, tetapi tidak memiliki efek yang signifikan secara statistik terhadap tingkat kematian akibat penyakit makrovaskular.

Klik halaman berikutnya >>

3. ADVANCE (2009)

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun informasi dari UKPDS untuk menentukan apakah target HbA1C ≤6,5% yang lebih intensif akan menghasilkan manfaat lebih besar dalam menurunkan risiko penyakit vaskular dan menyelidiki manfaat pengendalian tekanan darah lebih lanjut pada pasien diabetes.

Penelitian acak terkontrol pada lebih dari 11.000 pasien DT2 ini dilaksanakan pada 215 pusat pengobatan di 20 negara dengan durasi tindakan rata-rata 5 tahun.

Pada akhir periode perlakuan, nilai HbA1C rata-rata 6,5% pada kelompok kontrol-intensif dan 7,3% pada kelompok kontrol-standar. Pada kelompok perlakuan-intensif, terdapat penurunan 10% yang signifikan secara statistik pada keseluruhan kejadian penyakit makrovaskular dan mikrovaskular. Penyebab utama penurunan ini yaitu 21% penurunan relatif risiko neropati baru atau yang memburuk; tidak terdapat bukti penurunan kejadian penyakit makrovaskular.

Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok tersebut dalam hal tingkat kematian, tetapi kebutuhan rawat inap dan hipoglikemia berat lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol-intensif.

Untuk analisis tekanan darah, penggunaan perindopril dan indapamid menunjukkan penurunan risiko kejadian penyakit-penyakit vaskular utama dan tingkat kematian, terlepas dari tekanan darah awal.

Kesimpulan
Kontrol glikemik intensif yang menargetkan HbA1C ≤6,5% menunjukkan hasil yang lebih baik pada kejadian mikrovaskular, tetapi tidak memberikan pengaruh pada kejadian makrovaskular pada pasien-pasien DT2. Peningkatan kebutuhan rawat inap dan hipoglikemia berat merupakan komplikasi yang potensial pada kontrol intensif.

4. ACCORD (2008)

Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah strategi terapi yang menargetkan HbA1C <6% akan menurunkan tingkat kejadian penyakit kardiovaskular (dibandingkan HbA1C 7% hingga 7,9%) pada orang dewasa penderita DT2 atau menyebabkan penyakit kardiovaskular atau faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya.

Sejumlah 10.251 pasien laki-laki dan perempuan (rata-rata berusia 62 tahun, median HbA1C 8,1%) secara acak dimasukkan ke dalam kelompok terapi intensif atau kelompok terapi-standar.

Median HbA1C yang stabil pada 6,4% dan 7,5% diperoleh pada kedua kelompok pada 1 tahin dan menetap selama periode perlakuan. Setelah sekitar 3,7 tahun perlakuan, penelitian dihentikan lebih awal karena kontrol glikemik intensif menyebabkan peningkatan tingkat kematian akibat secara keseluruhan dan akibat kardiovaskular. Dibandngkan dengan kelompok terapi standar, kelompok terapi intensif juga menunjukkan laju hipoglikemia, peningkatan berat badan, dan retensi cairan yang lebih tinggi secara signifikan.

Kesimpulan
Target glikemik yang lebih intensif (HbA1C <6,0%) meningkatkan tingkat kematian dibandingkan kontrol standar (7%; 7,9%)

5. VADT (2009)

Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pasien-pasien DT2 menentukan pengaruh terapi glikemik intensif terhadap kejadian penyakit makrovaskular dan mikrovaskular, tetapi hasilnya berupa hasil keseluruhan. VADT membandingkan lebih lanjut pengaruh kontrol glukosa intensif dan standar terhadap kejadian kardiovaskular.

Dari Desember 2000 hingga Mei 2003, 1791 pasien (usia rata-rata 60,4 tahun, HbA1C rata-rata 9,4%) dilibatkan dalam penelitian ini, dengan akhir pengamatan pada 30 Mei 2008. Partisipan diacak ke dalam kelompok kontrol glukosa standar dan intensif.

Pada waktu pengamatan 5,6 tahun, kelompok terapi-intensif memiliki HbA1C lebih rendah dibandingkan kelompok terapi standar (6,9% vs 8,4), tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang ditemukan selama waktu hingga kejadian kardiovaskular pertama muncul. Pengaruh minimal terhadap komplikasi mikrovaskular teramati pada kelompok kontrol intensif.

Efek samping yang paling banyak terjadi yaitu hipoglikemia, dengan lebih banyak episode secara signifikan terjadi pada kelompok terapi intensif daripada kelompok terapi standar.

Pada analisis post-hoc, pengobatan intensif menghasilkan perbaikan pada tingkat kematian jika dimulai dalam 15 tahun periode awal diagnosis diabetes, tetapi kurang bermanfaat dan kemungkinan berbahaya pada pasien diabetes dengan durasi yang lebih lama.

Kesimpulan
Kontrol glikemik intensif memiliki pengaruh minimal terhadap kejadian makrovaskular dan mikrovaskular pada DT2, meskipun memiliki manfaat pada pasien dengan durasi penyakit yang lebih singkat.

6. 10 Tahun Studi Lanjutan UKPDS dan VADT (2008, 2015)

Studi lanjutan UKPDS selama 10 tahun memeriksa 7 sejumlah hasil klinis spesifik pada basis tujuan-terhadap-pengobatan.

Terlepas dari tidak adanya perbedaan HbA1C antar-kelompok pada 1 tahun, penurunan risiko mikrovaskular lebih lanjut teramati selama 10 tahun pengamatan lanjutan. Selain itu, penurunan risiko kematian akibat infark miokard dan kematian secara keseluruhan juga teramati. Manfaat lanjutan setelah terapi metformin juga teramati pada pasien-pasien dengan berat badan berlebih.

Dalam pengamatan lanjutan VADT selama 10 tahun, kelompok terapi intensif secara signifikan memiliki risiko yang lebih rendah dalam waktu hingga kejadian kardiovaskular utama pertama muncul dibandingkan kelompok terapi standar. Tidak terdapat penurunan yang teramati pada hasil sekunder tingkat kematian akibat kardiovaskular dan secara keseluruhan.

Kesimpulan
Terdapat manfaat terhadap kardiovaskular dengan terapi glikemik intensif pada 10 tahun pengamatan lanjutan, tetapi tidak terdapat penurunan tingkat kematian akibat kardiovaskular.

Klik halaman berikutnya >>

7. PROactive (2005)

Penelitian prospektif, acak, dan terkontrol ini memeriksa efek pioglitazone terhadap pencegahan sekunder kejadian penyakit makrovaskular pada pasien DT2 berisiko tinggi.

Sebanyak 5.238 pasien DT2 dengan bukti penyakit makrovaskular dikelompokkan pada kelompok pioglitazone dan plasebo yang akan diberikan selain obat-obat penurun kadar glukosa dan obat lainnya.

Hasil akhir primer (gabungan tingkat kematian secara keseluruhan, infark miokard non-fatal, stroke, sindrom koroner akut, dan beberapa hasil akhir lainnya) tidak mencapai signifikansi secara statistik. Hasil akhir sekunder (gabungan tingkat kematian secara keseluruhan, infark miokard non-fatal, stroke) secara signifikan lebih rendah pada kelompok pioglitazone. Sedikit lebih banyak partisipan yang mengonsumsi pioglitazone dirawat inap karena gagal jantung.

Kesimpulan
Pada pasien DT2 berisiko tinggi, pioglitazone tidak menurunkan hasil akhir makrovaskular primer. Akan tetapi, teradapat penurunan secara signifikan pada hasil akhir sekunder penyakit kardiovaskular utama.

8. EMPA-REG OUTCOMES (2015)
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh empagliflozin terhadap morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular pada pasien DT2 yang berisiko tinggi terhadap kejadian kardiovaskular.

Penelitian ini melibatkan pengacakan 7.020 pasien pada kelompok empagliflozin oral harian 10 mg, 25 mg, dan plasebo. Durasi pengobatan rata-rata yaitu 2,6 tahun dan waaktu pengamatan rata-rata yaitu 3,1 tahun.

Empagliflozin menghasilkan penurunan hasil primer (kematian keseluruhan akibat kardiovaskular, infark miokard non-fatal, dan stroke non-fatal. Obat ini juga menghasilkan risiko kematian yang jauh lebih rendah akibat kardiovaskular, kematian akibat penyebab lainnya, dan rawat inap akibat gagal jantung. Sedikit penurunan teramati pada berat badan, lingkar pinggang, serta tekanan darah sistol dan diastol pada pasien yang diobati dengan empagliflozin dibandingkan plasebo.

Kesimpulan
Empagliflozin mengurangi laju kejadian penyakit kardiovaskular pada pasien DT2 yang memiliki risiko tinggi kardiovaskular.

9. LEADER (2016)

Penelitian multicenter, double-blind, dan dengan kontrol plasebo ini menyalidiki keamanan kardiovaskular liraglutida selama periode hingga 5 tahun. Penelitian ini melibatkan lebih dari 9.000 pasien dewasa dari 410 lokasi di 32 negara. Hasil keseluruhan primer dalam analisis waktu terhadap kejadian adalah kejadian pertama kematian akibat kardiovaskular, infark miokard non-fatal, atau stroke non-fatal.

Kelompok liraglutida menunjukkan risiko yang secara statistik terhadap hasil primer. Ditemukan juga risiko kematian yang lebih rendah akibat penyakit kardiovaskular, kematian akibat penyebab lainnya, dan kejadian mikrovaskular.

Kesimpulan
Pasien-pasien DT2 yang diberi liraglutida mengalami penurunan kejadian kardiovaskuler yang signifikan dibandingkan plasebo.

10. The North American Comparator Trial (2013)

Penelitian ini dilaksanakan untuk menentukan perbedaan akurasi antara sistem pemantauan glukosa darah (blood glucose monitoring system, BGMS) Contour Next EZ dengan 4 BGMS lainnya (Accu-Chek Aviva, FreeStyle Freedom Lite, One Touch Ultra 2, and True-Track).

Hingga 3 sampel darah kapiler diambil dari 146 subyek dengan dan tanpa diabetes. Akurasi BGMS dibandingkan menggunakan mean absolute relative difference (MARD) dan analisis lainnya. Selama memeriksa kadar glukosa, Contour EZ memiliki MARD paling rendah (4,7%); Accu-Chek, FreeStyle, One Touch, and True-Track memiliki nilai MARD 6,3%, 18,3%, 23,4%, and 26,2%, secara berturut-turut. Untuk sampel dengan konsentrasi glukosa

Kesimpulan
Contour Next EZ meter merupakan BGMS paling akurat yang diperiksa.

Sumber :

  1. http://www.pharmacytimes.com/contributor/timothy-o-shea/2016/07/10-diabetes-studies-every-pharmacist-should-know
  2. http://lifestyle.sindonews.com/read/1101939/155/penderita-diabetes-di-indonesia-ketujuh-terbesar-di-dunia-1460963840
Hafshah

Hafshah Nurul Afifah, S.Farm., Apt. meraih gelar sarjana dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran pada tahun 2012. Gelar apoteker diperoleh dari Program Studi Profesi Apoteker Universitas Padjadjaran pada tahun 2016. Tahun 2012 hingga 2013 bekerja full-time sebagai editor buku farmasi di CV. EGC Penerbit Buku Kedokteran dan hingga saat ini masih aktif sebagai editor dan penerjemah lepas. Penulis pernah bekerja sebagai ASN di Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Maret 2019-Juni 2020 sebagai Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Pertama (analis laboratorium vaksin), namun saat ini kembali bekerja sebagai Spv. Registration Officer di sebuah industri farmasi swasta di Bandung.

Share
Published by
Hafshah

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

4 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

2 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

2 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago