Edukasi

Alasan Ilmiah Antioksidan Penting dalam Proses Penyembuhan Luka Kronis

Majalah Farmasetika (V1N6-Agustus 2016). Luka kronis merupakan masalah besar dalam pengobatan saat ini. Kondisi ini diperkirakan akan terus meningkat karena populasi di dunia yang menua dan peningkatan kejadian penyakit kronis yang mendasarinya. Salah satunya adalah penyakit degeneratif seperti kanker dan diabetes.

Bedanya penyembuhan pada luka akut dan kronis

Penyembuhan pada luka di kulit adalah proses biologis yang kompleks. Berbeda dengan luka akut atau luka pada kondisi tubuh yang normal, pada luka kronis ditandai dengan peradangan berkepanjangan, infeksi yang persisten, pembentukan biofilm mikroba yang resistan terhadap obat dan ketidakmampuan dermal dan/atau sel-sel epidermis untuk menanggapi rangsangan regeneratif.

[Baca : ]

Proses penyembuhan luka kronis terganggu akibat produksi berlebihan spesies oksigen reaktif (ROS/reactive oxygen species) 

Penyembuhan luka kronis terganggu dikaitkan dengan penuaan, iskemia dan kolonisasi bakteri. Luka kronis disebabkan oleh faktor-faktor lokal seperti infeksi, insufisiensi vena, trauma mekanik, maserasi jaringan, benda asing yang tumbuh dan lain-lain. Penyakit kronis seperti diabetes, gagal ginjal atau kanker serta gangguan bawaan, merokok, alkohol, obat-obatan, uremia dan kekurangan gizi adalah faktor sistemik yang juga menyebabkan gangguan penyembuhan luka. Ulkus vena, ulkus pressure dan ulkus diabetes adalah jenis yang paling umum dari luka kronis, yang mewakili 90% dari semua luka kronis.

Pada tahap peradangan di luka kronis, akumulasi sel-sel inflamasi menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) berlebih. Pada dasarnya, munculnya ROS merupakan kondisi yang normal dan dalam kadar tertentu menguntungkan sebagai signal untuk memulai proses penyembuhan luka seperti desinfeksi, angiogenesis (pembentukan sel baru), re-epitalisasi dan lainnya. Namun, kadar yang tinggi bisa merusak elemen struktural dari ekstraselular matriks (ECM) dan sel membran serta menyebabkan penuaan sel dini.

Selanjutnya hal ini berdampak pada proses penyembuhan berikutnya. Dalam cairan luka sitokin proinflamasi kronis seperti TNF-α, IL-1 serta MMPs dan neutrofil elastase meningkat, menyebabkan degradasi faktor pertumbuhan dan reseptor mereka.

Disinilah peranan antioksidan untuk menyeimbangkan kadar ROS diperlukan.

Mekanisme antioksidan dalam proses penyembuhan luka kronis

Didalam tubuh sebenarnya telah memiliki antioksidan endogenous atau enzim yang bertindak sebagai antioksidan seperti SOD (Super Oxygen Dismutase) , GPx (Gluthione Peroxidase), PRDX (Peroksidoksin), Catalase, dan HO (Heme Oxydase) yang berperan dalam menyeimbangkan ROS dalam reaksi homeostatis redoks.

Homeostasis redoks didefinisikan sebagai keseimbangan antara tingkat spesies oksigen reaktif (ROS) dan antioksidan di mana antioksidan enzim memainkan peran sentral dalam mengatur kadar ROS dalam tubuh. Selain efek merusak, ROS juga mengerahkan fungsi menguntungkan pada beberapa proses seluler seperti pentransduksi sinyal fosforilasi, sehingga antioksidan yang berlebihan juga dapat menghambat proses penyembuhan.

Hubungan antara penyembuhan luka dan spesies oksigen reaktif (ROS), dan reaksi yang dikatalisasi oleh enzim antioksidan (Kurasashi, 2015).

Dalam gambar diatas, ROS bisa dalam bentuk superoksida (O2 ·), peroksinitrit (ONOO-), radikal hidroksil(OH ·), dan hidrogen peroksida (H2O2).

Adanya oksigen dibutuhkan dalam berbagai proses penyembuhan luka. Pada fase inflamasi, jumlah besar superoksida dihasilkan dari molekul oksigen terutama oleh NADPH oksidase dalam sel-sel kekebalan tubuh seperti leukosit, neutrophil, dan makrofage yang otomatis bekerja seketika proses koagulasi/pendarahan selesai.

Sebuah bagian dari superoksida bereaksi dengan oksida nitrat di dekatnya, menghasilkan peroxynitrite. Superoksida dan peroxynitrite dalam jumlah bakteri menyerang dan bantuan dalam fagositosis. Superoksida didismustasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen oleh superoksida dismutase (SOD), sehingga bisa terhindal dalam menghasilkan ROS yang sangat merusak, seperti peroxynitrite (ONOO-) atau radikal hidroksil (OH ·).

Kadar H2O2 yang rendah dapat berfungsi sebagai signal molekul dalam modulasi berbagai jalur pensinyalan yang mengatur pembekuan darah, trombosis, migrasi, proliferasi, fibrosis, angiogenesis, dan sebagainya pada fase koagulasi, fase proliferasi, dan dalam pematangan dan fase renovasi/remodeling.

H2O2 kemudian didetoksifikasi oleh serangkaian enzim sepertiSOD (Super Oxygen Dismutase) , GPx (Gluthione Peroxidase), PRDX (Peroksidoksin), Catalase, dan HO (Heme Oxydase) ) untuk menghindari menghasilkan radikal hidroksil yang berbahaya melalui reaksi Fenton.

Untuk mengatur level ROS, disinilah peran antioksidan diperlukan dan bisa ditanggulangi dengan adanya enzim antioksidan yang diproduksi tubuh. Sayangnya, pada kondisi pasien dengan penyakit kronis produksi enzim antioksidan dari dalam tubuh umumnya terganggu sehingga menjadi titik awal gagalnya proses penyembuhan luka kronis. Tidak heran dibutuhkan asupan dengan dosis tepat dari luar untuk menyeimbangkan kebutuhan antioksidan dalam tubuh.

Oleh karena itu, kontrol yang ketat atas jumlah antioksidan yang diinginkan untuk tujuan terapeutik yang tepat sangat diperlukan.

Sistem penghantaran obat konvensional saat ini diketahui sering gagal untuk pengobatan luka kronis, terapi inovatif saat ini telah diteliti selama dekade terakhir, selain sistem penghantaran nanopartikel, terapi berbasis sel induk atau sel punca (stem cell) sedang dikembangkan.

Sumber :

  1. Fromm-Dornieden C, Koenen P. Adipose-derived stem cells in wound healing: recent results in vitro and in vivo. OA Molecular & Cell Biology 2013 Dec 20;1(1):8.
  2. Toshihiro Kurahashi and Junichi Fujii. Roles of Antioxidative Enzymes in Wound Healing. J. Dev. Biol. 2015, 3(2), 57-70;
Nasrul Wathoni

Prof. Nasrul Wathoni, Ph.D., Apt. Pada tahun 2004 lulus sebagai Sarjana Farmasi dari Universitas Padjadjaran. Gelar profesi apoteker didapat dari Universitas Padjadjaran dan Master Farmasetika dari Institut Teknologi Bandung. Gelar Ph.D. di bidang Farmasetika diperoleh dari Kumamoto University pada tahun 2017. Saat ini bekerja sebagai Guru Besar di Departemen Farmasetika, Farmasi Unpad.

Share
Published by
Nasrul Wathoni

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

3 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

2 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

2 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago