Majalah Farmasetika (V1N10-Desember 2016) – Rubrik Opini. Dipenghujung Tahun 2016 ini, Menteri Kesehatan RI kembali mengeluarkan peraturan yang terkait erat dengan profesionalisme tenaga kesehatan. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 58 Tahun 2016 tentang Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan. Tujuan dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk mendukung peningkatan pengetahuan dan/atau keterampilan serta pengembangan profesi tenaga kesehatan. Benarkah demikian?
Kualitas kesehatan individu dan masyarakat sangat tergantung dari kualitas tenaga kesehatan. Ilmu kesehatan sendiri adalah ilmu yang terus berkembang dan sangat dinamis. Perkembangan keilmuan ini menuntut seluruh tenaga kesehatan untuk selalu memperbarui keilmuan dan keahlian yang dimilikinya. Filosofi ini yang mendasari tentang kewajiban seorang tenaga kesehatan yang harus menjalani serangkaian prosedur uji kompetensi secara berkala oleh organisasi profesi kesehatannya masing-masing.
Hasil akhirnya adalah sertifikat kompetensi yang merupakan syarat mutlak untuk tetap mendapatkan surat registrasi sebagai seorang tenaga kesehatan. Uji kompetensi tidak hanya sekadar satu kegiatan tertentu saja, namun sebelumnya harus diikuti dengan berbagai kegiatan seminar, pelatihan, penelitian, praktek mandiri dan aktifitas peningkatan kompetensi lainnya. Sehingga dengan tetap memperbarui keilmuan dan keahlian yang dimilikinya, seorang tenaga kesehatan dapat disebut layak dan berwenang untuk memberikan upaya kesehatan kepada individu dan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
Permenkes ini mendefinisikan sponsorship sebagai pemberian dukungan dalam bentuk bantuan dan/atau kegiatan dalam rangka peningkatan pengetahuan yang dilakukan, diorganisir atau disponsori oleh perusahaan/industri farmasi, alat kesehatan, alat laboratorium kesehatan dan/atau perusahaan/industri lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Sponsorship yang diberikan kepada tenaga kesehatan harus memenuhi prinsip tidak mempengaruhi independensi dalam pemberian pelayanan kesehatan dan tidak boleh ada konflik kepentingan.
Selain definisi sponsorship, peraturan ini juga memuat tentang Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yaitu unit pelaksana program pengendalian gratifikasi. Dalam peraturan lainnya, gratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Definisi gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Lebih lanjut dalam Pasal 12 B UU KPK disebutkan bahwa setiap pemberian gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Lalu bolehkan seorang tenaga kesehatan, terlebih yang berstatus sebagai pegawai negeri atau aparatur sipil negara (ASN) menerima sponsorship? Apakah tidak melanggar pasal gratifikasi dalam UU KPK? Pasal 6 ayat 1 dan 2 Permenkes RI Nomor 58 Tahun 2016 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang berstatus ASN boleh menerima sponsorship namun harus melalui institusinya. Selanjutnya Pasal 10 mengatur bahwa sponsorship yang sudah diterima harus dilaporkan institusi penerima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima sponsorship.
Kalau kita cermati secara lebih mendalam, maka ada perbedaan perlakuan gratifikasi disini. Dalam UU KPK, gratifikasi harus dilaporkan kepada KPK dan KPK berwenang terlebih dahulu untuk menetapkan apakah gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Jadi gratifikasi ditetapkan keabsahannya terlebih dahulu sebelum digunakan.
Namun dalam Permenkes ini terkesan sponsorship (baca : gratifikasi) boleh digunakan dahulu sebelum dilaporkan. Bagaimana jika setelah dilaporkan, KPK menetapkan sponsorship tersebut adalah gratifikasi yang harus dikembalikan kepada negara? Kalau sponsorshipnya berupa dana dan sudah habis digunakan sebelum dilaporkan kepada KPK, siapa yang bertanggung jawab? Jika demikian adanya, apakah peraturan ini berlawanan dengan UU KPK? Biarlah ahli hukum yang bicara.
Semangat yang ada dalam peraturan ini adalah semangat untuk menghilangkan tradisi yang sudah sejak lama ada. Tradisi itu adalah kongkalingkong antara industri produk kesehatan dengan tenaga kesehatan. Dari sisi pelaku industri, produk kesehatannya harus bisa memenuhi target penjualan. Terlebih ada ribuan produk kesehatan yang beredar dan acapkali memiliki khasiat dan indikasi yang sama. Jalan paling cepat adalah dengan memasarkan secara langsung (direct selling) kepada tenaga kesehatan tertentu, tentu dengan iming-iming gratifikasi. Dari sisi tenaga kesehatan, memasarkan produk tertentu selain memiliki nilai profit secara finansial juga dapat menjadi jalan peningkatan profesionalisme melalui kegiatan seminar, pelatihan, penelitian dan lain-lain.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak lama banyak oknum tenaga kesehatan yang memanfaatkan sponsorship dari pihak-pihak tertentu dengan dalih untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Namun fakta yang ada tidak sepenuhnya benar dan terkadang justru sebaliknya.
Tidak sedikit feedback berupa dana dan barang-barang mewah seperti alat elektronik dan otomotif diberikan kepada beberapa oknum tenaga kesehatan atas “jerih payah” meningkatkan pangsa pasar beberapa produk kesehatan, terutama obat-obatan. Jerih payah ini dapat dilihat dari tren penjualan produknya. Semakin tinggi penjualan, maka semakin besar pula kesempatan untuk mendapatkan feedback berupa dana dan barang-barang mewah yang dijanjikan. Namun tidak berlaku sebaliknya. Bila target penjualan tidak tercapai, maka tidak ada “penalti” yang diterapkan kepada oknum tenaga kesehatan tersebut. Yang ada hanyalah renegoisasi “kontrak” dalam bentuk kesepakatan yang berbeda, bisa dengan substitusi produk ataupun produk yang sama dengan menambah jangka waktu kontrak.
Selain untuk memperkaya pribadi, tidak jarang dana yang diperoleh juga digunakan untuk menambah sarana dan prasarana fasilitas kesehatan milik sang oknum tenaga kesehatan. Model seperti ini dengan menetapkan suatu produk untuk digunakan dalam jangka waktu tertentu di fasilitas kesehatan dengan breakdown target penjualan bulanan. Walhasil, produk-produk lain yang serupa tidak akan bisa digunakan di fasilitas kesehatan tersebut sekalipun secara cost-effective lebih baik.
Pada pertengahan bulan September 2016 lalu, Ketua KPK Agus Raharjo pernah mengungkapkan tentang adanya aliran dana selama kurun waktu tertentu dari salah satu pabrik farmasi kepada beberapa oknum tenaga kesehatan. Jumlahnya pun sangat fantastis, yaitu mencapai 800 milyar rupiah.
Agus menambahkan bahwa pihaknya telah memanggil pihak organisasi profesi kesehatan terkait untuk mengklarifikasi dan mendalami hal tersebut. Menurut Agus, praktek seperti inilah yang menjadi salah satu faktor tingginya biaya kesehatan di Indonesia. Miris memang, seorang tenaga kesehatan yang profesinya begitu mulia namun harus takluk kepada logika kekayaan materi.
Tidak sedikit oknum tenaga kesehatan yang sudah bergelimang kekayaan, namun tetap terpikat oleh “rayuan” gratifikasi. Padahal kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Bahkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan tujuan bernegara yang salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. Salah satu bentuk kesejahteraan umum adalah pembangunan kesehatan untuk yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan individu dan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dipundak tenaga kesehatan-lah tujuan mulia itu tersematkan.
Daftar Pustaka
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…