Majalah Farmasetika (V2N1 – Januari 2017). Penting bagi Apoteker untuk mengetahui obat-obatan yang menghasilkan risiko tinggi terhadap kesalahan dan bahaya bagi pasien dan mencari solusi terbaik untuk menerapkan tindakan dalam meningkatkan keamanan obat dan asuhan kefarmasian bagi pasien.
The Institute for Safe Medication Practices (ISMP) berupaya mengidentifikasi masalah keamanan obat yang paling banyak ditemukan dan menyusun strategi efektif untuk mengurangi kesalahan dalam pengobatan. Dari data yang dikumpulkan dari laporan kesalahan pengobatan di rumah sakit, pengkajian risiko, laporan aduan konsumen, dan kerjasama dengan FDA, ISMP menyimpulkan 5 golongan obat yang paling banyak menyebabkan kejadian yang tidak diinginkan.
Pada sebuah sesi di acara ACHP Midyear Clinical Meeting, ISMP memaparkan obat-obat yang paling banyak dilaporkan terlibat dalam kesalahan pengobatan selama setahun terakhir, dengan penekanan pada strategi penyelesaian untuk menghasilkan penggunaan obat yang aman.
Darryl S. Rich, PharmD, MBA, FASHP, spesialis keamanan obat ISMP, memaparkan 5 golongan obat high-alert berdasarkan data pada tahun 2016. Opioid, antitrombosis, dan insulin berada di urutan teratas, diikuti dengan antipsikotik dan antibiotik.
Perlu diperhatikan bahwa data kejadian kesalahan dosis menjadi penyebab terbesar dalam kejadian yang tidak diinginkan dalam sebagian besar kasus, kecuali pada penggunaan antibiotik, yang paling banyak disebabkan oleh kesalahan jenis obat yang digunakan.
Data ISMP menempatkan obat golongan opioid sebagai obat high-alert, dengan mempertimbangkan bahwa 47% kejadian yang melibatkan opioid disebabkan oleh kesalahan dosis dan bahwa 39% kejadian disebabkan oleh kesalahan dalam jenis obat yang diserahkan. Sebagian besar kasus disebabkan oleh penyerahan obat dengan kekuatan yang tidak tepat.
ISMP merekomendasikan untuk mempertimbangkan faktor-faktor pasien dalam pembuatan resep, serta mengukur toleransi opioid dan komorbiditasnya. Tindakan lainnya seperti membatasi ketersediaan jenis dan kekuatan di ruang farmasi, menyediakan table konversi dosis, dan tidak menggunakan singkatan IR (untuk instant-release atau pelepasan segera) dan ER (untuk extended release atau pelepasan diperpanjang) dalam deskripsi obat juga dapat membantu dalam menghindari kesalahan dalam pengobatan.
Meskipun opioid berada di urutan teratas berdasarkan kejadian yang dilaporkan, insulin memiliki persentase terbesar dalam kejadian yang merugikan pasien. Sebanyak 31% kejadian yang melibatkan insulin menyebabkan kerugian pada pasien (bandingkan dengan 11% kejadian terkait opioid yang menyebabkan kerugian bagi pasien). Sebanyak 53% kejadian terkait insulin disebabkan oleh kesalahan dosis dan sebanyak 33% disebabkan oleh penyerahan jenis obat yang salah.
ISMP merekomendasikan rumah sakit untuk menggunakan spuit U-500 dan pen U-500 dibandingkan spuit U-200 atau spuit tuberkulin untuk mengurangi kesalahan dalam konversi dosis. Dr. Rich menekankan bahwa rumah sakit dapat bekerjasama dengan bagian perawat untuk memperjelas metode pemberian yang tepat dan ISMP tidak merekomendasikan pemeriksaan ganda mandiri untuk penggunaan insulin U-100 subkutan.
Berdasarkan data yang dipresentasikan di sesi tersebut, sebanyak 17% kejadian yang tidak diinginkan terkait antitrombosis terjadi akibat kesalahan dosis. Hal ini sering terjadi umumnya karena pemberian kekuatan yang salah, gangguan pada pompa, pemberian dabigatran dengan menggunakan selang makanan, serta akibat tidak mengenali obat-obat antikoagulan oral baru. Di sisi lain, sebanyak 39% kejadian diakibatkan oleh penyerahan jenis obat yang salah.
ISMP merekomendasikan untuk terus mempelajari obat-obat antikoagulan oral baru dan antikoagulan injeksi lainnya, menerapkan evaluasi fungsi ginjal pada pasien dengan pemberian obat antikoagulan oral baru, dan melakukan konseling saat pasien akan keluar dari rumah sakit atau menjalani rawat jalan.
Obat-obat sedatif biasanya digunakan dalam prosedur operasi atau selama rawat inap. Sedative kadang diberikan bersama opioid sehingga menghasilkan efek sinergis yang kemudian menyebabkan depresi sistem saraf pusat. Selain itu, sedative dapat menimbulkan bahaya jika dokter tidak memahami deskripsi obat-obat tertentu, mengubah dosis tanpa mengetahui batas konsentrasi terendah dan tertingginya, atau tidak mengetahui onset kerja obat.
IHI, ISMP, dan organisasi lainnya merekomendasikan berbagai strategi dalam mengurangi risiko ini, salah satunya yaitu membentuk tim komite terapi dan penerapan multidisiplin di ruang penyiapan obat.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau berlebihan dapat menyebabkan munculnya resistensi bakteri terhadap obat.
Antibiotik perlu ditegaskan untuk hanya digunakan dalam jadwal dan durasi penggunaan tertentu, bukan “jika perlu” (prn). Pemeriksaan laboratorium juga perlu dilakukan untuk memastikan infeksi yang terjadi sehingga dapat menentukan jenis antibiotik yang tepat untuk digunakan. Selain itu, penggunaan antibiotik pada penyakit-penyakit non-infeksi atau infeksi virus yang tidak memerlukan antibiotik juga perlu dihindari.
Sumber:
Jennifer Barrett. ISMP Names Top Medication Safety Issues of 2016 http://www.pharmacytimes.com/conferences/ashp-midyear-2016/ismp-names-top-medication-safety-issues-of-2016. (Diakses 3 Januari 2016).
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…