Farmasetika.com – Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan yang melayani hampir setiap tingkatan masyarakat, rumah sakit merupakan salah satu bagian penting dalam terwujudnya pelayanan kesehatan yang mumpuni serta mengayomi seluruh lapisan masyarakat.
Orang-orang yang datang ke rumah sakit, dengan membawa anak, istri, suami maupun anggota keluarga mereka yang menderita suatu penyakit atau keluhan kesehatan mempercayakan sepenuhnya hal-hal terkait pengobatan serta pelayanan kesehatan kepada pihak rumah sakit. Oleh karena itu, sudah seyogyanya jika rumah sakit memberikan pelayanan yang tidak ‘asal-asalan’ kepada masyarakat terkait pelayanan kesehatan.
Jika pelayanan yang diberikan rumah sakit terkesan asal-asalan dan tidak dilayani dengan seharusnya sesuai dengan standar operasional yang berlaku, hal tersebut akan menimbulkan masalah yang cukup besar ke depannya. Tidak hanya bagi pihak pasien dan keluarganya yang merasa dirugikan, pihak rumah sakit pun akan mendapatkan akibat yang cukup besar menyangkut nama baik rumah sakit, dokter, tenaga medis lain serta menurunnya jumlah pasien yang akan berobat ke rumah sakit tersebut.
Salah satu hal yang cukup vital antara lain resep obat pasien. Seperti yang kita ketahui di rumah sakit jumlah resep obat yang dikeluarkan sangat banyak per harinya. Resep-resep tersebut tidak hanya dikeluarkan oleh satu sampai dengan 10 dokter, namun bisa lebih dari 50 dokter yang bertugas.
Tiap dokter pun memiliki tidak hanya satu sampai dua pasien, namun bisa lebih dari ratusan pasien per harinya. Apoteker yang bertugas di instalasi farmasi sudah seharusnya melakukan verifikasi resep terhadap resep-resep tersebut.
Seperti yang tercantum pada PMK nomor 71 tahun 2013, di mana tertulis bahwa Apoteker / tenaga teknis kefarmasian melakukan verifikasi resep dan bukti pendukung lain di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan baik untuk resep rawat inap maupun rawat jalan.
Hal ini senada dengan PMK nomor 72 tahun 2016 di mana disebutkan bahwa verifikasi resep merupakan kegiatan untuk menganalisa ada tidaknya masalah terkait obat dengan melakukan pengkajian pada persyaratan administratif, klinis dan farmasetik baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap.
Dalam suatu pengamatan yang dilaksanakan di salah satu rumah sakit besar di Jakarta pada Febryari 2017, verifikasi resep telah dilakukan namun tidak di semua depo instalasi farmasi.
Dari sekitar 60 resep yang diamati, hampir semua resep obat tersebut memiliki beberapa parameter yang tidak lengkap dalam aspek administratif dan klinis. Untuk aspek farmasetik sendiri resep-resep tersebut telah memenuhi kelengkapan yang dibutuhkan.
Merupakan suatu rahasia umum jika tidak ada obat yang tidak memiliki efek samping bagi penggunanya. Hal tersebut dapat memicu terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan. Kemudian, jika dalam suatu resep terdapat beberapa jenis obat (lebih dari tiga jenis obat) bukan tidak mungkin terdapat interaksi antara obat-obat tersebut yang nantinya akan menghambat proses terapi pasien atau lebih buruknya memperparah kondisi pasien. Efek obat yang diminum pasien juga dapat mengalami peningkatan yang berakibat toksik atau mengalami penurunan. Selain kedua hal tersebut, beberapa akibat lain yaitu polifarmasi, kesalahan durasi pemberian obat, serta perbedaan bentuk pemberian obat.
Selain akibat-akibat bersifat klinis dan farmasetik tersebut, terdapat pula akibat-akibat yang berkaitan dengan administratif. Aspek administratif antara lain nama, umur dan alamat pasien, nama dan SIP dokter, alamat dokter serta stempel dokter. Jika nama pasien tidak tertulis dengan lengkap, hal tersebut dapat menimbulkan bias terhadap identitas pasien dan dapat terjadi kesalahan pemberian obat.
Selain itu, alamat pasien juga harus tercantum dalam resep sehingga jika terdapat hal-hal yang tidak diinginkan pihak rumah sakit dapat segera memberitahukannya kepada keluarga pasien. Kemudian, untuk nama dokter, stempel, serta alamat dokter sendiri juga sangat penting.
Mengingat saat ini cukup banyak resep yang ditulis oleh perawat dan bukan oleh dokter. Dengan adanya nama dokter serta stempel dokter pada resep, hal tersebut dapat meminimalisir adanya kecurangan-kecurangan kepada pasien. Oleh sebab itu, peran apoteker sangat dibutuhkan untuk melakukan verifikasi resep sehingga masalah-masalah terkait obat seperti kejadian potensi cedera, kejadian non cedera, kejadian cedera serta sentinel / kematian dapat dihindari.
Selain itu, dokter yang bersangkutan juga harus diberikan orientasi mengenai pentingnya menuliskan resep sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku di rumah sakit sehingga meminimalisir kesalahan atau kelalaian dalam penulisan resep.
Evaluasi secara berkala juga perlu dilakukan pihak rumah sakit untuk mengetahui bagaimana peningkatan rumah sakit dalam memberlakukan verifikasi resep tersebut sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat terus terjaga dan mengalami peningkatan. Mungkin dalam pelaksanaannya memang akan cukup memberatkan mengingat jumlah resep yang harus disiapkan obatnya sangat banyak sehingga nantinya akan mengurangi kecepatan pelayanan pada pasien. Namun, hal itu tidak sebanding dengan rasa puas karena telah melayani pasien dengan baik dan meningkatkan kesembuhan pasien sebagai seorang tenaga kesehatan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Referensi:
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…