Edukasi

Terapi HIV/AIDS pada Wanita Transgender Memungkinkan terjadinya Interaksi Obat

farmasetika.com – Wanita transgender yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan jenis kelaminnya saat lahir atau seorang yang lahir dengan jenis laki-laki namun teridentifikasi sebagai wanita. Golongan ini memiliki resiko yang tinggi pada kejadian HIV dan merupakan populasi kunci untuk upaya pencegahan dan pengobatan HIV.

Studi terbaru oleh para peneliti yang didukung oleh National Institutes of Health and Gilead Sciences mengungkapkan bahwa di antara wanita transgender di Los Angeles, lebih dari separuh orang yang hidup dengan HIV mengkonsumsi terapi antiretroviral (ART) untuk pengobatan HIV nya dan terapi hormon (TH) untuk feminimnya.

Pengonsumsian dua obat yang bersamaan ini memungkinkan terjadinya interaksi obat yang berbahaya dimana masih sedikit yang dapat dipahami secara klinis. Banyak dari kelompok survey yang menyebutkan kekhawatiran sebagai alasan untuk tidak mengkonsumsi obat anti HIV dan TH, atau keduanya yang diresepkan oleh tenaga kesehatan profesional.

Temuan ini berkenaan karena penggunaan obat HIV lebih awal dan konsisten akan memberikan dampak efektif pada masalah kesehatan terkait HIV dan penularan virus ke pasangannya.

Wanita transgender mempunyai kejadian yang tinggi pada kasus HIV : berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC), Pada tahun 2013 sebuah studi meta analisis menyebutkan bahwa 22 persen dari wanita transgender hidup dengan HIV pada lima negara berpenghasilan tinggi, termasuk Amerika Serikat.

Penelitian yang didukung oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) dan the National Institute of Mental Health (NIMH) mempresentasikan temuan baru pada International AIDS Society Conference on HIV Science ke 9 di Paris tanggal 24 Juli 2017

“Hal terbaik yang dapat dilakukan orang dengan HIV adalah dengan memulai dan tetap menggunakan terapi antiretroviral, kedua hal tersebut untuk menjaga kondisi diri sendiri dan untuk mencegah transmisi atau persebaran seksual dari virus, “kata Anthony S. Fauci, M.D., direktur NIAID.

“Kita perlu memastikan bahwa kita memahami perspektif dari kelompok yang secara tidak proporsional terpengaruh oleh pandemi ini untuk memberikan perawatan kesehatan yang terbaik untuk mereka. Studi lebih jauh diperlukan untuk membantu menetukan bagaimana petugas kesehatan dapat secara optimal menyesuaikan perawatan pada pasien dengan HIV.” lanjutnya.

Para peneliti melakukan survey pada 87 wanita transgender yang menerima perlakuan di organisasi layanan AIDS berbasis masyarakat di Los Angeles. Peneliti menemukan ada 69% dengan TH, tapi seperempat partisipan melaporkan menggunakan TH tanpa pengawasan dari tenaga profesional. Lebih dari setengah peserta hidup dengan HIV dan saat ini menggunakan ART.

Wanita transgender yang hidup dengan HIV kebanyakan menggunakan TH tanpa pengawasan profesional- sebanyak 34% dibandingkan dengan hanya 13 % dari mereka yang tidak terdapat virus. Diantara partisipan yang hidup dengan HIV, dikhawatirkan 57% yang menggunakan kedua obat ART dan TH memungkinkan terjadinya interaksi obat, serta 40% yang tidak menggunakan ART, TH atau keduanya sebagai perhatian langsung. Namun, hanya 49 persen yang membahas kemungkinan interaksi obat dengan tim perawatan kesehatan mereka.

“Terlepas dari semua indikasi bahwa wanita transgender adalah populasi kritis dalam perawatan HIV, sangat sedikit yang mengetahui tentang bagaimana mengoptimalkan pemberian ART dan terapi hormonal” kata Jordan Lake, MD, ketua studi di University of California, Los Angeles David Geffen School of Medicine, yang saat ini melanjutkan penelitian ini di University of Texas Health Sciences Center di Houston.

“Studi ini memberikan kesan bahwa kurang/tidak adanya informasi memungkinkan beberapa wanita transgender melupakan pengobatan HIV untuk mempertahankan hidupnya, terapi hormon, atau kombinasi keduanya. Dengan mengeksplorasi sejauh mana hal ini terjadi, kita dapat menemukan cara untuk melayani populasi ini dengan lebih baik.” lanjutnya.

Penelitian menunjukkan bahwa memulai dan tetap memakai ART segera setelah diagnosis HIV mencegah timbulnya komplikasi terkait AIDS, meningkatkan hasil kesehatan secara keseluruhan dan dapat memperpanjang usia harapan hidup. Penggunaan ART secara efektif dan konsisten juga dapat menyebabkan penekanan virus yang tahan lama pada orang yang hidup dengan HIV, dikaitkan dengan pengabaian risiko penularan HIV pada pasangan seksual. Namun interaksi obat antara antiretroviral dan hormon tidak dipahami dengan baik.

Kekhawatiran terkait penggunaan bersamaan ART dan TH memungkinkan timbulnya interaksi obat yang tidak diketahui antara bentuk ART dan komponen dari hormon kontrasepsi yang bisa serupa dengan obat dalam rejimen TH yang digunakan pada dosis yang berbeda dari kontrasepsi.

Mengkonsumsi tipe ART yang spesifik dapat menurunkan konsentrasi komponen pada kontrasepsi hormonal, mengurangi efektifitasnya. Dalam kasus ini dimana keduanya baik kontrasepsi hormonal dan ART diperlukan, modifikasi dosis atau penggantian obat dapat menurunkan interaksi obat. Namun, tidak ada konsensus ilmiah tentang keamanan dan efektivitas kombinasi ART dan TH pada wanita transgender yang hidup dengan HIV.

“Kunci utama untuk menangani pandemi ini adalah dengan memastikan bahwa kita memenuhi kebutuhan dari kelompok ini,” kata Judith Currier, M.D., co-director of the Center for AIDS Research and Education Center at the University of California, Los Angeles, co-investigator and vice-chair of the NIAID-supported AIDS Clinical Trials Network.

“ Kami perlu memberikan respond dengan bukti yang mendasar terhadap persoalan ini sehingga populasi kunci dan pasangan seksual mereka dapat menuai manfaat penuh dari perawatan HIV yang efektif.” tutupnya

Sumber :

High levels of treatment non-adherence due to concerns for interactions between antiretroviral therapy and feminizing hormones among transgender women in Los Angeles, CA. J. Lake, et al. 9th International AIDS Society Conference on HIV Science, July 24, 2017. Diakses pada 25 Juli 2017 dari https://www.niaid.nih.gov/news-events/drug-interaction-concerns-may-negatively-affect-hiv-treatment-adherence-among

Siska Hermawati

apt. Siska Hermawati., S.Farm Universitas Padjadjaran Bandung 2018

Share
Published by
Siska Hermawati

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

4 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

2 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

2 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago