farmasetika.com – Setelah beberapa waktu lalu Dokter di Uni Emirat Arab (UEA) memberikan resep setelah memeriksa pasien lewat koneksi WIFI. Baru-baru ini Kementerian Kesehatan UEA, mengumumkan larangan seluruh lembaga pelayanan kesehatan, baik swasta maupun milik pemerintah, menggunakan tulisan tangan dalam membuat resep obat untuk pasien.
Larangan itu berlaku mulai enam bulan ke depan, terhitung mulai dari tanggal pengumuman yakni 5 Maret 2018.
Dikutip dari Tempo.co, Menurut aturan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan UEA, dokter dilarang menuliskan resep dengan tulisan tangan. Apotik pun dilarang mengeluarkan obat kepada pasien jika resep yang diterima menggunakan tulisan tangan.
Menurut Dr Ameen Al Amiri, Wakil Menteri Kesehatan bidang kebijakan kesehatan publik dan lisensi, nantinya resep akan dibuat dalam bentuk elektronik dan dicetak yang berisikan informasi detil tentang jenis obat dan administrasinya. Misalnya, resep yang akurat, dosis, instruksi penggunaan, nama dan tandatangan dokter, serta tanggal resep dikeluarkan.
Larangan resep menggunakan tulisan tangan diberlakukan di UEA karena resep dengan tulisan tangan dokter sulit dibaca, dan sulit untuk mengartikan dosis pasti obat ketika ditulis dengan cepat.
Selain resep nantinya dalam bentuk elektronik, menurut Al Amiri, kementeriannya juga sedang mengembangkan sistem elektronik untuk menyimpan resep. Kementerian Kesehatan ini pun kemudian mendesak warga UEA untuk melaporkan pelanggaran aturan baru ini begitu diperlakukan.
Sebelum aturan ini dibuat, Abu Dhabi sudah lebih 5 tahun menerapkan peraturan yang mengharuskan resep obat ditulis dengan komputer dan dicetak.
Kementerian Kesehatan juga memantau penggunaan obat dan dampak dari obat tersebut.
Menurut karyawan apotik di UEA, Burjeel Pharmacy, Yasmeen Saleh, tinggal 1 persen dari pasiennya yang menunjukkan resep dengan tulisan tangan. Biasanya resep bertuliskan tangan dikeluarkan oleh kilinik-klinik kecil dan pusat kesehatan tertentu. Namun apotik menolaknya.
“Tulisan tangan sulit untuk dibaca dengan tepat, dan kami tak mampu menebus kesalahan saat mengeluarkan obat yang salah,” kata Yasmeen Saleh.
Sumber :
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…