farmasetika.com – Edisi Khusus. Jaminan Produk Halal (UU No.33 Tahun 2014) telah diundangkan pada 17 Oktober 2014, namun implementasinya kurang begitu lancar. Sertifikasi halal bagi produk farmasi dihadapkan dengan beberapa faktor penghambat seperti kurangnya pemasok bahan baku yang memenuhi persyaratan halal dan kendala manajemen halal di Industri Farmasi Indonesia. Namun bagaimanapun, memperoleh dan menggunakan obat halal bagi setiap muslim adalah hak yang dijamin konstitusi. Tulisan ini berupaya untuk memberikan gambaran implementasi UU JPH dalam pemenuhan produk obat halal yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Metode yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan implementasi UU No. 33 Tahun 2014 dalam perkembangan obat halal di Indoensia dan membuat ringkasan dari literatur-literatur tersebut. Hasil review menunjukkan perlu adanya upaya bersama antara farmasis dan pihak terkait untuk merampungkan kajian sistem manajemen halal dengan pendekatan sistematik dan ilmiah untuk memproduksi obat halal yang sesuai dengan syariat islam.
Islam memiliki aturan yang sangat jelas terkait kehalalan suatu produk. Bagi seorang muslim mengkonsumsi produk halal dan baik (thayibah) merupakan manivestasi dari ketakwaan kepada Allah. Produk halal yang dimaksud adalah segala jenis benda yang terbuat dari unsur-unsur yang diperbolehkan secara syariat, sehingga boleh digunakan, baik itu sifatnya konsumsi, pemakaian, maupun keperluan yang digunakan sehari-hari1.
Berdasarkan literatur, diketahui dari tahun ke tahun terdapat peningkatan kecenderungan penggunaan dan penyediaan produk halal secara global. Pada tahun 2013 proyeksi permintaan produk halal sebesar US$ 2 triliun dan akan meningkat pada tahun 2019 sebesar US$ 3,7 triliun dengan laju pertumbuhan produk halal dunia sebesar 9,5% 2. Kondisi ini didukung dengan pesatnya pertumbuhan pemeluk agama islam selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2010 populasi muslim dunia sekitar 1,6 milyar dan diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 2,2 milyar3. Islam saat ini merupakan agama dengan perkembangan yang paling cepat. Sebagai konsekuensinya, jumlah populasi yang besar ini akan menentukan jenis barang yang beredar di pasar dunia.
Organization of islamic cooperation (OIC) sebagai organisasi kerjasama islam dunia yang beranggotakan 57 negara, juga mulai ramai membahas potensi dan peluang produk halal di pasar dunia. Dalam beberapa konferensinya, organisasi ini membahas nilai sektor produk-produk halal dalam beberapa tahun terakhir dan prediksi yang menunjukkan akan semakin meningkatnya nilai tersebut di tahun-tahun mendatang4.
Kenyataan tersebut juga didukung oleh adanya peningkatan pangsa pasar obat halal di Indonesia dan tingginya minat masyarakat Muslim dalam menggunakan obat halal. Pada tahun 2014, omzet industri farmasi Indonesia mencapai Rp 52 Triliun dan pangsa pasar Industri Farmasi PMDN mencapai 70% dan sisanya 30% dikuasiasi PMA4.
Terlebih saat ini Indonesia sudah memiliki undang-undang tentang jaminan produk halal (JPH). Artinya, semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah indonesia wajib bersertifikat halal. UU JPH telah disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 oktober 2014, yang berbentuk UU No. 33 Tahun 20144.
Namun fakta soal jaminan produk halal pada obat memang masih sangat memprihatinkan. Bahkan, untuk produk vaksin, sesuai dengan data di MUI (Fatwa MUI No. 06 Tahun 2010) baru ada tiga vaksin yang memperoleh sertifikasi halal yaitu tiga produk vaksin untuk vaksinasi meningitis. Bahkan, data dari LPPOM MUI dari 30 ribuan jenis obat yang terdaftar di BPPOM dan beredar di masyarakat, hanya 34 obat yang bersertifikat halal6. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan kenyataan mayoritas masyarakat Indonesia, pengguna obat-obatan tersebut adalah muslim.
Oleh karena itu, sebagai seorang farmasis adalah bijak rasanya jika mengambil tanggung jawab dan kewajiban untuk terus berijtihad melakukan penelitian, hingga mewujudkan obat yang halal dan thayyib, termasuk obat vaksin untuk imunisasi. Temporalitas pembolehan penggunaan obat yang haram, secara implisit mewajibkan bagi ummat islam, khususnya para peneliti di bidang farmasi untuk melakukan penelitian dan menemukan obat yang berbahan halal dan suci, sehingga memenuhi standar syar’i untuk digunakan oleh ummat islam7.
Peneliti menggunakan sumber data primer yang langsung dikumpulkan oleh peneliti untuk dilakukan review. Pencarian data primer dilakukan dengan instrumen pencari secara online menggunakan google. Pencarian dilakukan dengan menggunakan kata-kata kunci “halal”, “jaminan halal” dan “produk obat”. Penelusuran lebih lanjut dilakukan secara manual pada pustaka yang relevan.
Syariat Islam mewajibkan Ummat untuk menggunakan dan mengkonsumsi produk yang halal dan baik (thoyyib). Oleh karena itu, untuk menjamin kesejahteraan ummat, maka segala produk halal yang diperlukan masyarakat di Indonesia harus tersedia, terjangkau dan terjamin agar ummat islam dapat merasakan dan menggunakan produk sesuai dengan syariat Islam secara aman dan nyaman.
Seiring dengan meningkatknya permintaan terhadap produk halal dunia maka produk-produk yang berlogo Halal semakin menjadi pencarian utama. Produk yang memiliki logo Halal tentunya memiliki Sertifikat Halal. Sertifikat halal dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Berdasarkan UU Jaminan Produk Halal, diketahui kewajiban bersertifikat halal untuk semua produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia akan dilaksanakan lima tahun setelah diundangkannya UU JPH (tahun 2019). Sebagai upaya farmasis dalam membantu mengimplementasikan UU tersebut, maka perlu adanya perancangan panduan produksi halal bagi industri farmasi yang compatible dengan CPOB (Cara Pemakaian Obat yang Baik), agar memudahkan proses produksi obat halal di Industri farmasi tersebut.
Pada dasarnya bahan-bahan dalam pembuatan obat: halal, kecuali yang telah diharamkan menurut syariat Islam (Al-Quran, Hadist, Ijma Ulma dan Qiyas). Obat halal harus memenuhi persyaratan tertentu diantaranya bahannya tidak boleh berasal dari babi dan derivatnya, tidak mengandung alkohol, tidak beracun dan tidak berbahaya bagi tubuh, bebas dari bahan kotor atau najis, tidak menimbulkan efek berbahaya dikemudian hari, dan tidak boleh mengandung organ tubuh manusia, ari-ari dan air seni. Namun, Obat-obatan yang beredar di tengah masyarakat diduga banyak yang tidak halal. Ketidakhalalan tersebut dapat bersumber dari bahan dasarnya maupun proses pembuatannya.
Sebelum dipasarkan, obat yang diproduksi oleh industri farmasi harus terjamin aman, berkhasiat dan bermutu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan bukti data penelitian yang dilakukan oleh industri farmasi terkait dan terlapor secara berkala ke BPOM sebagai badan pengawas obat dan makanan Republik Indonesia. Namun proses tersebut belum tentu menjamin kehalalan suatu produk.
Suatu produk dikatakan halal jika dapat dibuktikan bebas dari titik kritis kehalalan obat. Perkembangan teknologi proses pembuatan obat kini semakin maju dan membuat konsumen tidak menyadari akan kandungan bahan obat yang ada di pasaran10, oleh karena itu perlu diperhatikan titik kritis kehalalan obat11, seperti:
Titik kritis kehalalan produk dapat menjadi acuan dalam memproduksi produk halal sebelum mengajukan proses sertifikasi halal produk ke BPJPH. Jika industri farmasi mengatakan bahwa selama zat haram itu adalah obat yang baik dan penggunaaanya masih bisa ditoleransi, dikutip dari Dr. Yusuf Qordhowi dalam bukunya Halam Haram fil Islam, hal itu tidak dapat dibetulkan, karena “selama ada zat yang memiliki khasiat yang sama dengan zat haram itu, maka tetap zat tersebut dinyatakan haram”, mungkin inilah prinsip yang harus diterapkan dalam menegakkan UU JPH dalam produk obat12.
Industri farmasi yang mau memproduksi sediaan farmasi halal dituntut menyiapkan suatu sistem manajemen halal untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara konsisten. Sistem manajemen halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi yang disusun, diterapkan dan dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia dan prosedur dalam menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan13.
Halal by Design (HbD) adalah suatu konsep pendekatan untuk memproduksi obat halal yang sesuai dengan Syariat Islam. HbD mempunyai dasar bahwa kehalalan produk dapat dibangun ke dalam produk (Built-in to product). Konsep ini terinspirasi oleh konsep Quality by Design (QbD), yaitu pendekatan sistematik dan ilmiah untuk pengembangan produk halal yang diawali dengan perencanaan, pemilihan bahan, produksi halal dan penjaminan produk halal yang berbasis manajemen halal1. Menindaklanjuti ranacangan tersebut maka perlu disiapkan suatu perangkat sertifikasi halal untuk obat11, seperti:
Penyelia halal adalah seorang atau tim manajemen halal yang ditetapkan oleh pimpinan pelaku usaha (Industri Farmasi) dan dilaporkan kepada BPJPH. Penyelia halal bertugas :
Dalam mengimplementasikan UU No. 33 Tahun 2014 tentang sertifikasi halal, maka farmasis sebagai seseorang yang memiliki keahlian dalam penyiapan, pendistribusian, dan penyimpanan serta dalam pemastian efektivitas serta keamanan penggunaan obat, bertanggung jawab, baik secara hukum maupun moral untuk memastikan obat yang beredar dan dipergunakan masyarakat muslim adalah halal dan suci. Untuk itu, maka kedepannya diperlukan pedoman produksi obat halal yang compatible dengan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) (karena prdoman produksi obat halal secara khusus belum ada, masih menggunakan Sistem Jaminan Halal HAS 23000-MUI). Pedoman tersebut harus terkait dan dapat mengadobsi sebagian atau seluruhnya pedoman produksi obat halal internasional yang sudah berlaku.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Norisca Aliza Putriana, selaku dosen pembimbing yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan artikel ini, serta kepada pihak-pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan artikel ini.
Penulis : Mega Hijriawati, Norisca Aliza Putriana, Patihul Husni
Program Studi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaaran, Sumedang, Jawa Barat
Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor 45363
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…