Majalah Farmasetika – Pengembangan obat kembali (drug repurposing) bisa menjadi solusi jitu untuk menemukan obat COVID-19. Saat ini, obat dan vaksin untuk COVID-19 belum ditemukan. Yang ada sekarang ini adalah obat-obatan dan vaksin bersifat Trial dalam artian bahwa obat-obatan yang sudah biasa di pergunakan pada penyakit atau virus yang lain diuji coba kembali ke pasien Covid-19.
Drug repurposing atau penggunaan obat kembali yang dikenal juga dengan obat off-label adalah obat diluar indikasi yang tertera dalam label dan belum atau diluar persetujuan oleh badan atau lembaga yang berwenang atau jika di Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan, sedangkan di US adalah FDA (Food Drug Administration).
Pengembangan obat dan vaksin secara normalnya membutuhkan rata-rata 10 hingga 15 tahun, karena para ilmuan dan dokter ingin memastikan bahwa mereka memberikan pengobatan dan perawatan yang aman dan efektif kepada pasien.
Kalau hanya membuat efektif tapi tidak aman bisa saja obat dan vaksin tersebut langsung dapat ditemukan, tapi efek yang terjadi akhirnya virusnya mati dan pasiennya juga meninggal. Selain para ilmuan dan dokter, kita semua pasti tidak akan mau seperti itu.
Kita semua menginginkan dalam menemukan obat dan vaksin yang bisa mengatasi virusnya atau mengatasi terhadap patogennya tapi diwaktu yang sama juga harus aman untuk kita.
Oleh karena itu dalam proses pada penemuan obat dan vaksin ini ada beberapa tahap, mulai pembuatan senyawa di laboratorium, diikuti dengan pengujian senyawa pada sel dan hewan percobaan.
Ini bisa memakan waktu antara empat dan lima tahun. Selanjutnya diikuti oleh uji klinis fase pertama hingga ketiga selama delapan tahun yang melibatkan ribuan sukarelawan dan pasien untuk menguji keamanan dan efektivitas senyawa.
Dan yang jadi pertanyaannya, bagaimana obat-obatan dan vaksin untuk Covid-19? Tentunya kita tidak perlu menunggu selama 10-15 tahun, itu namanya terlambat.
Kita perlu obat dan vaksin itu sekarang kalau perlu besok sudah ada. Sebab dalam keadaan sekarang ini sangat dibutuhkan sekali, bisa dikata hanya dalam hitungan hari saja agar sudah bisa mendapatkan obat-obatan dan vaksin untuk Covid-19 ini.
Strategi mengganti obat lama untuk penyakit baru biasanya dilakukan untuk mengurangi waktu dan biaya pengembangan obat. Misalnya Aspirin, yang pernah digunakan sebagai obat untuk demam dan nyeri, sekarang digunakan untuk mencegah pembekuan darah pada pasien yang berisiko tinggi untuk serangan jantung.
Menggunakan obat-obatan dan vaksin yang sudah ada untuk dipergunakan pada Covid-19 bisa menjadi strategi jitu yang dilakukan oleh para ilmuan dan dokter dari seluruh dunia telah melakukan uji klinik terhadap 674 obat dan kombinasinya (daftar dari klinikal trial di webcite CDC Amerika).
Dari 674 obat yang dilakukan uji klinis tersebut terdiri dari macam-macam senyawa, yaitu: yang senyawa antiviral, senyawa antiinflasi, obat repurposing dan obat-obat yg baru.
Saat ini berdasarkan data, ada 12 obat yang digunakan dan diuji untuk dipergunakan sebagai Covid-19, yaitu Baricitinib, Lopinavir, Ritonavir, Darunavir, Favipiravir, Remdesivir, Ribavirin, Galidesivir, Arbidol, Chloroquine, Hydroxychloroquine dan Nitazoxanide.
Mengenai vaksin, saat ini ada 22 perusahaan farmasi global yang mengembangkan vaksin Covid-19. Sekitar 10 perusahaan berencana untuk melakukan uji klinis fase pertama tahun ini. Dibutuhkan 12 hingga 18 bulan untuk menyelesaikan fase pertama sampai fase ketiga uji klinis dan untuk mendapatkan persetujuan lembaga farmasi nasional di negara masing-masing.
Pada obat-obatan dan vaksin tersebut diatas, para ilmuwan dan tim medis di seluruh dunia bereksperimen dengan strategi yang berbeda dengan mengubah obat yang biasa digunakan pada penyakit seperti Malaria, Ebola, HIV, Hepatitis C, dan Influenza untuk dipergunakan pada Covid-19.
Indonesia turut ikut serta dalam program Solidarity Trial yang diadakan oleh WHO. Solidarity Trial merupakan program WHO yang melibatkan lebih dari 100 negara untuk melakukan uji klinis terhadap 4 obat, yang diharap mampu digunakan sebagai obat untuk Covid-19.
Obat-obatan tersebut yakni Remdesivir, Lopinavir/Ritonavir, gabungan Lopinavir/Ritonavir ditambah Interferon beta 1a, dan Chloroquine/ Hydroxychloroquine. Uji klinis di Indonesia telah dilakukan pada 22 Rumah Sakit baik Pemerintah maupun Swasta.
Indonesia menggunakan Drug Repurposing yang sudah dikeluarkan oleh Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan dengan nama BUKU INFORMATORIUM OBAT COVID-19 DI INDONESIA.
Tidak ada yang bisa memprediksi kapan Covid-19 akan berakhir, meskipun belakangan ini sudah ada yang memprediksi. Tapi semuanya belum final.
Kita berharap bahwa uji klinis yang dilakukan pada protokol pengobatan Covid-19 akan memberikan hasil yang menggembirakan. Dan selain itu harus perlu mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan obat-obatan dan vaksin sendiri, ini merupakan cara dan pilihan yang terbaik
Saat ini yang paling efektif sebagai tameng untuk menahan wabah Covid-19 adalah dengan menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan serta jaga jarak.
Jika Physical Distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak dilakukan sebagaimana mestinya, juga Obat dan vaksin yang belum bisa ditemukan, maka kita kemungkinan harus bersiap untuk HIDUP BERSAMA CORONA sebagaimana selama ini kita hidup bersama TBC dan AIDS.
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…
Majalah Farmasetika - Produk farmasi, seperti obat-obatan, memerlukan stabilitas tinggi untuk menjaga efektivitas dan kualitasnya…