Majalah Farmasetika – Ikatan Alumni Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (ILUNI Farmasi UI) menolak dengan tegas dan meminta revisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK) nomor 26 tahun 2020 tentang perubahan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puksesmas sebagai pengganti Peraturan Menteri Kesehatan nomor 74 tahun 2016.
Berdasarkan press rilis yang diterima (1/11/2020), ILUNI Farmasi UI memiliki 4 alasan penolakan PMK No 26/2020 ini, yakni :
- Pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108 ayat 1 “Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
- Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 51 ayat2 “Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat
dilakukan oleh Apoteker.” - Penghapusan Pasal 11 dan Pasal 12 pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 74 tahun 2016 yang mengatur sanksi administratif dan jangka waktu Puskesmas harus memiliki apoteker dapat berdampak pada makin lebarnya jurang antara kondisi ideal dan realitas yang ada. Saat ini berdasarkan data IAI tahun 2019 bahwa terdapat sekitar 9000 Puskesmas di seluruh Indonesia dengan hanya 30% saja yang mempunyai apoteker sedangkan amanat Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah pada poin 1 dan 2 hanya dapat dilakukan oleh Apoteker. Kami berpendapat dengan hilangnya kewajiban Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan primer mengurangi semangat
kolaborasi antar profesi di bidang kesehatan (Interprofessional Collaboration in Healthcare) di Indonesia dan berdampak pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat. - Tidak ada urgensi Kementerian Kesehatan untuk merevisi Peraturan Menteri Kesehatan nomor 74 tahun 2016 dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 26 tahun 2020 yang berpotensi melemahkan peran dan fungsi apoteker. Selain itu, kondisi pandemi COVID-19 yang belum reda seharusnya Kementerian Kesehatan mengedepankan fokusnya untuk menurunkan kurva pandemi melalui 3T (Test, Trace, and treat) yang massif, kampanye 3 M (Mencuci tangan, Memakai masker, dan Menjaga jarak) dan perlindungan terhadap tenaga kesehatan dibandingkan peraturan yang tidak ada hubungannya dengan penanganan pandemi ini.
ILUNI Farmasi UI kemudian memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Mencabut dan merevisi Peraturan Menteri Kesehatan nomor 26 tahun 2020 dan memberi kewajiban Puskesmas untuk mendapatkan apoteker.
- Berdiskusi dengan Organisasi Profesi terkait dalam hal ini Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) mengenai solusi persebaran apoteker yang
belum merata khusunya di Puskesmas - Mengedepankan semangat kolaborasi antar profesi di bidang kesehatan (Interprofessional Collaboration in Healthcare) dalam mebuat peraturan dan tidak mendiskreditkan salah satu profesi kesehatan. Kami mencatat bahwa pada Januari 2020, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit yang mengkategorikan pelayanan farmasi sebagai pelayanan nonmedik setara dengan pelayanan laundry/binatu dan pemulsaran jenazah. Tentunya, ini mencederai semangat kolaborasi antar profesi di bidang kesehatan (Interprofessional Collaboration in Healthcare) di Indonesia.
Pernyataan sikap ini dikeluarkan oleh apt. Drs. Chairul Anwar sebagai Ketua ILUNI Farmasi UI dan apt. Abdelhaq S., S. Farm, M.Farm. Ind.
Tidak hanya memberikan pernyataan sikap, ILUNI Farmasi UI membuat petisi penolakan PMK No 26/2020 melalui situs Change.org dan meminta merevisi PMK nomor 26 tahun 2020 pada pasal 6 dan 12 yang menghapus aturan Puskesmas harus memiliki apoteker penanggungjawab, serta mengembalikan pasal 11 agar sistem regulasi kesehatan di Indonesia khususnya seluruh puskesmas di Indonesia dapat berjalan secara benar.
Selain itu, jajaran Menteri Kesehatan agar melakukan public hearing sebelum menerbitkan PMK sesuai dengan standar pelayanan publik yang berlaku.
Petisi tersebut dapat diakses melalui link http://bit.ly/TolakPMKNomor26Tahun2020 (Red./NW)