Categories: Sediaan Farmasi

Finerenone, Terapi Tambahan Baru Turunkan Risiko Komplikasi Pasien Ginjal Kronis Dengan Diabetes Melitus Tipe 2

Majalah Farmasetika – Di Indonesia, penyakit ginjal menempati urutan lima besar penyakit yang menyebabkan rawat inap dan kematian. Biaya perawatan untuk gagal ginjal juga besar, terutama untuk terapi hemodialisis.

Biaya perawatan penyakit ginjal sendiri merupakan rangking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Prevalensi ginjal kronis meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk lansia, penyakit diabetes, dan hipertensi. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi meningkat pada usia >15 tahun dan pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).

Pada tanggal 9 Juli 2021, Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui KERENDIA (finerenone) sebagai antagonis reseptor mineralokortikoid non-steroid untuk mengurangi risiko penurunan fungsi ginjal pada nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), gagal ginjal, kematian kardiovaskular, serangan jantung non-fatal, dan rawat inap untuk gagal jantung pada orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis yang terkait dengan diabetes tipe 2.

Persetujuan didasarkan pada data dari uji coba FIDELIO-DKD phase 3 multicenter, double-blind, plasebo terkontrol pada 5.674 pasien dengan CKD terkait dengan diabetes tipe 2. Hasil menunjukan bahwa Kerendia dapat mencegah kerusakan fungsi ginjal dan mengurangi kejadian kardiovaskular relatif 14% dibandingkan dengan plasebo.

Finerenone dengan merek dagang Kerendia yang diproduksi oleh Bayer saat ini tersedia dalam bentuk tablet, dan tablet salut film dengan dosis 20 mg dan 10 mg (Drugbank, 2021). Efek samping dari Kerendia meliputi hiperkalemia, hipotensi, hiponatremia. Bagi pasien dengan insufisiensi hormon adrenal dan pasien yang menerima pengobatan inhibitor CYP3A4 secara terus menerus tidak dibolehkan menggunakan obat Kerendia (FDA, 2021).
Finerenone (Kerendia) dengan bentuk sediaan yaitu tablet salut film (film-coated) terdiri dari zat aktif Finerenone dan eksipien yaitu lactose monohydrate, cellulose microcrystalline, croscarmellose sodium, hypromellose, magnesium stearate, dan sodium lauryl sulfate. Sedangkan untuk salut film nya terbuat dari hypromellose, titanium dioxide dan talc, serta ditambahkan pewarna ferric oxide red untuk tablet dosis 10 mg dan ferric oxide yellow untuk tablet dosis 20 mg. Tablet ini digunakan melalui rute oral (Bayer HealthCare Pharmaceuticals, 2021).
Sistem penghantaran obat dalam tablet Kerendia ini yaitu dengan membuat obat dalam bentuk tablet salut film yang menggunakan teknik penyalutan tablet dengan menyalut atau melapisi tablet secara tipis, baik berwarna ataupun tidak dengan penggunaan bahan polimer yang larut air. Tujuan penyalutan ini diantaranya untuk membuat pelesapan obat yang termodifikasi (Modified Drug Release), pelepasan obat yang diperlambat (Delayed Drug Release), Sustained Drug Release, meningkatkan kelarutan, dan menutupi rasa yang tidak enak (Seo, et al, 2020).
Sistem penghantaran obat dengan laju pelepasan obat terkendali digunakan untuk memaksimalkan efek dari terapi obat yang digunakan. Salah satunya dengan memodifikasi pelepasan dari zat aktif dengan penyalutan di mana penyalutan tersebut dapat menggunakan polimer sebagai film yang menyalut tablet.

Pelepasan suatu tablet bergantung pada ketebalan dan laju disolusi membran polimer dengan ketebalan tertentu, di mana pelepasan obat dapat ditunda sampai waktu tertentu setelah pemberian obat (Hillery L., dan Swarbick, 2005).

Beberapa kebaruan dari Finerenone (Kerendia) ialah:

  • Nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonist (MRA) finerenone ampuh mencegah fibrosis jantung dan meningkatkan parameter strain puncak longitudinal global dalam model tikus yang mengalami kerusakan subendocardial awal.
  • Diidentifikasi mekanisme farmakologis baru dari reseptor mineralokortikoid selektif (MR) modulasi yang membedakan finerenone nonsteroidal dari eplerenone MRA steroid berdasarkan pengikatan kofaktor MR selektif (Grune, et al, 2018).

Pada tanggal 20 september 2021, Perusahaan Bayer, selaku perusahaan pembuat Kerendia mengumumkan inisiasi studi FIND-CKD, Fase III multicenter, double-blind, terkontrol plasebo untuk penggunaan baru Kerendia (finerenone) yang diselidiki selain terapi yang diarahkan pedoman, yaitu pada perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD) pada pasien dengan CKD non diabetes, termasuk hipertensi dan glomerulonefritis kronis. Studi ini bertujuan untuk menunjukkan keunggulan finerenone atas plasebo dalam menunda perkembangan CKD pada pasien ini.
Uji klinik fase III ini bertujuan untuk meneliti efikasi dan keamanan finerenone sebagai terapi tambahan untuk memperlambat kerusakan ginjal pada pasien dengan CKD non-diabetes. Dalam uji klinik ini, dilakukan penelitian bagaimana finerenone membantu memperlambat memburuknya CKD non-diabetes dibandingkan dengan plasebo. Uji klinik ini dilakukan pada 5.734 partisipan laki-laki maupun perempuan berumur 18 tahun ke atas (NIH, 2021).
Adapun kriteria partisipan pada uji klinik ini yaitu pasien berumur 18 tahun ke atas yang didiagnosis secara klinik menderita diabetes mellitus tipe 2, mengalami albuminuria yang dilihat dari urine albumine-to-creatinine ratio (UACR) ≥30 dan <300 mg/g serta estimated glomerular filtration rate (eGFR) ≥25 dan <60 mL/min/1.73 m², menggunakan dosis maksimum Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau Angiotensin receptor blocker (ARB) paling tidak selama 4 minggu, dan K+ ≤ 4.8 mmol/L (NIH, 2021).
Sedangkan kriteria eksklusi untuk partisipan pada uji klinik ini yaitu pasien yang didiagnosis penyakit ginjal non-diabetes signifikan yang diketahui, termasuk stenosis arteri ginjal, hipertensi arteri yang tidak terkontrol (tekanan darah ≥170 mmHg/110 mmHg atau tekanan darah rata-rata saat skrining adalah ≥160 mmHg/100 mmHg), HbA1c >12%, dengan diagnosis klinis gagal jantung kronis dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF) dan gejala persisten (New York Heart Association [NYHA] kelas II – IV) saat kunjungan serta rekomendasi kelas 1A untuk antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA), pasien dengan stroke, serangan serebral iskemik transien, sindrom koroner akut, atau rawat inap karena gagal jantung yang memburuk dalam 30 hari terakhir sebelum skrining serta pasien yang melakukan dialisis untuk gagal ginjal akut dalam waktu 12 minggu setelah skrining (NIH, 2021).
Sebanyak 5.734 partisipan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diberikan finerenone dan kelompok yang diberikan plasebo. Sebanyak 2.866 partisipan masuk ke dalam kelompok yang diberikan finerenone 10 mg atau 20 mg sekali sehari dan sebanyak 2.868 partisipan diberikan plasebo sekali sehari. Dari semua partisipan yang mengikuti, 78 diantaranya tidak menyelesaikan uji klinik dikarenakan hilang kontak, mengundurkan diri, dan pelanggaran praktik klinik yang baik (NIH, 2021).
Setelah mengikuti uji klinik, didapatkan adverse event dari finerenon dan plasebo dengan mengkategorikan menjadi 3 kelas: Mortality, Serious Adverse, Other Adverse. Pada kelas mortality didapat hasil sebesar 7.8 % untuk finerenon dan 8.8 % untuk plasebo dari total partisipan yang selesai mengikuti uji klinik. Pada kelas serious adverse didapat hasil sebesar 31.9 % untuk finerenon dan 34.3 % untuk plasebo dari total partisipan yang selesai mengikuti uji klinik. Pada kelas other adverse didapat hasil sebesar 56.6 % untuk finerenon dan 55.9 % untuk plasebo dari total partisipan yang selesai mengikuti uji klinik. Dengan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa finerenone dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada pasien CKD non-diabetes dengan pengawasan dari tenaga medis dalam memantau adverse event yang dapat terjadi pada pasien (NIH, 2021).
Pengobatan gagal ginjal kronis di Indonesia dengan diabetes tipe 2 umumnya digunakan sulfonilurea kerja pendek, namun penggunaan obat ini masih perlu diwaspadai terkait risiko hipoglikemia. Penggunaan Kerendia dinilai dapat sangat bermanfaat bagi penderita gagal ginjal kronis terutama dengan diabetes mellitus tipe 2, namun sayangnya obat Kerendia dengan kandungan finerenone hingga saat ini belum beredar di Indonesia.

Sumber

https://www.fda.gov/drugs/new-drugs-fda-cders-new-molecular-entities-and-new-therapeutic-biological-products/novel-drug-approvals-2021

Sri Intan

Share
Published by
Sri Intan

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

3 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

2 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

2 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago