Opini

Nomenklatur PRAKTIK KEFARMASIAN dan PEKERJAAN KEFARMASIAN yang Benar

Majalah Farmasetika – Rubrik Opini. Nomenklatur PRAKTIK KEFARMASIAN dan PEKERJAAN KEFARMASIAN sangat perlu untuk diangkat sebagai topik pembicaraan karena ada yang berusaha membentuk opini seolah-olah PRAKTIK KEFARMASIAN dan PEKERJAAN KEFARMASIAN itu adalah 2 (dua) nomenklatur yang berbeda makna.

Benarkah demikian❓

Bagaimanakah peraturanperundangan di Indonesia menggunakan 2 (dua) nomenklatur ini untuk menunjukkan kewenangan profesional tenaga kefarmasian di Indonesia ❓

Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatikan tabel berikut

Tabel Nomenklatur Dalam Peraturanperundangan yang Digunakan Untuk Menunjukkan Kewenangan Professional Apoteker di Indonesia

REGULASI/PERATURAN PERUNDANGAN
Pasal 1 ayat (1) huruf b dan I UNDANG-UNDANG OBAT KERAS (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949)Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang FARMASIPasal 1 ayat (13) ; dan Pasal 63 ayat (1) dan (2)  Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 1992 tentang KESEHATAN junctis Peraturan Pasal 1 ayat (1) Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang PEKERJAAN KEFARMASIANPasal 108 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang KESEHATAN
Nomenklatur yang digunakan  Praktek Peracikan Obat  dan “Menyerahkan”PEKERJAAN KEFARMASIANPEKERJAAN KEFARMASIANPRAKTIK KEFARMASIAN
Cakupan Kewenangan Profesional Apoteker“Apoteker “ : Mereka yang sesuai dengan peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin sebuah Apotek. Pasal 1 ayat (1) huruf b   “Menyerahkan” : Termasuk penjualan, menawarkan untuk penjualan dan penjualan keliling. Pasal 1 ayat (1) huruf IPekerjaan kefarmasian, adalah : pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. Pasal 2 huruf e  Pekerjaan Kefarmasian adalah: pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pasal 1 ayat (13)   Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan olch tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu Pasal 63 ayat (1)   Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 63 ayat (2)  Praktik kefarmasiaan yang meliputi: pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 108 ayat (1)   Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 108 ayat (2)  
Tambahan Penjelasan Apoteker merupakan salahsatu jenis dari Tenaga Kesehatan sarjanaAsisten-Apoteker dan sebagainya merupakan salahsatu jenis dari Tenaga Kesehatan sarjana-muda, menengah dan rendah UU No. 6/1963 pasal 2Tenaga kefarmasian meliputi: apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. PP 32/1996 pasal 2 ayat (4)   Tenaga Kefarmasian terdiri atas: Apoteker; dan Tenaga Teknis Kefarmasian, terdiri dari:Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi,Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker PP 51/2009 pasl 33 ayat (1)&(2)   Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. PP 51/2009 pasl 1 ayat (5)   Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. PP 51/2009 pasl 1 ayat (6)  Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan pasal 108 ayat (1)   Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian, meliputi: sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi. UU 36/2014 pasal 11 ayat 6 dan penjelasannya  
KESIMPULAN:
PEKERJAAN KEFARMASIAN adalah nomenklatur yang digunakan dalam UU 23/1992 untuk menyebut PRAKTIK KEFARMASIAN di UU 36/2009, sehingga seharusnya nomenklatur PEKERJAAN KEFARMASIAN, tidak lagi dapat digunakan karena berganti dengan penggunaan nomenklatur PRAKTIK KEFARMASIAN seiring dengan diundangkannya UU 36/2009.
TIDAK ADA DASAR YURIDIS yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa pembagian kewenangan professional tenaga kefarmasian dengan nomenklatur yang berbeda yaitu nomenklatur PRAKTIK KEFARMASIAN untuk penyebutan kewenagan apoteker dan nomenklatur PEKERJAAN KEFARMASIAN untuk penyebutan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian.

Tabel ini dibuat sebagai dasar akademis/ilmiah untuk menguatkan keimpulan bahwa TIDAK ADA DASAR YURIDIS FORMIL yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa pembagian kewenangan professional tenaga kefarmasian dengan nomenklatur yang berbeda yaitu nomenklatur PRAKTIK KEFARMASIAN untuk penyebutan kewenagan apoteker dan nomenklatur PEKERJAAN KEFARMASIAN untuk penyebutan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian.

Karena PEKERJAAN KEFARMASIAN adalah nomenklatur yang digunakan dalam UU 23/1992 untuk menyebut PRAKTIK KEFARMASIAN di UU 36/2009, sehingga menurut saya seharusnya nomenklatur PEKERJAAN KEFARMASIAN, tidak lagi dapat digunakan karena berganti dengan penggunaan nomenklatur PRAKTIK KEFARMASIAN seiring dengan diundangkannya UU 36/2009.

Semoga ini dapat memberikan tambahan informasi agar sejawat sekalian tidak ikut-ikutan latah mengikuti arahan dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan berusaha mengkerdilkan kewenangan profesional apoteker dengan cara melakukan dikotomi terhadap kewenangan antar tenaga kefarmasian yang konsepnya secara ilmiah tidak dapat diterima.

Apoteker Sudarsono

Apoteker Klinis di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung,

Share
Published by
Apoteker Sudarsono

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

4 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

3 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

3 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago