Dispensing

Mengenal Praktik Menghitung Tarif Pelayanan Keapotekeran di Era JKN

Majalah Farmasetika – Dalam rangka memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, maka negara pada tanun 2004 telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana termasuk Program Jaminan Kesehatan didalamnya yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS), maka dibentulah BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan Jaminan Kesehatan dan memulai operasional pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tanggal 1 Januari 2014.

Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, diketahui bahwa konsep tarif pelayanan kesehatan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan (BPJSK) kepada fasilitas kesehatan yang menjadi mitra BPJSK sebagai provider pemberi layanan kesehatan kepada peserta JKN sebagian besar menggunakan konsep paket tariff prospektif yaitu tariff kapitasi untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan paket tariff Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s) untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Penerapan konsep paket tariff prospektif untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan kepada FKTP atau FKRTL oleh BPJSK, secara langsung merubah cara pandang manajemen fasilitas kesehatan terhadap farmasi (obat dan Bahan Alat Medis Habis Pakai), dimana sebelumnya farmasi dianggap sebagai unit penghasil berubah terbalik menjadi beban usaha yang harus dikontrol dengan ketat penggunaannya. Adapun perbedaannya antara sebelum dan sesudah era JKN dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel.1 Kondisi Pelayanan Kefarmasian di FKTP atau FKRTL

Pelayanan keapotekeran diyakini berbagai pihak diduga sebagai penyebab utama kerugian yang diderita oleh sebagian besar Rumah Sakit sebagai FKTRL. Dugaan ini tidak lepas dari hasil riset dari banyak peneliti menunjukkan bahwa proporsi farmasi dalam biaya pelayanan kesehatan merupakan proporsi terbesar setelah biaya gaji.

Apoteker sebagai satu-satunya profesi kefarmasian tentunya memiliki peran yang sangat strategis untuk melakukan efisiensi dan efektifitas baik dalam pengelolaan obat maupun pelayanan apoteker klinis, sepertiterlihat dalam gambar.1. Tindakan profesional keapotekeran dalam rangka meminimalisir beban anggaran rumah sakit  untuk pengadaan obat dilakukan oleh apoteker pengelola perbekalan farmasi, sedangkan untuk tindakan profesional keapotekeran dalam rangka mendorong efisiensi serta efektivitas penggunaan obat dalam terapi pengobatan bagi pasien di rumah sakit dilakukan oleh apoteker klinis pemberi asuhan keapotekeran diruangan perawatan (Ward Clinical Pharmacist).

Namun, peran strategis dari apoteker ini belum terlihat karena sampai saat ini BELUM memiliki konsep yang jelas terkait cara menghitung unit cost pelayanan keapotekeran dalam besaran nilai paket tarif prospektif. Untuk itu, penulis nilai perlu untuk sumbang saran melalui tulisan ini terkait dengan Model perhitungan Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran sebagai unit cost dalam besaran nilai paket tarif prospektif (kapitasi atau INA-CBGs) yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan untuk membayar pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta JKN dari FKTP atau FKTRL terutama pada kasus di Rumah Sakit yang menerima pembayaran pelayanan kesehatan dari BPJS Kesehatan dengan paket tariff INA_CBGs.

Berikut adalah contoh kasus yang mungkin akan ditemuai sejawat saat praktik di Rumah sakit. Pada semester I tahun 2022, RS “B” melakukan evaluasi terhadap klaim BPJS untuk bbrp koding INA-CBGs yang mengalami “kerugian” pada pasien rawat inap. Salah satunya adalah klaim dengan kode INA-CBGs : O‐6‐10‐I ( Operasi Pembedahan Caesar Dengan Tingkat Keparahan Ringan ). Untuk itu anda sebagai seorang apoteker klinis diminta untuk mempresentasikan besaran nilai unit cost pelayanan keapotekeran yang terkait dengan pelayanan ini baik nilai standar berdasarkan clinical pathway maupun nilai real saat ini.

Gambar.1 Strategi apoteker untuk melakukan efisiensi dan efektifitas baik dalam pengelolaan obat maupun pelayanan apoteker klinis

A. Pola Tarif Rumah Sakit

Tarif Rumah Sakit adalah imbalan yang diterima oleh Rumah Sakit atas jasa dari kegiatan pelayanan maupun non pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa, yang ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit atas persetujuan pemilik Rumah Sakit.

Dalam menetapkan Tarif Rumah Sakit harus memperhatikan asas gotong royong, adil dengan mengutamakan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah, dan tidak mengutamakan untuk mencari keuntungan.

Pola Tarif Rumah Sakit adalah pedoman dasar dalam pengaturan dan perhitungan untuk menetapkan besaran tarif rumah sakit yang berdasarkan komponen biaya satuan (unit cost) dan dengan memperhatikan kondisi regional. Biaya satuan pembiayaan (unit cost) adalah merupakan hasil perhitungan total biaya (total cost) masing-masing kegiatan yang dikeluarkan Rumah Sakit, yang dihitung dengan mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan, dan kompetisi yang sehat.

KEGIATAN YANG DIKENAKAN TARIF adalah Semua kegiatan pelayanan dan kegiatan non pelayanan di Rumah Sakit dikenakan Tarif Rumah Sakit.

1. Kegiatan pelayanan

a) Jenis Pelayanan

1) Pelayanan Medis

Pelayanan Medis dalah pelayanan yang bersifat individu yang diberikan oleh tenaga medis dan perawat berupa pemeriksaan, pelayanan konsultasi (pelayanan yang diberikan dalam bentuk konsultasi psikologi, gizi, apoteker klinis dan konsultasi lainnya) dan tindakan.

Jenis Pelayanan Medis meliputi :

i. Pemeriksaan dan Pelayanan Konsultasi;

Pemeriksaan dan Pelayanan Konsultasi adalah merupakan pelayanan yang dilakukan di rawat jalan dan rawat darurat.

ii. Visite dan Pelayanan Konsultasi;

Visite dan Pelayanan Konsultasi dalah merupakan Pelayanan Medis yang dilakukan di rawat inap. Pelayanan visite dan konsultasi ini dilakukan secara kolaboratif oleh professional pemberi asuhan (PPA) diantaranya adalah dokter, doktergigi, apoteker, gizi dan fisioterapis dengan mengusung konsep Patient Centered Care seperti terlihat pada gambar 2.

Gambar.2 Konsep Patient Centered Care

iii. Tindakan Operatif

Tindakan Operatif adalah merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan di kamar operasi pada pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat, yang dibedakan atas: Tindakan Operatif Kecil; Tindakan Operatif Sedang; Tindakan Operatif Besar dan Tindakan Operatif Khusus.

iv. Tindakan Non Operatif

Tindakan Non Operatif adalah merupakan tindakan tanpa pembedahan yang dilakukan pada pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat, yang dibedakan atas: Tindakan Non Operatif Kecil; Tindakan Non Operatif Sedang; Tindakan Non Operatif Besar dan Tindakan Non Operasi Khusus

v. Persalinan

Persalinan adalah merupakan Pelayanan Medis yang dilakukan di rawat inap yang dibedakan atas: Persalinan Normal; Persalinan Dengan Tindakan Pervaginam; dan Pelayanan Bayi Baru Lahir.

2) Pelayanan Penunjang Medis

Pelayanan Penunjang Medis adalah pelayanan kepada pasien untuk membantu penegakan diagnosis, terapi, dan penunjang lainnya. Jenis Pelayanan Penunjang Medis meliputi:

i. Pelayanan Laboratorium

Pelayanan laboratorium terdiri atas: Pemeriksaan Patologi Klinik; Pemeriksaan Patologi Anatomi dan Pemeriksaan Mikrobiologi Klinik

ii. Pelayanan Radiodiagnostik;

iii. Pelayanan Diagnostik Elektromedis;

iv. Pelayanan Diagnostik Khusus;

v. Pelayanan Rehabilitasi Medis;

Pelayanan Rehabilitasi Medis adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien dalam bentuk pelayanan fisioterapi, terapi okupasional, terapi wicara, ortotik/prostetik, bimbingan sosial medis dan jasa psikologi serta rehabilitasi lainnya. Pelayanan Rehabilitasi Medis terdiri atas: Pelayanan Rehabilitasi Medis; Pelayanan Rehabilitasi Psikososial dan Pelayanan Ortotik/Prostetik.

vi. Pelayanan Darah;
vii. Pelayanan Gizi;
viii. Pemulasaraan Jenazah;

Jenis pemulasaraan jenazah terdiri atas: Perawatan Jenazah Dan Penyimpanan Jenazah; Konservasi Jenazah; Bedah Mayat dan Pelayanan Lainnya

ix. Pelayanan Penunjang Medis Lainnya

3) Pelayanan Keapotekeran

Pelayanan Keapotekeran adalah pelayanan yang diberikan oleh apoteker mandiri atau bersama team farmasi melalui unit pelayanan  farmasi atau secara madiri sebagai apoteker klinis pemberi asuhan keapotekeran di ruangan perawatan dengan tujuan memberikan dukungan terapi pasien secara medikamentosa (farmakoterapi).

Pelayanan Keapotekeran dimaksud terdiri atas:

i. Pelayanan Kepotekeran Non-Farmasi Klinik

Pelayanan Keapotekeran Non-Farmasi Klinik, meliputi: pelayanan penyediaan atau penjualan obat dan Bahan Alat Medis Habis Pakai berdasarkan resep dokter, pelayanan racikan obat intra vena (IV admixture), pelayanan peracikan Nutrisi parenteral, pelayanan sitotoksic handling, dan pelayanan keapotekeran non farmasi klinik lainnya.

ii. Pelayanan Keapotekeran Farmasi Klinik

Pelayanan Keapotekeran Farmasi Klinik, meliputi konsultasi atau pendampingan pengobatan pasien penyakit kronis oleh apoteker klinis rawat jalan, pemberian asuhan keapotekeran diruangan rawat inap dan pelayanan keapotekeran farmasi klinik lainnya.

Direktur Rumah Sakit dapat menetapkan jenis pelayanan baru selain Pelayanan Medis, Pelayanan Penunjang Medis dan Pelayanan Keapotekeran.

b) Tempat Pelayanan

Tempat pelayanan terdiri atas pelayanan pada rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat.

i. Tempat pelayanan pada rawat jalan

Tempat pelayanan pada rawat jalan meliputi: Poliklinik, Kamar Operasi, Rawat Rehabilitasi, dan Kamar Tindakan Lainnya.

ii. Tempat pelayanan pada rawat inap

Tempat pelayanan pada rawat inap meliputi: Ruang Perawatan, Kamar Operasi, Kamar Bersalin, Rawat Intensif, dan Rawat Rehabilitasi

iii. Tempat pelayanan pada rawat darurat

Tempat pelayanan pada rawat darurat merupakan instalasi gawat darurat.

2. Kegiatan Non Pelayanan

Kegiatan non pelayanan yang dikenakan Tarif Rumah Sakit terdiri atas kegiatan:

a) Pendidikan dan Pelatihan;

Kegiatan pendidikan dan pelatihan meliputi: Magang, Orientasi, Studi Banding, Praktik Lapangan, serta Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Lain

b) Penelitian;

Kegiatan penelitian meliputi: Penelitian Kesehatan dan Penelitian Non Kesehatan

c) Kegiatan Penunjang Lainnya.

Kegiatan penunjang lainnya antara lain, adalah: kegiatan sewa alat/lahan/ruang, parkir, kantin, hostel, dan kerjasama operasional

Direktur Rumah Sakit dapat menetapkan jenis Kegiatan Non Pelayanan selain jenis kegiatan diatas.

Tarif Rumah Sakit untuk kegiatan pelayanan diperhitungkan berdasarkan komponen JASA SARANA dan JASA PELAYANAN pada rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat.

1. Jasa Sarana

Jasa Sarana adalah merupakan imbalan yang diterima oleh Rumah Sakit atas pemakaian akomodasi, bahan non medis, obat-obatan, bahan/alat kesehatan habis pakai yang digunakan langsung dalam rangka Pelayanan Medis dan Pelayanan Penunjang Medis.

Biaya JASA SARANA untuk tarif pelayanan di rumah sakit dapat dihitung dengan 2 metode/pendekatan yaitu MiCRO COSTING (Buttom Up Approach) dan STANDARD COSTING (Top Down Approach).

a) MiCRO COSTING (Buttom Up Approach)

Pendekatan ini mengidentifikasi semua sumber daya yang digunakan oleh seorang pasien pada saat menerima pelayanan kesehatan. Untuk jenis pelayanan tertentu yang sudah memiliki standar pelayanan yang baku seperti pelayanan laboratorium, pelayanan radiologi dan pelayanan hemodialisa peghitungan unit cost untuk biaya bahan perbekalan farmasi (obatobatan,bahan/alat kesehatan habis pakai dan reagen laboratorium) yang digunakan langsung untuk tiap jenis pelayanan/pemeriksaan sebaiknya menggunakan pendekatan MiCRO COSTING (Buttom Up Approach) ini karena hasil perhitungannya lebih persisi dan dapat meningkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan perbekalan farmasi termasuk perencanaan, penganggaran dan pengadaannya

b) STANDARD COSTING (Top Down Approach)

Dikenal sebagai “Average Costing” atau Unit Cost Rata-Rata. Pendekatan ini dilakukan dengan menghitung semua biaya/total biaya sarana dibagi total volume kegiatan jumlah kunjungan/pelayanan/tindakan/pemeriksaan dalam 1 (satu) tahun untuk tiap jenis pelayanan/pemeriksaan.

Penghitungan unit cost dengan pendekatan STANDARD COSTING (Top Down Approach) sangat tepat jika digunakan untuk menghitung besaran unit cost yang terkait dengan biaya tetap (fixed cost) seperti biaya listrik, biaya air, biaya ruangan, biaya pemakaian alat kesehatan.

2. Jasa Pelayanan

Jasa Pelayanan adalah merupakan imbalan yang diterima oleh pemberi pelayanan atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka Pelayanan Medis, Pelayanan Penunjang Medis dan/atau pelayanan lainnya. Jasa pelayanan sebagaimana dimaksud terdiri atas jasa tenaga kesehatan dan jasa tenaga lainnya.

Biaya JASA PELAYANAN baik untuk pelayanan di rawat jalan, rawat inap maupun rawat darurat, diperhitungkan dengan mempertimbangkankan beberapa hal dibawah:

a) Mempertimbangkan masukan dari berbagai unsur pelayanan di Rumah Sakit.
b) Untuk Jenis pelayanan yang sama harus diperhitungkan sama di semua kelas pelayanan.
c) Mempertimbangkan keberlangsungan pelayanan.

B. Tarif INA-CBG

Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) merupakan system pembayaran pelayanan kesehatan dalam program JKN yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada FKRTL. Tarif INA-CBG adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.

Sistem INA-CBG terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait satu sama lain. Komponen yang berhubungan langsung dengan output pelayanan adalah clinical pathway, koding dan teknologi informasi, sedangkan secara terpisah terdapat komponen kosting yang secara tidak langsung mempengaruhi proses penyusunan tarif INA-CBG untuk setiap kelompok kasus.

Dasar pengelompokan dalam INA-CBG menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, dengan acuan ICD-10 Versi Tahun 2010 untuk diagnosis dan ICD-9-CM Versi Tahun 2010 untuk tindakan/prosedur.

Gambar.3 Struktur Kode INA-CBG

Keterangan :

1. digit ke-1 (alfabetik): menggambarkan kode Casemix Main Groups (CMG);

2. digit ke-2 (numerik): menggambarkan tipe kelompok kasus (Case Groups);

3. digit ke-3 (numerik): menggambarkan spesifikasi kelompok kasus; dan

4. digit ke-4 (romawi): menggambarkan tingkat keparahan kelompok kasus.

Seperti terlihat pada gambar.3, struktur Kode INA-CBG terdiri atas:

1. Casemix Main Groups (CMG)

CMG adalah klasifikasi tahap pertama yang dilabelkan dengan huruf Alphabet              (A sampai Z) yang disesuaikan dengan ICD-10 Versi Tahun 2010 untuk setiap sistem organ tubuh manusia. Terdapat 29 CMG dalam INA-CBG yaitu:

No.Deskripsi Kode CMGKode CMG
1Central nervous system GroupsG
2Eye and adnexa GroupsH
3Ear, nose, mouth & throat GroupsU
4Respiratory system GroupsJ
5Cardiovascular system GroupsI
6Digestive system GroupsK
7Hepatobiliary & pancreatic system GroupsB
8Musculoskeletal system & connective tissue GroupsM
9Skin, subcutaneous tissue & breast GroupsL
10Endocrine system, nutrition & metabolism GroupsE
11Nephro-urinary System GroupsN
12Male reproductive System GroupsV
13Female reproductive system GroupsW
14Deleiveries GroupsO
15Newborns & neonates GroupsP
16Haemopoeitic & immune system GroupsD
17Myeloproliferative system & neoplasms GroupsC
18Infectious & parasitic diseases GroupsA
19Mental health and behavioral GroupsF
20Substance abuse & dependence GroupsT
21Injuries, poisonings & toxic effects of drugs GroupsS
22Factors influencing health status & other contacts with health services GroupsZ
23Sub-acute GroupsSF
24Special proceduressYY
25Special drugsDD
26Special investigationssII
27Special prosthesisRR
28Chronic GroupsCF
29Errors CMGX

Tabel 2. Casemix Main Groups (CMG)

2. Case Group

Case Group adalah sub-group kedua yang menunjukkan spesifikasi atau tipe kelompok kasus, yang dilabelkan dengan angka 1 (satu) sampai dengan 9 (sembilan).

GROUPDESKRIPSI
1Prosedur Rawat Inap
2Prosedur Besar Rawat Jalan
3Prosedur Signifikan Rawat Jalan
4Rawat Inap Bukan Prosedur
5Rawat Jalan Bukan Prosedur
6Rawat Inap Kebidanan
7Rawat Jalan kebidanan
8Rawat Inap Neonatal
9Rawat Jalan Neonatal
0Error

                                  Tabel 3. Case Group dalam INA-CBG

3. Case Type

Case Type adalah sub-group ketiga yang menunjukkan spesifik CBG yang dilambangkan dengan numerik mulai dari 01 sampai dengan 99.

4. Severity Level

Severity Level adalah sub-group keempat yang menggambarkan tingkat keparahan kasus yang dipengaruhi adanya komorbiditas ataupun komplikasi dalam masa perawatan. Keparahan kasus dalam INA-CBG terbagi menjadi:

a) “0”- untuk rawat jalan;
b) “I”-Ringan” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 1 (tanpa komplikasi maupun komorbiditi);
c) “II”-Sedang” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 2 (dengan mild komplikasi dan komorbiditi);
d) “III”-Berat” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan 3 (dengan major komplikasi dan komorbiditi)

Tarif INA-CBG terdiri atas tarif rawat jalan dan tarif rawat inap (tarif rawat inap kelas 1, tarif rawat inap kelas 2, dan tarif rawat inap kelas 3), dengan 6 (enam) kelompok tarif yaitu :

  1. Tariff Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo;
  2. Tariff Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, tarif Rumah Sakit Kanker Dharmais, tarif Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita;
  3. Tariff rumah sakit pemerintah dan swasta kelas A;
  4. Tariff rumah sakit pemerintah dan swasta kelas B;
  5. Tariff rumah sakit pemerintah dan swasta kelas C;
  6. Tariff rumah sakit pemerintah dan swasta kelas D.

Tarif INA- CBG terdiri dari 5 regional yaitu :

  1.  Tarif regional 1 meliputi Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur;  
  2. Tarif regional 2 meliputi Provinsi Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat;
  3. Tariff regional 3 meliputi Provinsi Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo;
  4. Tariff regional 4 meliputi Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Kalimantan Tengah;
  5. Tariff regional 5 meliputi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Terdapat pembayaran tambahan (Top Up) dalam sistem INA-CBG untuk kasus–kasus tertentu yang masuk dalam Special CMG, meliputi: special procedures, special drugs, special investigations, special prosthesis, subacute cases, dan chronic cases.

C. Perhitungan Besaran Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran sebagai Unit Cost dalam Paket Tarif INA-CBGs

Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran sebagai Unit Cost dalam Paket Tarif INA-CBGs secara garisbesartersusun atas komponen Proporsi Beban Farmasi  (PBFar) dan  Proporsi Beban Jasa Pelayanan Keapotekeran (PBJPApt). Adapun gambaran komponen penyusun Besaran Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran (PBPApt) sebagai Unit Cost dalam Paket Tarif INA-CBGs di rumah sakit dapat dilihat pada gambar.4

1. Proporsi Beban Farmasi  (PBFar)

Proporsi Beban Farmasi (PBFar) Merupakan proporsi atau persentase besaran nilai Beban Farmasi (BFar) dalam nilai paket tariff INA-CBGs untuk satu koding INA-CBGs. Proporsi Beban Farmasi  (PBFar)  tergolong dalam kelompok Jasa Sarana pada komponen tariff INA_CBGs dan besarannya dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

  • Proporsi Beban Farmasi (PBFar)
  • Beban Beban Farmakoterapi (BFtx)
  • Beban Beban Farmakoterapi (BFtx)
Gambar.4 komponen penyusun Besaran Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran (PBPApt) sebagai Unit Cost dalam Paket Tarif INA-CBGs di rumah sakit

a) Proporsi Beban Farmakoterapi (PBFtx)

Proporsi Beban Farmakoterapi (PBFtx) merupakan proporsi atau persentase besaran nilai Beban Farmakoterapi (BFtx) dalam nilai paket tariff INA-CBGs untuk satu koding INA-CBGs.

Nilai Proporsi Beban Farmakoterapi (PBFtx) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Keterangan:

  • PBFtx : Poporsi Beban Farmakoterapi.
  • BFtx : Beban Farmakoterapi
  • PC : Nilai prescription cost untuk item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit.

Beban Farmakoterapi (BFtx) merupakan total Precription cost dari seluruh item BAMHP standar yang digunakan untuk terapi suatu penyakit yang tercantum dalam sebuah dokumen Panduan Praktik Klinis (Clinical Pathway) atau tercatat dalam catatan instalasi farmasi diserahkan kepada pasien berdasarkan resep dokter untuk pelaksanaan tindakan medis atau keperawatan guna mendukung terapi suatu penyakit selama pasien menjalani perawatan di Rumah Sakit. Nilai Beban Farmakoterapi (BFtx) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Keterangan:

  • PC : Nilai prescription cost untuk item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit.

Nilai Prescription cost (PC) merupakan nilai nominal obat rata-rata yang dituliskan pada tiap resep untuk tujuan terapi yang besaran nilainya di pengaruhi oleh pemilihan item obat untuk terapi suatu penyakit, dosis terapi, pemilihan bentuk sediaan obat dan durasi pengobatan seperti terlihat pada gambar.5 . Nilai PC terbagi menjadi 2 kelompok yaitu nilai PC standar dan nilai PC aktual.

Gambar.5  Komponen pembentuk nilai Prescription cost

 Secara sederhana nilai PC untuk tiap item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit dapat dihitung dengan cara berikut:

Keterangan:

  • PC : Nilai prescription cost untuk item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit.
  • DDD : Difined Daily Dose atau dosis harian terbagi dari item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit (http://www.whocc.no/atc_ddd_index/).
  • KSO : Kekuatan sediaan obat dari item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit.
  • HSO : Harga perolehan satuan terkecil dari item obat yang digunakan untuk terapi suatu penyakit    
  • DP : Durasi pengobatan (hari) untuk suatu penyakit

b) Proporsi Beban NonFarmakoterapi (PBNFtx).

Perhitungan Proporsi Beban NonFarmakoterapi (PBNFtx), pada prinsipnya sama saja dengan perhitungan Proporsi Beban Farmakoterapi (PBFtx) sehingga rumus perhitungan nilai proporsinya sama saja. Kedua komponen ini dihitung terpisah karena perbedaan objek perhitungan dimana untuk Beban NonFarmakoterapi (BNFtx) difokuskan pada seluruh item BAMHP standar yang digunakan untuk terapi suatu penyakit yang tercantum dalam sebuah dokumen Panduan Praktik Klinis (Clinical Pathway) atau tercatat dalam catatan instalasi farmasi diserahkan kepada pasien berdasarkan resep dokter untuk pelaksanaan tindakan medis atau keperawatan guna mendukung terapi suatu penyakit selama pasien menjalani perawatan di Rumah Sakit.

2. Proporsi Beban Jasa Pelayanan Keapotekeran (PBJPApt).

Jasa Pelayanan Keapotekeran adalah merupakan total imbalan yang diterima oleh apoteker pemberi layanan atau asuhan keapotekeran atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka Pelayanan keapotekeran klinis atau pelayanan keapotekeran Non Klinis selama pasien dengan diagnose pada kode INA-CBGs tertentu dirawat baik rawat darurat, rawat jalan dan/atau rawat inap.

Proporsi Beban Jasa Pelayanan Keapotekeran (PBJPApt) tergolong dalam kelompok Jasa Pelayanan pada komponen tariff INA_CBGs, yang merupakan hasil penjumlahan Proporsi Beban Jasa Pelayanan Keapotekeran Klinis (PBJPAptKlin) dan Proporsi Beban Jasa Pelayanan Keapotekeran Non Klinis (PBJPAptNKlin).

Keterangan:

  • PBJPApt : Poporsi Beban Jasa Pelayanan Apoteker
  • PBJPAptKlin : Poporsi Beban Jasa Pelayanan Apoteker Klinis
  • PBJPAptNKlin : Poporsi Beban Jasa Pelayanan Apoteker Non Klinis
  • BJPAptKlin : Beban Jasa Pelayanan Apoteker Klinis
  • BJPAptNKlin : Beban Jasa Pelayanan Apoteker Non Klinis

Secara garis besar, gambaran model perhitungan Besaran Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran sebagai Unit Cost dalam Paket Tarif INA-CBGs (PUCPApt) di rumah sakit dapat dilihat pada gambar.6

Gambar.6 gambaran model perhitungan Besaran Proporsi Beban Pelayanan Keapotekeran sebagai Unit Cost dalam Paket Tarif INA-CBGs (PUCPApt) di rumah sakit

Demikianlah sedikit sharing pengetahuan dan pengalam dari saya, semoga dapat bermanfaat dan menjadi bahan diskusi kita untuk kemajuan profesi apoteker yang sama-sama kita cintai.

Daftar Pustaka:

  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS)
  • Peraturan pemerintah No. 12  tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Negara
  • Peraturan pemerintah No. 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumah Sakitan
  • Permenkes Nomor. 85 Tahun 2015, tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit 
  • Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
  • Permenkes Nomor 76 Tahun 2016 Tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
  • Permendagri Nomor 79 Tahun 2018, tentang Badan Layanan Umum Daerah
  • Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah
  • Sudarsono. 2016. “Identifikasi Drug Related Problems Dan Analisis Nilai Prescription Cost Dan Persentase Komponen Obat Dalam Besaran Tarif Kapitasi Puskesmas Di Kota Pangkalpinang.” Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
  • Sudarsono. 2020. “The Role and Strategy of Pharmacist in an Efficient Management of Medication Suply during Pandemic Covid-19.” Presented at the INSPIRASI (Inisiatif, Pikiran dan Karya Alumni Farmasi UII), Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
  • Sudarsono. 2022. “Kalkulasi Dan Analisis Nilai Proporsi Beban Farmakoterapi Dalam Paket Tarif INA-CBGS Untuk Operasi Pembedahan Caesar Dengan Tingkat Keparahan Ringan (O‐6‐10‐I) Di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang Tahun 2021”, Penelitian untuk Jabatan Fungsional Apoteker,  Pangkalpinang.
Apoteker Sudarsono

Apoteker Klinis di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung,

Share
Published by
Apoteker Sudarsono

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

3 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

2 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

2 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago