Majalah Farmasetika – Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan kegiatan untuk menjamin dan dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Sumber daya manusia termasuk kedalam aset penggerak operasional perusahaan. Perusahaan manufaktur farmasi didukung dengan sumber daya manusia yang professional. Industri farmasi yang bergerak di bidang produksi obat onkologi harus dapat mengimplementasikan sistem manajemen K3 dengan baik.
Dalam penerapan K3 di industri farmasi, apoteker bertanggung jawab atas pengenalan, menjamin pemahaman K3 serta memastikan bahwa K3 dijalankan dengan benar dan konsisten.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Industri farmasi harus memiliki 3 orang Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi. Sehingga apoteker dituntut untuk memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan praktis dan manajerial dalam mengaplikasikan kemampuan dan ilmunya secara profesional.
Tenaga kerja merupakan salah satu sumber daya manusia yang penting keberadaannya dalam operasional perusahaan. Perusahaan meyakini bahwa sumber daya manusia yang profesional, terpercaya, kompeten dan tekun adalah kunci keberhasilan pencapaian tujuan. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat menjamin keselamatan pekerjanya (Wildan A, 2022).
Begitu juga dengan perusahaan industri farmasi yang bergerak di bidang produksi onkologi dengan bentuk sediaan tablet, injeksi cair volume dan injeksi liofilisasi (freeze dry) untuk pengobatan kanker.
Penerapan sistem manajemen (K3) di Gedung pembuatan obat onkologi sudah semestinya diimplementasikan dengan baik. Beberapa Obat kanker mempunyai efek berbahaya, baik dari sisi toksisitas, hipersensitifitas ataupun paparan terhadap personil dan lingkungan.
Obat kanker bekerja dengan cara menghentikan atau memperlambat pertumbuhan sel kanker. Namun, obat kanker juga ikut membunuh sel-sel sehat yang berada di sekitarnya. Efek toksik kemoterapi terdiri atas efek toksik jangka pendek dan efek toksik jangka Panjang. Efek toksik jangka pendek diantaranya depresi sumsum tulang, reaksi gastrointestinal, rudapaksa fungsi hati dan ginjal, kardiotoksisitas, pulmotoksisitas, neurotoksisitas dan reaksi alergi. Kemudian untuk efek toksik jangka panjangnya ialah karsinogenisitas dan infertilitas (BCCOG, 2013).
Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja memiliki dampak yang cukup besar yaitu sumber bahaya kerja dapat berupa faktor fisik, kimia, biologis, serta mental psikilogis atau tindakan manusia yang merupakan penyebab terjadinya kecelakaan yang harus ditangani secara dini (Moniaga & Rompis,2019).
Maka dari itu, industri farmasi menerapkan aturan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Ruang lingkup dan tanggung jawab Pengawasan Mutu atau Quality Control (QC) mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan persyaratan (CPOB, 2018).
Salah satu tanggung jawab dari seorang apoteker di Pengawasan Mutu adalah memastikan bahwa terciptanya keselamatan kerja bagi personil yang bekerja di laboratorium.
Untuk dapat menjamin terciptanya keselamatan kerja di laboratorium QC dibuat prosedur tetap atau SOP terkait Keselamatan Kerja di Laboratorium oleh QC Supervisor. Tanggung jawab dari QC Supervisor adalah memberikan pengenalan dan pemahaman kepada setiap karyawan terkait keselamatan kerja selama berada di laboratorium. Pengenalan dan pemahaman dapat disampaikan dalam bentuk tertulis ataupun training.
Setiap karyawan di laboratorium harus memahami penanganan bahan berbahaya dan beracun, mudah terbakar, mudah meledak, korosif, iritasi dan mudah teroksidasi baik dalam penyimpanan, penggunaan dan pembuangannya. Selain itu, karyawan mampu memahami penanganan kecelakaan kerja akibat B3, dan penanganan kecelakaan kerja akibat sitostatika.
Karyawan juga harus dapat menjamin bahwa penempatan bahan kimia dengan aman, serta penandaan dan peringatan bahan kimia yang jelas. Apabila terjadi kecelakaan kerja akibat bahan kimia, untuk pertolongan pertama dapat dilihat di Material Safety Data Sheet (MSDS).
Contoh penanganan kecelakaan kerja akibat sitostatistika, jika kontak dengan kulit segera bilas dengan air hangat dan cuci dengan sabun dan jika kulit tidak sobek seka area kulit dengan kassa yang dibasahi larutan Chlorin 5% dan bilas dengan air hangat. Kemudian jika kulit sobek maka seka dengan H2O2 3%, catat jenis obatnya dan siapkan antidot khusus (Depkes RI, 2009).
Sebagai upaya dalam mencegah personil terpapar atau terkontaminasi partikel dari sampel dan peralatan, maka personil diwajibkan untuk menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Laboratorium industri farmasi onkologi dibagi menjadi 2 yaitu laboratorium kimia dengan kelas kebersihan F dan laboratorium mikrobiologi dengan kelas kebersihan D.
Tentunya dalam penggunaan APD terdapat perbedaan. Saat akan memasuki laboratorium mikrobiologi, gunakan sepatu kerja kelas D dan baju antistatis atau baju yang bila terkontaminasi partikel tidak akan menempel pada baju tetapi partikel tersebut akan terjatuh. Selain itu, terdapat beberapa jenis penggunaan APD untuk personil berdasarkan tingkatan resiko kemanannya, yaitu :
Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di laboratorium dapat dilaksanakan dengan baik apabila personil dapat memahami penanganan bahan kimia, baik dari segi penyimpanan, penggunaan ataupun pembuangannya. Kemudian karyawan mampu memahami penanganan kecelakaan kerja akibat B3, sitostatika. Upaya lain yang dilakukan dalam implementasi K3 adalah penggunaan APD.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar dkk. 2013. Bandung Controversies And Concensus In Obstetric And Gynecology BCCOG. Jakarta : Sagung Seto.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2018. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 Tahun 2018 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: BPOM RI.
Depkes RI, 2009. Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan Sitostatika. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Moniaga F., & Rompis V. S. 2019. Analisa Sistem Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (Smk3) Proyek Kontruksi Menggunakan Metode Hazard Identification and Risk Assessment. Jurnal Ilmiah Realtech, 15(2) 65-73.
Wildan A, 2022. Potensi Bahaya Pada Proses Pembuatan Tablet Onkologi Menggunakan Metode HIRA JSA. Journal of Applied Management Research Vol. 2 No. 1
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…