Majalah Farmasetika – Obat sebagai penunjang kesehatan, harus memenuhi kriteria aman (safety), berkualitas (quality), dan berkhasiat (efficacy). Atas dasar tersebut, berbagai upaya diterapkan sejak obat akan dibuat hingga sampai ke tangan pasien untuk dapat mencapai kriteria yang diinginkan. Tak cukup sampai situ, pengawasan yang ketat dari lembaga yang berwenang, juga kerap kali dilakukan, demi menjaga masyarakat dari obat yang tidak memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu. Salah satu bentuk upaya pengawasan obat yang dilakukan oleh badan berwenang yang tidak lain adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu dengan menerapkan sistem serialisasi terhadap produk-produk farmasi dalam bentuk 2D Barcode.
Penggunaan 2D Barcode dalam pengawasan obat dan makanan oleh BPOM, merupakan inovasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi guna memudahkan baik masyarakat, petugas BPOM, ataupun pelaku usaha dalam menerima informasi terkait identitas produk, yang nantinya dapat dikaitkan dengan legalitas, kesesuaian penyaluran, serta keaslian produk.
Penerapan pengawasan obat dan makanan melalui serialisasi 2D Barcode ini sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 2018, sesuai dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 33 Tahun 2018 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan. Peraturan tersebut menginformasikan tentang penerapan 2D Barcode terhadap produk obat meliputi golongan obat keras, produk biolohi, narkotika, psikotropika, obat bebas, obat bebas terbatas, produk obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetika, dan pangan olahan. Peraturan tersebut selanjutnya diperbaharui dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 22 Tahun 2022 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan. Pembaharuan peraturan tersebut membuahkan hasil penambahan ruang lingkup penerapan serialisasi 2D Barcode yaitu komoditi obat kuasi.
Berdasarkan peraturan tersebut, yang dimaksud dengan Two-dimensional (2D) Barcode adalah data digital yang dikemas dalam format barcode dua dimensi yang dapat dipindai untuk memberikan informasi terkait identifikasi, penelusuran, atau pelacakan dari suatu produk. 2D Barcode tersebut diterapkan untuk produk obat dan makanan yang diedarkan di dalam negeri. Penerapan 2D Barcode ini berguna untuk memudahkan petugas BPOM dalam melakukan identifikasi legalitas, keaslian, dan keamanan produk. Selain itu penerapan sistem pengawasan ini juga dinilai mampu meningkatkan efisiensi pengawasan karena dengan memanfaatkan teknologi barcode dua dimensi, dapat memberikan informasi terkait riwayat penyaluran dari obat tersebut. Pada akhirnya, output dari penerapan sistem ini adalah standar keamanan, khasiat, dan mutu.
Penerapan sistem serialisasi ini juga didasari atas maraknya peredaran obat palsu di masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO) berdasarkan data tahun 2018, diestimasikan 1 dari 10 produk medis yang beredar di negara dengan penghasilan rendah hingga menengah, berada di bawah standar, atau dipalsukan. Pernyataan tersebut tidak lain menggambarkan bahwa sekitar 10% produk medis yang beredar adalah produk tidak memenuhi standar atau palsu. Tidak dapat dipungkiri, di Indonesia sendiri sudah ditemukan beberapa kejadian pemalsuan produk obat, beberapa kasusnya yang terbaru di tahun 2023 adalah Penemuan 10.000 paket obat pelangsing ilegal pada Bulan November ini, dan penemuan peredaran obat keras palsu senilai Rp130,04 miliar pada Bulan Mei 2023 yang keduanya dijual di market place atau toko online. Kejadian pemalsuan tersebut menimbulkan banyak sekali kerugian, bagi pasien yang mengkonsumsi serta bagi pelaku usaha yang sebenarnya. Dengan demikian, adanya serialisasi ini juga membantu pelaku usaha dalam meningkatkan brand reputation dari usahanya tersebut, dan membantu masyarakat untuk menghindari produk tidak memenuhi standar dan palsu.
Penerapan 2D Barcode untuk produk obat dan makanan dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu Metode Otentifikasi dan Metode Identifikasi.
Otentifikasi adalah metode untuk menelusuri dan memverifikasi legalitas, nomor bets, kedaluwarsa, dan/atau nomor serial produk obat dan makanan. Metode Otentifikasi dalam penerapan 2D Barcode, berlaku untuk obat keras (termasuk produk biologi), narkotika, dan psikotropika. Kode tersebut berupa serangkaian angka dan huruf dan dapat diterbitkan oleh Badan POM atau Pelaku Usaha secara mandiri. Informasi minimal yang tercantum adalah sebagai berikut.
Kode | Informasi | Jumlah Karakter | Format Data |
(90)XXXXXXXXXXXX | (90) diikuti Nomor Izin Edar Produk | Maksimal 16 (alfanumerik) | Sesuai NIE produk |
(10)WWWWWW | (10) diikuti nomor bets atau lots | 1-20 (alfanumerik) | Sesuai no. bets/lots produk |
(17)VVVVVV | (17) diikuti akhir masa kedaluwarsa produk | Maksimal 6 (numerik) | YYMMDD (Tahun-Bulan-Tanggal) |
(21)YYYYYYYYYYYY YYYY | (21) diikuti nomor serialisasi produk | 1-20 (alfanumerik) | 1) Jika 2D Barcode dihasilkan dari aplikasi Track and Trace BPOM, maka serialisasi dihasilkan BPOM.2) Jika 2D Barcode dihasilkan secara mandiri, maka serialisai mengikuti kebijakan pelaku usaha |
(01)XXXXXXXXXXXX | (01) diikuti identitas produk secara internasional yaitu Global Trade Item Number (GTIN) | 14 (numerik) | Dihasilkan oleh pihak ke-3 melalui keanggotaan. |
Identifikasi adalah metode untuk memverifikasi legalitas obat dan makanan. Metode Identifikasi berlaku untuk obat bebas, obat bebas terbatas, obat tradisional, obat kuasi, suplemen kesehatan, kosmetika, dan pangan olahan. Pada metode identifikasi, 2D Barcode wajib sesuai dengan 2D Barcode yang tercantum dalam izin edar secara elektronik. Izin edar ini diterbitkan oleh Badan POM. Pada Izin Edar secara elektronik akan diterbitkan 2D Barcode yang terdiri dari informasi:
Kode | Informasi | Jumlah karakter | Format data |
(90)XXXXXXXXXXXX | (90) diikuti Nomor Izin Edar Produk | Maksimal 16 (alfanumerik) | Sesuai NIE produk |
2D Barcode yang dicantumkan pada kemasan harus sesuai dengan 2D Barcode yang terdapat pada Izin Edar secara elektronik dan dapat dipindai di aplikasi BPOM Mobile |
2D Barcode diterbitkan berdasarkan permohonan Pelaku Usaha yang disampaikan melalui Aplikasi Track and Trace Badan POM.Permohonan tersebut diajukan oleh Pelaku Usaha dengan sebelumnya memiliki hak akses yang terdaftar dalam Aplikasi Track and Trace Badan POM. Hak akses Pelaku Usaha didapatkan dengan mengisi formulir pendaftaran pada Aplikasi Track and Trace Badan POM yang yang berisi Nomor Izin Edar, nomor bets atau kode produksi, tanggal kedaluwarsa, jumlah kode primer yang diminta, jumlah kode primer maksimal pada Kemasan Sekunder, dan jumlah kode sekunder maksimal pada Kemasan Tersier. Setelah mengisi form tersebut, Pelaku Usaha akan diikuti dengan mendapatkan nama pengguna dan kata sandi. Jika Pelaku Usaha telah mendapatkan identitas produk secara internasional, maka dapat mencantumkan identitas produk tersebut dalam data permohonan.
Barcode yang sudah terpasang pada produk nantinya dapat dipindai oleh masyarakat untuk mengetahui bahwa produk tersebut terdaftar BPOM atau tidak. Adapun cara mengetahui legalitas produk menggunakan 2D Barcode adalah sebagai berikut:
Dapat disimpulkan bahwa Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan penting dilakukan karena dapat menunjang Badan POM dalam menjaga aspek keamanan, khasiat dan mutu obat dari sebelum dan dalam masa peredaran di masyarakat, serta dapat memudahkan masyarakat dalam mengetahui produk yang terdaftar di Badan POM, sehingga dapat lebih terhindar dari obat palsu.
BPOM RI. 2022. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penerapan 2D Barcode Dalam Pengawasan Obat dan Makanan. Tersedia daring di https://jdih.pom.go.id/preview/slide/1423/22/2022 [Diakses pada 8 November 2023]
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…