Majalah Farmasetika (V1N8-Oktober 2016). HIV dan tuberkulosis (TB) sering kali dikaitkan dengan kadar vitamin D yang rendah, begitu juga dengan pengobatan menggunakan efavirenz yang diedarkan oleh Kimia Farma. Obat efavirenz adalah obat yang dipakai sebagai bagian dari terapi antiretroviral (ART
Untuk mempelajari hubungan antara keempat hal ini, yaitu HIV, TB, efavirenz, dan kadar vitamin D yang rendah, beberapa fakta ini harus dipertimbangkan.
Akan tetapi, faktor-faktor risiko defisiensi vitamin D yang mungkin pada pasien yang mendapatkan efavirenz dengan atau tanpa rifampisin masih belum jelas.
Bulan Agustus 2016, jurnal Medicine memuat sebuah penelitian yang menunjukkan kadar kolesterol plasma yang rendah, tingginya aktivitas CYP3A, dan tingginya konsentrasi efavirenz pada plasma kemungkinan secara idiosinkratik memperparah defisiensi vitamin D.
Studi pengamatan tersebut melibatkan individu dewasa Ethiopia dengan atau tanpa komorbid tuberculosis yang memiliki jumlah CD4+ sebanyak 200 sel/mm3 atau kurang. Kedua regimen HIV yang digunakan (zidovudine/lamivudine/efavirenz dan stavudine/lamivudine/efavirenz) melibatkan penggunaan efavirenz 600 mg. Pasien yang terinfeksi TB juga menerima terapi berbasis rifampisin.
Para peneliti mengumpulkan data konsentrasi kolesterol, 4b-hidroksikolesterol, dan 25(OH)D3 pada minggu ke-0, 4, 16, dan 48. Pasien cenderung tidak mengalami produksi vitamin D musiman yang banyak terjadi di daerah ekuator Ethiopia.
Setiap pasien memiliki kadar vitamin yang rendah atau kurang pada saat pengamatan dan tidak ada satupun pasien yang mencapai target kadar vitamin D (>72,5 ng/L) selama tahap tindak lanjut. Peneliti mengaitkan hal ini dengan infeksi HIV.
Sebagian besar pengguna rifampisin pada umumnya mengalami defisiensi vitamin D yang berat. Akan tetapi, pengguna efavirenz yang tidak mengonsumsi rifampisin secara bersamaan mengalami defisiensi vitamin D yang lebih berat. Defisiensi vitamin D berat (<25 ng/L) meningkat 3 kali lipat pada 4 minggu pertama penggunaan efavirenz pada kelompok ini.
Efavirenz menurunkan kadar kolesterol, sedangkan rifampisin memiliki efek sebalikya. Efek yang berlawanan terhadap kolesterol ini dalat menjelaskan efek kombinasi terapi terhadap vitamin D. Sementara itu, peningkatan aktivitas CYP3A4 dikaitkan dengan rendahnya kadar vitamin D pada minggu ke-0 dan ke-4.
Karena pengendalian HIV yang lebih baik dapat meningkatkan vitamin D, defisiensi dapat pulih saat itu juga pada banyak pasien. Populasi ini lebih sedikit dibandingkan populasi bandingan lainnya di negara-negara khatulistiwa, tetapi keparahan pasien HIV/AIDS menjelaskan laju defisiensi yang umumnya tinggi.
Meskipun kadar vitamin D meningkat dengan terapi HIV, pasien akan tetap mengalami defisiensi tanpa pemberian suplemen secara memadai.
Sumber : http://www.pharmacytimes.com/resource-centers/hiv/hiv-and-low-vitamin-d-a-look-at-mechanisms#sthash.Vg51ATSK.dpuf
Majalah Farmasetika - Obat tradisional telah digunakan secara turun-temurun sebagai alternatif atau pelengkap dalam pengobatan…
Majalah Farmasetika - Industri farmasi memiliki tanggung jawab besar dalam memproduksi obat yang aman, efektif,…
Majalah Farmasetika - FDA telah menyetujui vimseltinib (Deciphera Pharmaceuticals) untuk pengobatan pasien dewasa dengan tenosynovial…
Majalah Farmasetika - FDA telah memberikan penunjukan fast track (FTD) untuk 67Cu-SAR-bisPSMA (Clarity Pharmaceuticals), yang…
Majalah Farmasetika - FDA telah menyetujui tablet chenodiol (Ctexli; Mirum Pharmaceuticals) untuk pengobatan cerebrotendinous xanthomatosis…
Majalah Farmasetika - Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) secara resmi memberikan penunjukan…