Majalah Farmasetika (V1N10-Desember 2016) – Rubrik Opini. Obat merupakan dimensi tersendiri. Demikian pula mengenai Apoteker. Pemahaman parsial atas obat yang dimengerti sebagai bagian dari mata rantai pelayanan kesehatan sama sekali tidak mencukupi untuk membangun persepsi bahwa pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker hanya akan berjalan apabila ada ‘pendelegasian’ profesi tertentu.
Pemahaman demikian tidak hanya tidak dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sekaligus juga menunjukkan adanya ketidak mengertian atas paradigma dalam sosiologi kewenangan itu sendiri. Jika tidak hati-hati, benturan antar profesi mungkin tidak dapat dielakkan.
Siapapun boleh memiliki pandangan sempit bahwa obat merupakan benda/sediaan farmasi yang bermanfaat untuk maksud-maksud medis atau aspek kesehatan lainnya. Tetapi jangan dilupakan bahwa pandangan tersebut adalah bertolak dari informasi dan deskripsi yang dibangun dari definisi dasar obat. Definisi dasar obat tidak akan pernah muncul bila tidak ada peran Apoteker di dalamnya.
Apoteker memerlukan sintesa dan analisa yang sangat mendalam untuk menemukan obat. Apoteker memerlukan waktu bertahun-tahun dengan serangkaian uji klinis yang rumit hanya untuk mendefinisikan ‘satu manfaat tertentu’ dari suatu substansi. Apoteker membutuhkan tanggungjawab etika dan moral yang sangat tinggi hanya untuk membuat pernyataan spesifik “indikasi obat”. Bahkan untuk itu, seseorang harus Mengangkat Sumpah.
Definisi obat adalah mendasar. Dari definisi tersebut, barulah pengertian berikutnya akan dibangun. Lebih jauh bahkan siapapun sesungguhnya tidak layak membuat pernyataan lebih rinci berikutnya apabila tidak didasari oleh pengertian mendalam atas definisi obat.
Sumpah Profesi Apoteker yang membentang dari hulu sampai hilir, dari pertama obat ‘ditemukan’, diproduksi, dilipatgandakan, disalurkan dan dilayankan kepada pasien selalu dipelihara oleh etika dan tanggungjawab tangan ke tangan para Apoteker. Tertutup rapat oleh kerahasiaan farmasi seorang Apoteker.
Begitu teguhnya Apoteker menjaga ‘manfaat dan risiko obat’ hingga untuk menyerahkan obat kepada pasien pun harus mensyaratkan skrining ketat atas resep yang ditulis seorang dokter. Atasnama keilmuan, hukum dan etika profesi, Apoteker memiliki alasan substantif bahkan subyektif untuk ‘menolak suatu permintaan’.
Tidak akan ada seorang pun yang dapat memaksa Apoteker untuk menyerahkan atau tidak menyerahkan obat. Apoteker dapat mendelegasikan pekerjaan teknis kepada staff kefarmasian yang diyakini memiliki keterampilan untuk itu. Tidaklah salah apabila seseorang yang tidak memiliki keilmuan, keahlian dan kewenangan dalam bidang kefarmasian melakukan praktik kefarmasian, akan dipersalahkan oleh hukum. Profesi lain sama sekali tidak dapat mengambil bagian ini hanya untuk alasan dan atasnama mekanisme pelayanan.
Apoteker adalah profesi yang mandiri (independen) dan mampu mendifinisikan diri sendiri. Apoteker akan mengesampingkan pertimbangan suku, agama, aliran kepercayaan, politik kepartaian maupun kedudukan sosial apapun untuk memastikan bahwa tindakannya adalah benar untuk kemanusiaan dan keselamatan insani dalam ilmu dan Sumpah.
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…
Majalah Farmasetika - Produk farmasi, seperti obat-obatan, memerlukan stabilitas tinggi untuk menjaga efektivitas dan kualitasnya…