farmasetika.com – Rubrik Opini – Setelah kasus penyalahgunaan PCC di Kendari pada tanggal 14 September 2017 lalu yang juga dikenal dengan nama dagang Somadril compositium, selanjutnya psikotropika racikan ini menjadi ancaman untuk wilayah Indonesia bagian barat dengan ditemukannya sekitar 2000 butir obat PCC oleh Polrestabes Medan pada tanggal 22 September 2017. Kasus ini terus bergulir dengan dilakukannya penggeledahan oleh aparat di apotek.
Awal kasus di Kendari diduga disebabkan oleh konsumsi PCC, somadril dan tramadol. Banyak masyarakat yang mempertanyakan, apakah sebenarnya PCC tersebut? Berbeda dengan parasetamol atau kafein yang telah umum dikenal, PCC yang kandungannya terdiri dari parasetamol, kafein dan karisoprodol/carisoprodol (selanjutnya disebut dengan nama PCC) yang bukan merupakan obat golongan narkotika dan psikotropika dan juga bukan golongan narkoba flakka adalah istilah baru untuk sebagian orang.
Parasetamol dan kafein hingga saat ini masih legal digunakan di Indonesia, lain halnya dengan karisoprodol yang telah ditarik peredarannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2013. Somadril adalah obat yang mengandung PCC, dengan kata lain somadril adalah merek dagang dari PCC termasuk salah satu obat yang telah ditarik izin edarnya sejak tahun 2013. Sehingga dapat dikatakan bahwa karisoprodol adalah senyawa didalam komposisi PCC yang memberikan efek ”mengerikan”.
Apakah karisoprodol tersebut sebenarnya? Mengapa dilakukan penarikan izin edar karisoprodol dari pasaran?
Obat yang pertama kali dipasarkan dengan nama dagang Soma pada tahun 1950 ini adalah obat relaksan otot yang termasuk di dalam golongan karbamat. Mula-mula obat ini diduga memiliki efek antiseptik. Frank M. Berger di Wallace Laboratories melakukan penelitian akan obat ini yang selanjutnya dikenal dengan nama karisoprodol (N-isopropyl-2 methyl-2-propyl-1,3-propanediol dicarbamate; N-isopropylmeprobamate).
Karisoprodol adalah modifikasi meprobamat yang ditujukan untuk relaksasi otot yang lebih baik, kurang berpotensi untuk disalahgunakan, dan risiko overdosis lebih sedikit. Substitusi satu atom hidrogen dengan gugus isopropil pada salah satu nitrogen karbamat dimaksudkan untuk menghasilkan molekul dengan sifat farmakologis baru.
Karisoprodol yang menghambat sistem saraf pusat bertindak sebagai obat penenang dan relaksan otot melalui mekanisme kerja penghambatan komunikasi sistem saraf di retikulum otak dan sumsum tulang belakang sehingga dapat menimbulkan efek sedasi dan perubahan persepsi nyeri.
Obat ini juga mampu memodulasi fungsi GABA. Namun, mekanisme kerja secara pasti belum diketahui. Diduga, senyawa ini bekerja pada reseptor gamma-amino butyric acid subunit alpha 1, beta 2 dan gamma 2. Karisoprodol sebagai obat relaksan otot hanya memberikan aktivitas yang belangsung singkat, dimana obat memilki onset 30 menit setelah dikonsumsi untuk sediaan 350 mg.
Selanjutnya obat ini didalam hati akan dimetabolisme oleh enzyme cytochrome CYP2C19 menjadi senyawa hydroxycarisoprodol, hydroxymeprobamate, and meprobamat yang menimbulkan efek ansiolitik dan sedatif. JIka waktu paruh obat karisoprodol hanya 8 jam, lain halnya dengan metabolit obat ini, yaitu meprobramat yang memiliki waktu paruh hingga 11.3 jam atau dapat mencapai 48 jam pada penggunaan obat kronis. Adanya efek tersebut yang akhirnya menjadikan obat tersebut sering disalahgunakan.
Indikasi utama penggunaan karisoprodol adalah sebagai tambahan dalam pengobatan simtomatik kondisi muskuloskeletal yang terkait dengan nyeri pada kejang otot. Gejala overdosis obat dapat ditemukan berupa timbulnya rasa kantuk, pusing, mual, gangguan pencernaan, atau ruam. Efek samping yang dikaitkan dengan penggunaan terapeutik karisoprodol meliputi pusing, mudah tersinggung, insomnia, diplopia, kehilangan penglihatan sementara, ataksia, sakit kepala, dan disartria.
Penghentian obat secara tiba-tiba dapat meningkatkan resiko timbulnya efek samping. Oleh karena itu, untuk penghentian obat perlu dilakukan dose tapering-off. Efek samping juga timbul tidak hanya pada gangguan di sistem saraf meliputi keluhan pada sistem pencernaan, takikardia, dan hipotensi postural. Pasien yang peka terhadap sulfit atau tartrazine mungkin mengalami gangguan pernafasan, ruam alergi termasuk eritema multiform, atau anafilaksis pada penggunaan beberapa preparat karisoprodol.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah, efek samping dan toksisitas dari obat karisoprodol ini akan meningkat jika dikombinasikan dengan obat-obat tertentu, salah satunya adalah tramadol dan jika dikombinasikan dengan alkohol, akan meningkatkan aktivitas dari alkohol yang bekerja pada sistem saraf pusat. Sehingga dilarang penggunaan obar karisoprodol bersama dengan alkohol.
Adanya efek sedatif dan efek samping lainnya serta terjadinya penggunaan obat diluar indikasi yang dianjurkan mengakibatkan dilakukan batasan terhadap penggunaan obat karisoprodol. Dengan kata lain, manfaat yang ditimbulkan dari obat ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan terutama pada penyalahgunaan bersama dengan obat golongan opioid.
Laporan pertama terkait penyalahgunaan karisoprodol terjadi pada tahun 1978. Pada tahun 1990’an dinyatakan bahwa adanya peningkatan potensi untuk terjadinya penyalahgunaan karisoprodol. Sehingga penggunaan karisoprodol harus dibatasi pada pengobatan jangka pendek dari kondisi muskuloskeletal akut yang melibatkan kejang otot yang signifikan. Namun kasus penyalahgunaan karisoprodol masih terus ditemukan.
Laporan kasus diantaranya adalah adanya pasien yang mencoba mendapatkan resep untuk karisoprodol dari beberapa dokter, adanya pasien yang mencoba untuk menggunakan karisoprodol sebagai pengganti opiad, adanya pasien yang memperoleh obat secara rutin yang selanjutnya dikonsumsi tidak sesuai dosis yang dianjurkan untuk memperoleh efek penenang, adanya pasien yang membayar untuk dituliskannya resep yang mengandung karisoprodol yang selanjutnya dilakukan penyalahgunaan, adanya pasien yang memperoleh obat dari layanan pos dokter hewan.
Kecurigaan akan dilakukannya penyalahgunaan obat harus diperhatikan pada pasien yang meminta obat tanpa resep dan berdalih dengan alasan kehilangan resep, pengguna karisoprodol kronis, dan pasien yang menolak penggunaan alternatif obat lain yang memberikan aktivitas sama dengan karisoprodol.
Banyaknya laporan kasus terkait penyalahgunaan senyawa karisoprodol tersebut, di Amerika Serikat terhitung sejak 11 Januari 2013 obat ini dimasukkan ke dalam schedule IV Controlled Substance Act (CSA) tahun 1970. Sedangkan di Swedia dan Norwegia obat ini telah ditarik dari pasaran pada bulan November 2007 dan Mei 2008.
Di Indonesia sendiri pada tanggal 16 Juli 2013 Berdasarkan surat keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK.04.1.35.06.13.3535 tahun 2013 dilakukan pembatalan izin edar, penghentiaan produksi, penarikan dari peredaran dan pemusnahan obat yang mengandung karisoprodol.
Obat yang dilakukan penarikan izin edarnya diantaranya adalah somadril compositum, New skelan, Carsipain, Carminofein, Etacarphen, Cazerol, dan Bimacarphen. Jika pada September 2017 masih ditemukan obat yang mengandung karisoprodol, terutama pada kasus di Medan dimana obat PCC ditemukan dalam bentuk blister dengan merek somadril compositium dapat dikatakan bahwa ada cerita lama yang belum tuntas dan bersemi kembali yang meminta untuk diselesaikan.
Referensi
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…