Risbang

Pergeseran Trend Pengembangan Obat Baru di Industri Farmasi Dunia dan Permasalahannya

farmasetika.com – Pengembangan obat baru merupakan bagian yang memakan biaya sangat tinggi dalam industri farmasi. Untuk dapat meluncurkan obat baru, perusahaan farmasi harus melakukan serangkaian uji yang memerlukan waktu dan biaya yang fantastis.

Dalam pengembangannya, kandidat obat harus melalui uji pendahuluan (pre-klinis) dan uji klinis. Saat ini, untuk uji klinis (fase 1-3) saja diperlukan biaya sekitar $33.4 juta atau setara dengan Rp 443 miliar (Martin et al., 2017). Biaya tersebut belum termasuk dengan uji pre-klinis obat, yang mana jumlah obat yang diuji tentu lebih banyak dibanding pada uji klinis. Dengan biaya yang tinggi, perusahaan farmasi tentu menginginkan pengembangan obat baru dilakukan se-efektif mungkin. Namun, seberapa efektifkah usaha pengembangan obat saat ini?

Tim analis dari Vertex Pharmaceutical Inc., sebuah perusahaan bioteknologi farmasi yang berbasis di Boston, USA; memaparkan hasil penelitian mereka mengenai efektivitas penemuan obat baru di dunia selama 20 tahun terakhir dalam paper yang dipublikasikan di jurnal Nature Reviews, Drug Discovery (Shih et al., 2017). Ada beberapa tantangan yang menghambat produktivitas R&D obat, yaitu tidak cukupnya efikasi obat, toksisitas yang terjadi, buruknya karakter farmakokinetik dan bioavailabilitas obat, dan alasan strategis lainnya. Tidak cukupnya efikasi obat yang dibuktikan pada uji klinis menjadi tantangan yang masih perlu dicermati oleh tiap industri farmasi. Untuk itu, peneliti mengevaluasi produktivitas R&D industri farmasi melalui parameter kecocokan antara mekanisme aksi terapeutik obat dengan indikasi obat yang diinginkan.

Peneliti menggunakan data proyek R&D industri farmasi dunia selama 20 tahun terakhir (1996-2016) dan berhasil mengumpulkan data lebih dari 10.000 kandidat obat. Mereka mengumpulkan informasi berupa identitas mekanisme terapeutik, fase klinis tertinggi yang dicapai, dan status pengembangan setiap obat. Berdasarkan data-data tersebut, peneliti mencocokkan mekanisme terapeutik dan indikasi obat, serta tingkat keberhasilan penelitian obat-obat tersebut.

Hasil analisis menunjukkan bahwa R&D obat dengan produktivitas paling tinggi terdapat pada R&D obat untuk penyakit infeksi, penyakit imunitas, dan hematologi. Dalam bidang penyakit tersebut, target molekuler obat telah diidentifikasi dengan baik dan tervalidasi sehingga meningkatkan produktivitas R&D obat. Sementara itu, bidang yang memiliki produktivitas paling rendah adalah R&D obat onkologi dan obat-obatan neurologi/psikiatris. Hal ini tidak mengherankan mengingat mekanisme kanker dan penyakit neurologis masih memerlukan penelitian yang ekstensif. Selain itu, belum tersedia banyak model uji pre-klinis yang dapat memprediksi efikasi obat dalam sistem klinis.

Lebih lanjut, analisis juga menunjukkan pergeseran trend target pengembangan obat. Berdasarkan data obat dalam 20 tahun terakhir yang dianalisis, obat-obat yang dikembangkan mayoritas bertarget pada G protein-coupled receptor (GPCR) atau enzim non-kinase. Namun, data di tahun-tahun terkini menunjukkan pergeseran tren menjadi bertarget pada protein kinase dan jalur sinyal sitokin. Di masa depan, peneliti memprediksi bahwa penelitian obat akan berfokus pada mekanisme terapeutik yang lebih inovatif.

Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa industri farmasi harus terus menganalisis proyek-proyek potensial dengan melihat sejarah pengembangan obat di seluruh dunia. Industri farmasi dan dunia penelitian juga harus terus berusaha menemukan mekanisme terapeutik yang valid untuk obat yang akan dikembangkan, terutama di bidang onkologi dan neurologi, mengingat pasar obat-obatan tersebut yang besar.

Referensi:

Martin, L. et al. (2017). How much do clinical trials cost? Nature News and Analysis. doi:10.1038/nrd.2017.70

Shih HP, Zhang X, and Aronov AM. (2017). Drug discovery effectiveness from the standpoint of therapeutic mechanisms and indications. Nature Reviews Drug Discovery. doi:10.1038/nrd.2017.194

 

 

Yonika Arum Larasati

Yonika Arum Larasati, S.Farm. Apt. adalah seorang apoteker yang saat ini sedang menempuh pendidikan master di Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Saya memiliki ketertarikan di bidang riset pengembangan obat kanker.

Share
Published by
Yonika Arum Larasati

Recent Posts

Menkes Rilis Pengurus Organisasi Kolegium Farmasi 2024-2028

Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…

3 hari ago

IVFI dan Kolegium Farmasi Indonesia Bersinergi untuk Kemajuan Tenaga Vokasi Farmasi

Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…

2 minggu ago

Anggota Dewan Klarifikasi Istilah Apoteker Peracik Miras di Dunia Gangster

Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…

2 minggu ago

Penggunaan Metformin pada Pasien Diabetes Tingkatkan Risiko Selulitis, Infeksi Pada Kaki, dan Amputasi

Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…

2 minggu ago

Anggota DPR Minta Maaf, Salah Pilih Kata Apoteker bukan Secara Harfiah

Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…

3 minggu ago

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

1 bulan ago