Farmasetika.com – Menurut Biodiversity Action Plan for Indonesian, 16% dari amphibi dan reptil dunia terdapat di Indonesia dengan jumlah lebih dari 1100 jenis, sehingga Indonesia menjadi negara yang memiliki jumlah amphibi dan reptil terbesar di dunia. Oleh karena itu banyak masyarakat memanfaatkan kekayaan ini untuk berbagai kebutuhan. Salah satunya adalah untuk pengobatan.
Di zaman perkembangan industri yang mulai mencapai puncaknya ini. Tentu telah beredar berbagai obat dan sistem pengobatan yang lebih efektif, efisien dan memberikan rasa nyaman bagi orang yang mengonsumsinya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan obat tradisional pun masih berkembangan di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah pengobatan dengan herpetofauna. Herpetofauna adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kelompok binatang amfibi dan reptil.
Pernahkah anda melihat orang yang mengonsumsi hewan reptil seperti ular, cacing, tokek dan hewan haerpetofauna lainnya untuk pengobatan? sebagian mereka mempercayai bahwa itu adalah suatu obat tradisional yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Lalu sebenarnya bolehkah mengonsumsi hewan reptil dan amfibi untuk pengobatan?
Menurut UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Masyarakat percaya secara turun temurun bahwa hewan reptil dan amfibi seperti tokek, ular, cacing, belut, bekicot, kadal dan sebagainya dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Bahkan hewan tersebut adalah hewan yang dijual dengan harga yang mahal karena kepercayaan sebagian orang dengan khasiatnya.
Secara empiris tokek berkhasiat untuk mengobati sesak napas dan gatal, Ular dipercaya untuk mengobati gatal-gatal dan darah tinggi, cacing dipercaya untuk mengobati typus. Belut Sebagai penambah darah, bekicot untuk mengobati sesak napas, obat luka, dan obat penyakit pada paru-paru [1] Sedangkan Kadal dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit berupa alergi, eksim dan gatal-gatal, menyembuhkan sakit pinggang dan reumatik, menyembuhkan diabetes, kusta, ambeyen, sesak napas, koreng, asam urat, telapak kaki pecah-pecah, sakit gigi, panu dan bercak hitam pada wajah[2]. Itu adalah salah satu contoh khasiat yang berkembang pada kepercayaan masyarakat mengenai herpetofauna.
Pengobatan dengan menggunakan herpetofauna itu dilakukan per oral langsung dalam keadaan masih mentah ataupun diekstrak terlebih dahulu kemudian diambil minyak dari bagian tubuh hewan tersebut. Bagian yang diambil dari hewan ini sebagai pengobatan adalah seperti daging, darah, atau bagian tangkurnya.
Pengobatan ini lah dikenal sebagai pengobatan tradisional di kalangan masyarakat, bahkan beberapa penjual hewan reptil dan amfibi untuk obat tradisional ini akan menjelaskan secara langsung kepada konsumennya bagaimana mengonsumsi hewan tersebut agar dapat diperoleh khasiat yang diingingkan. Denga hal ini bertambahlah kepercayaan masyarakat mengenai kebenaran khasiat herpetofauna sebagai obat berbagai penyakit ini.
Sebenarnya menurut norma dan etika dalam agama, Mengonsumsi hewan melata/reptil sebagai obat tidak diperbolehkan kecuali jika sudah tidak ada lagi bahan obat yang dapat menyembuhkan. atau mendapat urgensi yang tinggi dari penyakit tersebut yang hanya dapat disembuhkan dengan salah satu bagian tubuh hewan ini.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah : 173).
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al An’am: 119)
Penyebab hewan reptil dan amfibi dilarang untuk dikomsumsi yaitu :
Jenis hewan herpetofauna dapat diberikan sebagai pengobatan dengan syarat sebagai berikut :
Efek Samping Konsumsi Herpetofauna Sebagai Obat
Semua bahan obat memiliki efek sampingnya tersendiri, ada yang bersifat menguntungkan di berbagai kondisi atau dapat bersifat merugikan. Efek samping dari konsumsi obat tradisional menggunakan herpetofauna yaitu dapat menyebabkan penyakit tertentu, seperti trichinosis yaitu penyakit yang disebabkan oleh cacing pita pada hewan liar. Kemudian pentastomiasis, gnathostomiasis dan sparganosis yaitu penyakit hewan yang dapat menular ke manusia.
Risiko mikrobiologis yang paling jelas kemungkinan berasal dari bakteri patogen terutama Salmonella, Shigella, E.coli, Yersinia enterolitica, Campylobacter, Clostridium dan Staphylococcus aureus. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit dengan derajat keparahan berbeda-beda.
Berdasarkan hasil survey di masyarakat, pengobatan meggunakan herpetofauna hanya sebatas sebagai bentuk usaha mereka dalam menyembuhkan penyakit dini melalui hewan-hewan tersebut. Sebenarnya memakan hewan secara mentah memiliki efek samping yang lebih tinggi dari pada menggunakannya dengan cara diproses terlebih dahulu.
Industri obat di Indonesia telah banyak menciptakan obat yang memiliki efek terapeutik yang sama dari pengobatan tradisional tersebut ditambah dengan kualitas keamanan yang terjamin dari Kemenkes Indonesia. Pengobatan herpetofauna memang memiliki khasiat tersendiri bagi kepercayaan sebagian orang. Namun, perlu dipertimbangkan kembali besar efek samping yang merugikan dari konsumsi hewan tersebut secara mentah untuk pengobatan. Efek samping yang disebabkan oleh penularan bakteri dari hewan terhadap manusia memiliki efek yang memiliki jangka panjang.
Hal ini memang kembali lagi dari kepercayaan masyarakat mengenai penggunaan herpetofauna sebagai pengobatan. Karena dalam penyediaan sediaan farmasi sendiri memang masih ada yang memanfaatkan sebagian dari hewan tersebut. Namun dalam skala kecil dan telah dimodifikasi kembali agar tidak membahayakan tubuh manusia. Pada prisipnya semua pengobatan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, namun sebagai konsumen yang bijak tentu harus memilih pengobatan yang memiliki efek samping yang kecil bagi tubuh dan memiliki kenyamanan dalam proses penggunaannya serta memeperhatikan dari segi etika dan norma yang berkembang di masyarakat. Tetap berkonsultasi kepada dokter atas penyakit yang sedang di derita, agar dapat dipilihkan pengobatan yang baik sesuai kondisi tubuh. Serta tetap selalu meminta penjelasan dari teknisi pengobatan yang ahli dalam bidangnya.
Referensi :
[1] Zayadi, Hasan, dkk. 2016. Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat-Obatan Berdasarkan Persepsi Masyarakat di Kelurahan Dinoyo Malang. Jurnal Kesehatan Islam. Available at https://www.researchgate.net/publication/305654116. Accessed on Marc 29th 2018. [2] Hamdani, R, dkk.2013. Potensi Herpetofauna Dalam Pengobatan Tradisional Di Sumatera Barat Potential of herpetofauna on tradisional medicine in West Sumatera. Jurnal Biologi Universitas Andalas. Vol 2(2). Hal. 110-117 (ISSN : 2303-2162).Penulis : Nurhayati dan Siti Sarah Al-Fathonah
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…