Farmasetika.com – Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen terhadap barang dan jasa yang diproduksi guna mencapai sasaran usaha.
Tak jarang terdapat oknum-oknum yang berperilaku curang guna mencapai sasaran tersebut. Selain itu, perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat menyebabkan isu-isu baik itu fakta maupun palsu diterima oleh masyarakat secara cepat.
Beredarnya isu tentang obat yang mengandung babi cukup meresahkan masyarakat. Hal ini tentunya sangat merugikan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memberikan perlindungan konsumen yang memadai.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, menyediakan Unit Pelayanan Pengaduan Konsumen (ULPK) yang merupakan salah satu upaya untuk melindungi masyarakat Indonesia terkait obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan manfaat. Keluhan yang diterima kemudian dikaji dan dilakukan tindak lanjut.
Berdasarkan Perpress No. 80 Tahun 2017, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan yang terdiri atas obat, adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Fungsi BPOM yaitu melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan. Pelaksana kebijakan tersebut adalah tugas dari Unit Pelaksana Teknis BPOM yaitu Balai besar/Balai POM.
Pengawasan obat oleh BPOM terdiri dari pengawasan pre market atau sebelum produk beredar dan post market atau setelah produk beredar. Pengawasan post market bertujuan untuk melindungi masyarakat dari produk yang tidak memenuhi syarat, menjamin konsistensi produk pasca pemasaran, dan mendeteksi dini produk palsu, illegal/ tidak terdaftar. Bentuk pengawasam post market yang dilakukan BPOM yaitu :
Pemilihan sarana inspeksi berdasarkan trend dari hasil kajian resiko terhadap produk yang diproduksi dan didistribusikan dari sarana tersebut dan banyaknya keluhan yang diterima. Apabila ditemukan penyimpangan atau pelanggaran pada saat pelaksaan pemeriksaan maka pihak yang memiliki izin edar diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan. Jika tidak melakukan perbaikan maka akan dikenakan sanksi administratif maupun pro-justisia
Dalam pengawasan post market dikenal sampel rutin, sampel deteksi dini dan sampel kasus. Masing-masing jenis sampel memiliki target khusus tiap tahunnya baik untuk produk obat, kosmetik, obat tradisional dan suplemen serta pangan.
Apoteker berperan dalam melakukan pengawasan pre market yaitu evaluasi produk obat berkaitan dengan keamanan, khasiat dan mutu, sedangkan dalam pengawasan post market apoteker berperan dalam melakukan audit komprehensif dari hulu-hilir secara rutin dan insidentil, Monitoring Efek Samping Obat (MESO), dan Monitoring Efek Samping Obat Tradisional (MESOT).
Referensi :
PP No 80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
PERKA BPOM RI Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…