farmasetika.com – Cannabidiol merupakan bahan aktif yang secara alami ditemukan di tanaman Cannabis sativa L (Ganja). Cannabidiol sendiri merupakan padatan kristal putih ke kuning pucat dan tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik. Cannabidiol adalah kanabinoid dengan nama kimia 2-[(1R, 6R)-3-Methyl-6-(1-methylethenyl)-2-cyclohexen-1-yl]-5-pentyl-1,3-benzenediol (IUPAC / CAS) dengan rumus empiris C21H30O2 dan berat molekul 314,46. Struktur kimianya adalah sebagai berikut:
Cannabidiol biasa digunakan untuk mengobati kejang yang terkait dengan sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom Dravet pada pasien berusia 2 tahun ke atas (FDA, 2018). Selain itu juga untuk mengobati glaukoma, nyeri, mual dan muntah, otot kejang, susah tidur, gelisah, dan epilepsi (Devinsky, O., et al., 2014). Cannabidiol dan metabolit cannabidiol, 7-OH-CBD bukan merupakan substrat BCRP, OATP1B1, OATP1B3, atau OCT1. Namun, 7-COOH-CBD adalah substrat untuk P-gp. 7-COOH-CBD sendiri merupakan penghambat transportasi yang dimediasi melalui BCRP dan BSEP pada konsentrasi yang relevan secara klinis (FDA, 2018).
Waktu penyerapan Cannabidiol yang dibutuhkan untuk memeroleh konsentrasi plasma maksimum (Tmax) ialah 2,5 hingga 5 jam pada kondisi tunak (Css). Volume distribusi yang jelas pada sukarelawan sehat adalah 20963 L hingga 42.849 L. Waktu paruh Cannabidiol dalam plasma adalah 56 hingga 61 jam setelah pemberian dosis dua kali sehari selama 7 hari pada sukarelawan sehat. Cannabidiol dimetabolisme di hati dan usus (terutama di hati) oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4, dan isoform UGT1A7, UGT1A9, dan UGT2B7.
Setelah dosis berulang, metabolit aktif kanabidiol, 7-OH-CBD, memiliki AUC 38% lebih rendah daripada obat induknya. Metabolit 7-OH-CBD dikonversi menjadi 7-COOH-CBD, yang memiliki AUC sekitar 40 kali lebih tinggi daripada obat induknya. Berdasarkan model praklinis kejang, metabolit 7-OH-CBD merupakan metabolit aktif sedangkan metabolit 7-COOH-CBD merupakan metabolit tidak aktif. Cannabidiol sendiri diekskresikan dalam feses, dengan pembersihan ginjal ringan (FDA, 2018).
Cannabidiol dipasarkan dengan merk Epidiolex yang merupakan larutan bening dengan rasa stroberi, tidak berwarna hingga kuning yang dimasukkan dalam botol kaca amber 105 mL dengan penutup yang mengandung 100 mL larutan oral. Setiap mL mengandung 100 mg Cannabidiol. Epidiolex dikemas dalam karton dengan dua jarum suntik dosis oral terkalibrasi 5 mL dan adaptor botol. Apotek akan menyediakan 1 mL jarum suntik dosis oral terkalibrasi ketika dosis kurang dari 1 mL diperlukan. Epidiolex sendiri memiliki formula sebagai berikut:
Cannabidiol
Dehydrated Alcohol
Sesame Seed Oil
Strawberry Flavor
Sucralose
Cannabidiol sendiri berperan sebagai zat aktif dalam sediaan tersebut, dehydrated alcohol sebagai pelarut dikarenakan cannabidiol memiliki sifat yang larut dalam pelarut polar, sesame seed oil sebagai antioksidan, dan strawberry flavor sebagai perasa untuk menambahkan rasa stroberi dalam sediaan, dan sucralose sebagai pemanis untuk menambahkan rasa manis dalam sediaan (FDA, 2018).
Persetujuan FDA atas Epidiolex untuk pengobatan kejang terkait dengan LGS dibuat dalam dua uji coba acak, double-blind dan plasebo terkontrol pada pasien berusia 2 hingga 55 tahun. Studi 1 (N = 171) membandingkan dosis Epidiolex 20 mg/kg/hari dengan plasebo. Studi 2 (N = 225) membandingkan dosis 10 mg/kg/hari dan dosis Epidiolex 20 mg/kg/hari dengan plasebo.
Dalam kedua studi, pasien memiliki diagnosis LGS dan tidak cukup terkontrol pada setidaknya satu AED, dengan atau tanpa stimulasi saraf vagal dan/atau diet ketogenik. Kedua uji coba memiliki periode dasar 4 minggu, di mana pasien memiliki minimal 8 kejang drop (≥2 kejang drop per minggu).
Periode baseline diikuti oleh titration period 2 minggu dan periode pemeliharaan 12 minggu. Ukuran efikasi primer dalam kedua studi adalah perubahan persen dari awal dalam frekuensi (per 28 hari) kejang drop (kejang atonik, tonik, atau tonik klonik) selama periode pengobatan 14 minggu. Dalam Studi 1 dan 2, perubahan median persen dari awal (pengurangan) dalam frekuensi kejang drop secara signifikan lebih besar untuk kedua kelompok dosis Epidiolex daripada plasebo. Penurunan kejang drop diamati dalam 4 minggu setelah memulai pengobatan dengan Epidiolex, dan efeknya tetap konsisten selama periode pengobatan 14 minggu (CW, 2018).
Efektivitas Epidiolex untuk pengobatan kejang yang terkait dengan DS ditunjukkan dalam satu uji coba acak, double blind, dan plasebo terkontrol pada 120 pasien berusia 2 hingga 18 tahun. Studi ini membandingkan dosis Epidiolex 20 mg/kg/hari dengan plasebo.
Pasien memiliki diagnosis DS yang resisten terhadap pengobatan dan tidak cukup terkontrol dengan setidaknya satu AED yang bersamaan, dengan atau tanpa stimulasi saraf vagal atau diet ketogenik. Selama periode dasar 4 minggu, pasien memiliki setidaknya 4 kejang saat menggunakan terapi AED yang stabil. Periode baseline diikuti oleh titration period 2 minggu dan periode pemeliharaan 12 minggu.
Ukuran efikasi primer adalah perubahan persen dari awal dalam frekuensi (per 28 hari) kejang (semua kejang kejang atonik, tonik, klonik, dan tonik-klonik) selama periode pengobatan 14 minggu. Perubahan median persen dari awal (pengurangan) dalam frekuensi kejang secara signifikan lebih besar untuk Epidiolex 20 mg/kg/hari daripada plasebo. Penurunan kejang kejang diamati dalam waktu 4 minggu setelah memulai pengobatan dengan Epidiolex dan efeknya secara umum tetap konsisten selama periode pengobatan 14 minggu (CW, 2018).
Cannabidiol memiliki efek biologis yang luas dengan berbagai potensi aksi di sistem saraf. Bukti praklinis untuk sifat anti kejang mendukung pengembangan lebih lanjut dari perawatan berbasis CBD untuk epilepsi. Penerimaan yang semakin besar akan manfaat potensial yang berasal dari ganja di banyak negara dapat mempermudah jalur regulasi dan birokrasi bagi dokter dan ilmuwan untuk melakukan studi CBD yang dirancang dengan baik. Masih banyak yang harus dipelajari tentang CBD bahkan ketika penyelidikan bergerak ke manusia (Devinsky, O., et al., 2014).
Daftar Pustaka
Center Watch. 2018. Epidiolex (Cannabidiol). [Online] Available at: https://www.cent erwatch.com/drug-information/fda-approved-drugs/drug/100309/epidiolex-ca nnabidiol [Accessed 27 10 2019].
Devinsky, O., Cilio, M.R., Cross, H., Fernandez‐Ruiz, J., French, J., Hill, C., Katz, R., Di Marzo, V., Jutras‐Aswad, D., Notcutt, W.G. and Martinez‐Orgado, J., 2014. Cannabidiol: pharmacology and potential therapeutic role in epilepsy and other neuropsychiatric disorders. Epilepsia, 55(6), pp.791-802.
FDA. 2018. Epidiolex (Cannabidiol) Oral Solution. [Online]
Available at: https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2018/210 365lbl.pdf [Accessed 27 10 2019].
Penulis : Alda Agatha, Program Studi Sarjana Farmasi, Universitas Padjadjaran
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…