Farmasetika.com – Rubrik opini. Tiga pekan ini (sejak 14 Januari 2020), para apoteker Indonesia teriak kencang diberbagai saluran komunikasi publik. Khususnya bersahutan silih berganti siang dan malam di jagat dunia maya media sosial. Kegaduhannya ibarat: mortir dan stamper yang ditumbukkan keras-keras, bertalu-talu dengan kadar hormon andrenalin yang semakin membuncah.
Hormon adrenalin, atau juga disebut epinefrin, merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal dan otak. Kalau tidak salah ingat, tubuh manusia melepaskan hormon ini, ketika kondisi stres, tertekan, takut, senang, atau di situasi yang menegangkan (misal ketika ujian Kimia Organik- yang harus kuat imajinasi kita).
Inilah gambaran singkat atau fenomena dari ‘kemarahan’ para apoteker setelah membaca Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020, tentang Klasifikasi dan Perijinan Rumah Sakit, yamg ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2020 oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto.
Dalam PMK Nomor 3/2020 itu, ada sejumlah pasal yang menyulut amarah para apoteker, yaitu: Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas : a. pelayanan medik dan penunjang medik; b. pelayanan keperawatan dan kebidanan; dan c. pelayanan nonmedik. Dan Pasal 10 disebutkan bahwa pelayanan nonmedik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Ayat 2 tersebut terdiri atas: Pelayanan farmasi, pelayanan laundry/binatu, pengolahan makanan/gizi, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, informasi dan komunikasi, pemulasaran jenazah, dan pelayanan nonmedik lainnya.
Saya membaca, melihat dan mendengarkan kegaduhan ini di berbagai media online dan medsos: mulai dari Menkes, Terawan Agus Putranto yang menanggapi hal ini dengan santai saat berbincang singkat dengan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI., Emanuel Melkiades Laka Lena, protes-protes dari Pengurus IAI, dari FIB, dari akademisi, mantan petinggi negeri- baik yang resmi berkop surat dan yang lantang ‘bengok’ di medsos. Semua asyik-asyik saja tuh!
Tapi guys, saya tidak akan membahas tentang PMK Nomor 3/2020. Itu menjadi domain organisasi profesi apoteker beserta para anggotanya.
Saya justru ingin membahas tema besar lainnya yang juga menindih dan menghimpit organisasi profesi apoteker- yang jika PMK Nomor 3/2020 adalah Ancaman dari Ekstenal- demikian jika kita menggunakan ‘pisau bedah’ SWOT Analysis, maka ada juga MASALAH INTERNAL yang sedang bergolak- yang dapat menjadi variabel dominan akan melemahkan organisasi.
Penggunaan diksi ‘bergolak’ ini, menurut saya sih tidak berlebihan, karena saya dan juga banyak apoteker millennial lainnya- yang melek dan menikmati dahsyatnya suguhan komumikasi digital- dengan mudah mendapatkan: Video, Banner, Foto dari berbagai penjuru yang menarasikan adanya pergolakkan itu. Bagi aktivis, dan mantan aktivis mahasiswa hal seperti ini, biasa-biasa saja. Memblow up alat-alat yang menimbulkan pressure kepada organisasi atau lembaga yang sedang dikritisi itu adalah strategi standar saja. Dari dulu di era tahun 1980-an, hingga era milenial ini: formatnya sama. Bedanya pada sarana saluran komunikasi yang kini serba digital.
Era digital memang memaksa semua pihak, termasuk para pihak yang sedang mendapat amanah sebagai pengelola atau pengurus organisasi profesi apoteker, harus mendisrupsi diri. Style leadership, model komunikasi, pola-pola peningkatan kompetensi profesi harus mengadopsi cara-cara di era digital.
Jika tidak, maka medsos akan terus dihujani kegerah dengan narasi-narasi konflik organisasi yang sebetulnya secara keseluruhan merugikan profesi apoteker itu sendiri. Baik yang dikritik atau yang mengkritisi. Namanya juga satu keluarga berantem, semestinya berantemnya dalam ruangan tertutup, tidak berantem disiarkan live streaming di medsos.
Tapi, ya….mungkin saja ada saluran yang tersumbat di organisasi profesi (Mohon maaf walau lebaran masih beberpa bulan lagi….ini hanya dugaan saya saja ya). Lantas saya mengingat saat-saat saya kuliah dulu (jujur juga sering mbolos, sok jadi aktivis gicu)- kira-kira begini: Flatulence itu proses yang digunakan untuk melepaskan gas dari sistem pencernaan melalui anus. Ini sebuah proses alamiah, karena gas yang terkumpul di sistem pencernaan hendak meminta ijin keluar dari poskonya.
Saya kira sederhanya begini, saat membaca gejolak di medsos itu seperti halnya flatulen. Meledak karena proses alami. Nah, tinggal bagaimana melepaskan hajat flatulen ini ditempat yang baik, dan benar. (Maaf jangan dibaca secara harfiah ya. Nanti jadi begini artinya: mau kentut saja koq diatur, kurang kerjaan saja).
Nah, saya mau membahas strategi melepas flatulen secara ilmiah, sopan dan menyenangkan! Yuks…lanjut membacanya….(maaf saya minum sebentar dulu…haus sekali, di Depok saat saya mengetik artikel ini sudah pukul 23.27 WIB).
Mengutip pendapat Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption (terbitan pertama tahun 2017), disebutkan dalam era disruption itu yang menjadi motor penggeraknya adalah era digital yang menandai revolusi teknologi gelombang ketiga yaitu Internet of Things. Pada era ini, maka pemimpin bisnis dan pemimpin organisasi profesi juga harus melakukan self disruption.
Persyaratan mendisrupsi itu adalah adanya Agility, adanya ketangkasan. Ketangkasan memimpin yang bergerak cepat, lugas dan responsif. Untuk mendapatkan Ketangkasan dalam memimpin diperlukan setidaknya, dua hal: Ketangkasan Strategis (Agility) dan Personal Organisasi yang tangkas (Self Driving).
Dengan Ketangkasan Strategis, maka organisasi profesi tidak lamban merespon dinamika pasar di sisi external factor, dan mampu tune in dengan dinamika di dalam (terkait kepuasan anggota, keluh kesah anggota, kesejahteraan anggota) sebagai sisi intenal factor– yang boleh jadi terabaikan karena satu dan lain sebab.
Dengan pendekatan agility juga akan menjelaskan bagaimana organisasi profesi dapat memilih pemimpin yang memiliki understanding (paham) kemudian menyusun perencanaan yang komprehensif untuk kemaslahatan anggota- planing, dan melakukan implementasi secara disiplin. Siklusnya: understanding, planning, implementing.
Organisasi profesi masa kini- yang digandrungi generasi millennial adalah organisasi yang self driving, yaitu organisasi yang tangkas dan dinamis dalam melakukan adaptasi yang sangat super cepat di era digital ini, yang bermental good drivers– SDM (Sumber Daya Manusia) yang bermental sebagai “juru kemudi” (good drivers) yang handal bagi organisasi.
SDM organisasi profesi harus menyokong dirinya sendiri untuk menerapkan empat pilar ini, yaitu: Institusionalisasi, Transparansi, Akuntabilitas, profesionalisme, agar fungsinya dapat optimal untuk ‘memuliakan’ anggota.
Yuks guys, kita bedah satu per satu, walau singkat-singkat saja ya.
Harus didisain agar mampu menggerakkan roda organisasi dalam kondisi cuaca apapun. Organisasi profesi yang memiliki imunitas tubuh yang prima, dan itu akan disokong oleh dipenuhinya sumber keuangan untuk menjadi ‘darah’ organasi menghidupi dirinya beserta progam-progamnya.
Di era keterbukaan ini, maka aktifitas organisasi profesi harus dapat dibaca seluruhnya: kegiatan atas-bawah, luar-dalam, yang artinya tidak ada kegiatan yang tersembunyi sebutir molekul sekalipun. Transparansi ini, tentunya dalam arti seluas-luasnya, termasuk tentunya posisi keuangan organisasi yang harus dapat diakses informasinya oleh anggota.
Kendati ini organisasi profesi, tetapi seluruh kegiatannya harus diukur kinerjanya (Penggunaan Dana, Struktur SDM, Fasilitas). KPI ini menjadi penting, agar akselerasi skala prioritas dapat diutamakan, sedang kegiatan regular administrasi dapat didesrupsi dengan memanfaat teknologi digital- yang akan membikin proses in put dan out put lebih efisien.
Dalam menggerakkan roda kegiatan organisasi profesi harus mengacu pada norma profesionalisme, sehingga dapat menampilkan wajah organisasi yang penuh wibawa, memiliki image-citra yang disegani oleh mitra kerja.
Dari pengalaman saya, ikut terlibat mengelola organisasi di tingkat RT/RW hingga yang berskala nasional, yang namanya konflik antar anggota itu, selalu ada. Konflik itu, ibaratnya zat oksigen yang menyertai peredaran darah tubuh kita. Menempel seperti prangko, katanya mahasiswa farmasi yang jatuh cinta!
Ya, tentunya dua komponen itu menyatu, kadang meningkat kadar oksigennya, kadang pula menurun kadarnya. Itulah metafora konflik dalam organisasi profesi, selalu ada dan kadarnya naik dan turun.
Konflik akan sangat minim, dan dengan doa yang khusuk dari para anggota profesi apoteker, konflik yang ada bukan untuk destruktif tetapi bagian dari check and balance, agar aparat organisasi profesi senantiasa berjalan dijalan tol yang sudah disekpakti bersama.
Sebagai penutup, saya ingin berpesan untuk diri saya sendiri dan para hadirin yang sudah rela mikir sambil membaca artikel saya ini- yang lumayan futuristik..sekali-sekali boleh dong guys memuji diri sendiri-asal tidak berlebihan, bahwasannya:
Menjadi organisasi profesi yang memuliakan anggotanya, saya yakini akan berkelimpahan kebaikan bagi yang berkhidmat mengurusi, dan mendatangkan apresiasi bagi yang diurusi. Organisasi profesi yang futuristik adalah yang berketepatan hati menjadikan anggota sebagai ladang pundi-pundi kebajikan, seiring dengan itu: anggotanya akan menjadi jamaah yang militan melindungi organisasi profesinya.
Depok, 09-02-2020, pukul 23.53 WIB.
Salam mesra: Karyanto -Founder Jamu Digital
Majalah Farmasetika - Kevin Ben Laurence, seorang apoteker berbakat asal Indonesia, berhasil mendapatkan pengakuan resmi…
Majalah Farmasetika - Apoteker di seluruh Indonesia, persiapkan diri Anda untuk uji resertifikasi kompetensi apoteker…
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…