Majalah Farmasetika – Indonesia sesuai dengan data terakhir tentang Covid-19 (10 Mei 2020) yang terpapar atau positif 14.032 dan yang sembuh 2.698 orang dan meninggal 973.
Kalau dilihat prosentasenya sangat jauh sekali dan setiap harinya sesuai analisa jumlah yang terpapar akan naik, meskipun sudah digabungkan jumlah yang sembuh dan jumlah yang meninggal.
Berkaca pada 1918 dunia digoncang dengan pandemi Flu Spanyol. Flu Spanyol juga dikenal dengan nama Influenza 1918 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus H1N1 dengan gen asal unggas.
Flu Spanyol menyebar ke seluruh dunia dalam kurun waktu 2 tahun, yakni 1918 sampai 1920. Epidemi flu Spanyol (1918-1920) memiliki tren dua gelombang di mana virus H1N1 pada gelombang pertama lebih mudah dikendalikan (jinak) dan berubah menjadi ganas pada gelombang kedua.
Walaupun bernama Flu Spanyol, penyakit ini bukan berasal dari Spanyol. Hingga saat ini, belum diketahui pasti dari mana virus yang menyebabkan Flu Spanyol berasal.
Namun, diketahui penyakit ini pertama kali muncul di angkatan militer Amerika Serikat pada musim semi 1918 dan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa kasus infeksi pertama dilaporkan pada Juli 1918.
Pada gelombang pertama pandemi baru dimulai pada September 1918. Puncak dampaknya adalah pada akhir November 1918 atau 8(delapan) minggu setelah infeksi pertama.
Wabah flu Spanyol menewaskan 40 sampai 50 juta orang dalam dua tahun, antara tahun 1918 dan 1920. Para peneliti dan sejarawan meyakini sepertiga penduduk dunia, yang saat itu berjumlah sekitar 1,8 miliar orang, terkena penyakit tersebut.
Flu Spanyol menyerang dalam cara yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Korban terparah pada kelompok umur 20 sampai 40 tahun.
Keadaan Indonesia waktu itu pun sama. Pandemi flu spanyol ini memiliki ekor yang sangat panjang se-Indonesia.
Meskipun tingkat kematian menurun dengan cepat setelah November 1918, tetapi butuh sampai September 1919 untuk pandemi virus H1N1 ini meredah. Artinya, ada kemunculan kembali virus di tingkat daerah.
Secara real memang pengalaman masa lalu tidak bisa digunakan sebagai acuan untuk meramal secara sempurna apa yang akan terjadi.
Meski memang ada perbedaan signifikan tentang situasi dan kemajuan antara 1918 dan 2020, setidaknya kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Korban manusia dalam pandemi 1918-1920 jelas sangat banyak.
Jumlah korban tinggi karena sangat sedikit pengetahuan tentang virus, dampaknya, dan langkah-langkah pengendalian yang efektif saat itu. Berdasarkan data yang ada butuh satu tahun bagi penduduk Hindia Belanda untuk mencapai ‘kekebalan kelompok’ (herd immunity) dan itu pun harus dibayar dengan jumlah nyawa manusia yang mengerikan.
Covid-19 secara resmi diumumkan pertama ada di Indonesia pada Maret 2020. Kita tidak tahu apakah virus SARS-CoV-2 yang lebih dikenal dengan Covid-19 akan mengikuti tren dua gelombang atau apakah virus akan menjadi jinak itu di luar kendali.
Kalaupun Covid-19 ini dikatakan gelombang pertama, kita semua sudah merasakan akibat yang terjadi dan kita semua sudah kelabakan dengan Covid-19 pada gelombang pertama ini.
Kita tidak dapat memprediksi kapan virus akan berubah menjadi jinak atau ganas, sebab mutasi virus menjadi jinak atau ganas sekali lagi itu berada di luar kendali manusia.
By: Rommy David Watuseke (PAFI Sulawesi Utara)
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…