Majalah Farmasetika – Acne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit yang sering terjadi khususnya pada
usia remaja maupun usia dewasa (Lema dan Wahyuni, 2019).
Jerawat (acne vulgaris) adalah suatu penyakit peradangan kronik dari unit pilosebaseus yang terjadi ketika folikel rambut tersumbat oleh sel minyak dan kulit mati (Narayenah dan Suryawati, 2017).
Jerawat ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula, nodul, kista, dan skar (Saragih et al., 2016). Jerawat sering terjadi pada kulit wajah, leher, dada dan punggung. Penyebab terjadinya jerawat antara lain faktor genetik, endokrin, psikis, musim, stres, makanan, keaktifan kelenjar sebasea,
infeksi bakteri, kosmetika, dan bahan kimia lain.
Jerawat juga dapat disebabkan oleh aktivitas kelenjar minyak yang berlebihan dan diperburuk oleh infeksi bakteri. Bakteri penyebab jerawat terdiri dari Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dll (Suryana et al., 2017).
Saat ini obat untuk mengatasi jerawat terdapat dalam bentuk fixed combination
products ataupun melalui peresepan, dimana zat aktif yang terkandung yaitu benzoil peroksida, retinoid topikal, isotretinoin hingga antibiotik topikal maupun antibiotik oral saat kondisi semakin parah.
Benzoil peroksida merupakan antimikroba kuat yang biasanya digunakan untuk mengobati jerawat ringan hingga sedang. Retinoid topikal merupakan derivat vitamin A yang secara umum bersifat komedolitik dan menghambat pembentukan mikrokomedo yang kemudian dapat menyebabkan jerawat.
Retinoid yang paling sering digunakan yaitu tretinoin, bekerja sebagai antiinflamasi dan komedolitik. Isotretinoin merupakan obat jerawat yang digunakan secara per oral untuk mengobati jerawat yang sudah parah.
Penggunaan isotretinoin untuk mengobati jerawat yang parah sudah disetujui oleh FDA dan hingga saat ini, isotretinoin merupakan obat paling efektif karena dapat mengurangi gejala jerawat jangka panjang dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat jerawat.
Antibiotik topikal utama yang digunakan untuk jerawat adalah klindamisin dan eritromisin. Agen-agen ini bersifat bakteriostatik dan antiinflamasi, digunakan untuk jerawat ringan hingga sedang ketika lesi inflamasi muncul. Sementara antibiotik oral yang paling sering
diresepkan untuk mengatasi jerawat yaitu antibiotik golongan tetrasiklin seperti doksisiklin dan minosiklin.
Antibiotik oral ini digunakan untuk mengatasi jerawat inflamasi sedang sampai berat (Madelina dan Sulistyaningsih, 2018; Ramdani dan Hendra, 2015).
Krim winlevi (clascoterone) mengandung clascoterone, penghambat reseptor androgen, dalam basis krim untuk penggunaan dermatologis. Obat ini tergolong obat baru karena obat ini baru disetujui oleh asosiasi FDA pada 26 agustus 2020 silam. Secara kimiawi, clascoterone merupakan korteksolon-17 alfa propionat.
Clascoterone memiliki pemerian berupa bubuk hampir putih, serta praktis tidak larut dalam air. senyawa tersebut memiliki rumus empiris C24H34O5 dengan berat molekul mencapai 402,5 g / mol.
Setiap gram krim winlevi 1% mengandung 10 mg clascoterone dalam basis krim setil alkohol, asam sitrat monohidrat, disodium edetat, minyak mineral, mono- dan di-gliserida, polisorbat 80, propilen glikol, air murni, dan vitamin e (FDA, 2020).
Krim winlevi (clascoterone) merupakan penghambat reseptor androgen yang
diindikasikan untuk pengobatan topikal acne vulgaris pada pasien berusia 12 tahun ke atas. Untuk pemakaiannya dibersihkan terlebih dahulu area yang terkena jerawat dengan lembut.
Setelah kulit yang dibersihkan kering, oleskan tipis krim winlevi dua kali sehari, di pagi dan sore hari, ke area yang terkena jerawat tersebut. Hindari kontak krim winlevi secara tidak sengaja ke mata, mulut, atau selaput lendir lainnya. jika terjadi kontak dengan selaput lendir, bilas hingga bersih dengan air. Krim winlevi hanya untuk penggunaan topikal. Krim winlevi tidak digunakan untuk mata, oral atau vagina (FDA, 2020).
Jerawat merupakan kondisi kulit yang multifaktorial ditandai dengan produksi sebum berlebih, hiperkeratinisasi epitel, proliferasi bakteri kompresal kulit, dan peradangan. Ligan alami yang bersirkulasi dan disintesis secara lokal, testosteron dan Dihidrotestosteron (DHT) yang berfungsi sebagai faktor penyebab pada pria maupun wanita.
Setelah pengikatan DHT, kompleks DHT-androgen reseptor dimerisasi dan translokasi ke nukleus lalu mempromosikan transkripsi gen yang terlibat dalam patogenesis acne, termasuk proliferasi dan diferensiasi sebosit, produksi sebum berlebih, dan produksi sitokin inflamasi.
Clascoterone yaitu antagonis yang kuat pada ARs dan bersaing untuk androgen dalam mengikat reseptor, sehingga menghambat pensinyalan ARs yang memicu timbulnya jerawat
(Hebert, et al., 2020).
Alopesia androgenetik juga merupakan kondisi yang bergantung pada androgen dan sangat genetik. DHT mengikat ARs yang diekspresikan pada Sel Papila Dermal (DPC) di kulit kepala untuk menginduksi transkripsi gen yang dimediasi AR yang berkontribusi pada alopesia androgenik. Dengan memblokir interaksi antara DHT dan aARs, Clascoterone menghambat transkripsi yang diatur AR dan sintesis IL-6 yang diinduksi DHT (Hebert, et. al., 2020).
Uji klinik krim clascoterone, 1%, dilakukan untuk mengevaluasi keefektifan dan keamanan penggunaan. Uji dilakukan pada pria dan wanita 9 tahun ke atau (tidak hamil) dengan jerawat wajah sedang atau parah seperti yang dinilai pada skala Penilaian Global Investigator.
Dengan peserta yang memiliki 30-75 lesi inflamasi dan 30-100 lesi non-inflamasi. Selanjutnya diacak untuk pengobatan dengan krim klaskoteron, 1%, atau krim kendaraan dan dioleskan sekitar 1 g ke seluruh wajah dua kali sehari selama 12 minggu.
Keberhasilan pengobatan dilihat berdasarkan skor Penilaian Global Investigator dari 0 (jelas) atau 1 (hampir jelas), dan peningkatan tingkat 2 atau lebih dari baseline dan perubahan absolut dari baseline dalam jumlah lesi noninflamasi dan inflamasi pada minggu ke 12 Langkah-langkah keamanan termasuk frekuensi dan tingkat keparahan kejadian (Hebert, et
al., 2020).
Hasilnya Sebanyak 1440 pasien diacak dalam 2 penelitian.penelitian 1, 353 peserta diacak untuk pengobatan dengan krim clascoterone, 1% (usia 10-58 tahun; 221 perempuan), dan 355 peserta diacak untuk pengobatan dengan krim kendaraan (usia 9-50 tahun; 215 perempuan); di penelitian ke 2, 369 peserta diacak untuk pengobatan dengan krim clascoterone, 1% (usia 10-50 tahun; 243 perempuan), dan 363 peserta diacak untuk pengobatan dengan krim kendaraan (usia 11-42 tahun; 221 perempuan). Pada minggu ke 12, tingkat keberhasilan pengobatan di penelitian 1 dan penlitian ke 2 dengan krim clascoterone, 1%, adalah 18,4% dan 20,3% Pada minggu ke 12. Dan pengobatan dengan krim clascoterone, 1%, menghasilkan penurunan yang signifikan pada lesi noninflamasi absolut dari baseline ke -19,4 dan −19.4 vs −13.0 dan −10.8 dengan kendaraan, masing-masing, serta pengurangan lesi inflamasi dari awal menjadi -19,3 dan -20,0 vs −15.5 dan −12.6 dengan kendaraan.
Efek samping yang muncul rendah dan sebagian besar ringan (reaksi kulit lokal yang dominan adalah jejak atau eritema ringan). Sehingga penggunaan krim klaskoteron, 1%, untuk pengobatan jerawat menunjukkan kemanjuran dan keamanan yang menguntungkan dengan tingkat efek samping yang rendah (Hebert, et al., 2020).
Efek samping dari penggunaan krim Winlevi yang paling umum adalah kemerahan, gatal, kulit bersisik atau menjadi kering pada bagian yang diolesi.
Efek samping lainnya yang mungkin terjadi yaitu iritasi kulit lokal, penekanan kelenjar adrenal, dan peningkatan potasium pada serum. Namun efek lain ini jarang terjadi. Sekalipun terjadi hal itu didorong oleh adanya pemakaian yang tidak sesuai aturan seperti penggunaan pada area kulit yang luas dan dalam kurun waktu yang lama sehingga absorpsi sistemiknya meningkat (FDA, 2020).
Winlevi merupakan krim topikal pertama dari jenisnya yang secara resmi disetujui
pada akhir Agustus oleh FDA untuk digunakan pada pasien berusia 12 tahun ke atas. Jika obat jerawat lain yang umum atau biasa digunakan termasuk antibiotik topikal dan retinoid topikal, namun Winlevi (Clascoterone Cream 1%) berbeda, karena Winlevi merupakan satu-satunya obat topikal yang menargetkan reseptor androgen di kulit.
Hasilnya adalah produksi sebum dan minyak yang lebih sedikit karena androgen merupakan hormon yang bertanggung jawab untuk mendorong produksi sebum dan peradangan yang merupakan penyebab utama timbulnya jerawat (Kaleigh, 2020). Pengurangan produksi sebum dan minyak ini juga secara tidak langsung dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri jerawat yang menggunakan sebum sebagai sumber nutrisi utamanya (Makrantonaki et al, 2011).
Krim anti jerawat Winlevi diharapkan sudah tersedia dan dipasarkan pada awal 2021. Dengan tersedianya krim Winlevi dipasaran, diharapkan dapat lebih memperluas alternatif pilihan terapi jerawat bagi pasien. Terutama bagi pasien yang hingga saat ini belum menemukan terapi yang tepat bagi gejala jerawat yang sedang dialami.
Sumber :
FDA. 2020. Highlight of Prescribing Information WINLEVI Cream. Diakses secara online di https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2020/213433s000 lbl.pdf [Diakses pada 16 November 2020].
FDA. 2020. Winlevi. Diakses secara online di
https://www.accessdata.fda.gov/scripts/cder/daf/index.cfm?event=overview.process&varApplNo=213433 [Diakses pada 14 November 2020].
Hebert, A., Thiboutot, D., Gold, L. S., Cartwright, M., Gerloni, M., Fragasso, E., & Mazzetti, A. 2020. Efficacy and Safety of Topical Clascoterone Cream, 1%, for Treatment in Patients With Facial Acne
Kaleigh, F. 2020. The FDA Just Approved Winlevi, a New Topical Treatment for Acne. Diakses secara online di https://www.yahoo.com/lifestyle/fda-just-approved-winlevi-topical-133436714.html [Diakses pada 16 November 2020].
Lema, E., Yusuf, A., dan Wahyuni, S. 2019. Gambaran Konsep Diri Remaja Putri Dengan Acne Vulgaris di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya. Psychiatry Nursing Journal. Vol. 1(1):14-20
Madelina, W, dan Sulistyaningsih. 2018. Review: Resistensi Antibiotik Pada Terapi Pengobatan Jerawat. Farmaka. Vol. 16(2): 105-117.
Makrantonaki et al. 2011. An update on the role of the sebaceous gland in the pathogenesis of acne. Dermatoendocrinology. Vol. 22(5): 360–366.
Narayenah, M. dan Suryawati, N. 2017. Karakteristik profil jerawat berdasarkan indeks glikemik makanan pada mahasiswa semester III fakultas kedokteran Universitas Udayana tahun 2014. intisari Sains Medis. Vol. 8(2): 139-143
Ramdani, R., dan Hendra, T.S. 2015. Treatment For Acne Vulgaris. Jurnal Majority. Vol. 4(2): 87-95.
Saragih, D. F., Hendri Opod, dan Cicilia Pali. 2016. Hubungan Tingkat Kepercayaan Diri dan Jerawat (Acne vulgaris) pada Siswa-Siswi Kelas XII di SMA Negeri 1 Manado. Jurnal e-Biomedik (eBm). 4(1).
Suryana, S., Yen Yen Ade Nuraeni, dan Tina Rostinawati. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dari Lima Tanaman terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis dengan Metode Mikrodilusi M7 – A6CLSI. IJPST. 4(1) : 1-9.
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…