Majalah Farmasetika – Tren Back to Nature cenderung mulai berkembang kembali di Indonesia terutama dalam pengobatan. Didukung dengan kemajuan teknologi, masyarakat mulai kembali pada alam (Back To Nature) sebagai titik awal berkembangnya obat herbal.
Back To Nature In Medicine adalah suatu istilah yang menggambarkan bahwasanya masyarakat kembali pada pengobatan herbal dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada. Misalnya seperti akar alang-alang yang digunakan sebagai obat penurun panas, ada juga daun bluntas untuk obat menghilangkan bau badan dan lain sebagainya.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia obat herbal atau yang lebih dikenal sebagai obat tradisional (Permenkes RI) nomor 246/MenKes/Per/V/1990, adalah setiap bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, atau campuran dari bahan-bahan tersebut. Secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman atau data empiris. Berbagai pertimbangan yang menjadikan masyarakat memilih Back To Nature ialah karena obat herbal memiliki berbagai kelebihan misalnya dalam proses penggunaannya dapat langsung digunakan ke sumber penyakit, hal ini dikarenakan obat herbal bersifat rekonstruktif yakni memperbaiki organ dan membangun kembali organ, jaringan atau sel yang rusak.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini terdapat kelebihan dan kekurangan dari obat herbal, sebagai berikut:
Kelebihan :
Kekurangan :
Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.4.2411 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat bahan alam Indonesia, obat tradisional Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu Jamu, Obat Herbal Tersandar (OHT) dan Fitofarmaka. Adapun perbedaan dari ketiga jenis obat herbal tersebut yaitu apabila jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Contoh produk jamu yang beredar dimasyarakat yaitu antangin. Sedangkan Obat Herbal Terstandar diperlukan pembuktian ilmiah secara uji pra-klinik dan bahan baku yang sudah terstandarisasi. Contoh yang termasuk OHT adalah diapet®, kiranti®, dan lain-lain. Indonesia sendiri telah mampu memproduksi dan memiliki produk OHT. Obat herbal yang bisa dikatakan memiliki kedudukan sejajar dengan obat modern yaitu fitofarmaka, hal ini dikarenakan proses ilmiah yang dilakukan melalui dua uji yaitu uji pra-klinik dan uji kinik. Kemudian bahan baku maupun produk jadinya telah distandarisasi. Contoh produk fitofarmaka yang dikenal masyarakat yaitu stimuno.
Apakah benar obat herbal tidak menimbulkan efek samping?
Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa penggunaan obat herbal tidak menimbulkan efek samping, namun pernyataan ini sering kali digabungkan dengan opini yang mengklaim bahwa obat herbal tidak menimbulkan bahaya. Namun hal ini perlu dikaji lebih lanjut karena bahwasanya setiap obat selalu memiliki efek samping, adakalanya juga efek samping tersebut tidak muncul, tergantung dengan kondisi tubuh setiap pribadi masing – masing.
Sumber
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…