Majalah Farmasetika – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Penny K. Lukito, melakukan penindakan ke sarana kosmetika ilegal di Pergudangan Elang Laut dengan alamat Sentra Industri 1 dan 2 Blok I1/28, RT 02/ RW 03, Jakarta Utara, dengan menyita barang bukti bernilai total Rp7,7 miliar pada Hari Kamis, 9 Maret 2023.
Secara rinci, barang bukti yang diamankan antara lain bahan baku berupa bahan kimia obat seperti Hidroquinon, Asam Retinoat, Deksametason, Mometason Furoat, Asam Salisilat, Fluocinolone, Metronidazol, Ketokonazol, Betametason, dan Asam Traneksamat senilai Rp4,3 miliar; bahan kemas berupa pot dan botol kosong untuk produk kosmetika senilai Rp164 juta; produk antara berupa lotion senilai Rp1,2 miliar; produk jadi berupa lotion malam dan berbagai macam krim tanpa merek senilai Rp1,4 miliar. Selain itu, juga diamankan beberapa alat produksi berupa mesin mixing, mesin filling, mesin coding, mesin packaging, timbangan, dan alat produksi lainnya senilai Rp451 juta. Kendaraan minibus senilai Rp198 juta, serta alat elektronik berupa handphone, laptop, CPU, dan flashdisk senilai Rp31 juta juga turut disita dan diamankan dari lokasi.
Semua barang bukti tersebut telah disita dan saat ini, BPOM masih melakukan pemeriksaan terhadap 9 (sembilan) saksi karyawan dan 1 (satu) orang ahli. Hasil pemeriksaan, 1 (satu) orang diduga pelaku berinisial SJT yang merupakan pemilik usaha. Praktik produksi ini diduga sudah dilakukan pelaku sejak tahun 2020 di lokasi lain, yaitu di daerah Jakarta Barat. Sedangkan kegiatan produksi pada lokasi inii diduga dilakukan sejak bulan September 2022.
Menurut Kepala BPOM, peredaran kosmetika ilegal ini cukup luas. Peredarannya di Pulau Jawa (wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali (Denpasar), dan sebagian wilayah Sumatra (Sumatra Selatan, Sumatra Utara, dan Lampung). “Produk kosmetika ilegal ini sangat berbahaya. Selain produk yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu, kita juga melihat pada sarana ini tidak menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), terutama aspek higiene sanitasi sarana sangat kurang,” sambung Kepala BPOM.
Berdasarkan investigasi terhadap sarana produksi kosmetika ilegal tersebut, diduga telah terjadi tindak pidana. Pertama, yaitu memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Jo. Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Kedua, yaitu memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Jo. Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang–Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Ketiga, yaitu memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Kepala BPOM kembali menekankan bahwa penggunaan kosmetika tanpa izin edar dan/atau mengandung bahan dilarang dalam kosmetika sesuai peraturan persyaratan teknis bahan kosmetika sangat berisiko bagi kesehatan. Risiko kesehatan yang berpotensi terjadi akibat penggunaan kosmetika dengan kandungan bahan dilarang dalam pada kosmetika adalah sebagai berikut:
Melihat bahaya yang dapat timbul tersebut, BPOM mengimbau masyarakat untuk terus meningkatkan literasi serta menambah pengetahuan dan wawasan, sehingga menjadi konsumen cerdas dan berdaya dengan tidak menggunakan kosmetika tanpa izin edar. Dalam hal ini, termasuk produk racikan tanpa izin edar dan/atau kosmetika mengandung bahan dilarang sesuai peraturan persyaratan teknis bahan kosmetika.
BPOM juga mengimbau kepada tenaga kesehatan agar mendorong pasien yang membutuhkan obat bentuk sediaan krim atau lotion, untuk memperolehnya melalui sarana resmi. Sarana resmi dimaksud yaitu apotek yang dapat melakukan peracikan dengan tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan.
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…