Opini

Menata Ulang Penggolongan Obat di RUU Kesehatan Omnibus Law

Majalah Farmasetika – Rubrik Opini. Draf RUU Kesehatan Omnibus Law memuat usulan penggolongan obat baru. Pasal 337 memuat draf penggolongan obat dengan usulan “obat digolongkan menjadi obat dengan resep dokter dan obat tanpa resep dokter”. Dalam penjelasan pasal 337 disisipkan narasi yang dimaksud dengan “Obat dengan resep dokter” adalah Narkotika, Psikotropika, dan Obat keras yang penyerahannya harus berdasarkan resep dokter. Yang dimaksud dengan “Obat tanpa resep dokter” adalah Obat bebas terbatas dan Obat bebas yang penyerahannya tanpa berdasarkan resep dokter.

Dalam UU nomor 36 tahun 2009 mendefinisikan obat sebagai bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Penggolongan obat atas dasar resep dokter menuai kontroversi banyak pihak, khususnya kalangan apoteker. Obat sejatinya merupakan alat praktik apoteker sebagai bagian dari upaya kesehatan untuk tujuan preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Sehingga obat tidak dapat dipisahkan dari mayoritas tindakan medis sebagai bagian dari upaya Kesehatan tersebut. Begitu pula profesi apoteker, seharusnya tergabung dalam kelompok tenaga medis dan/atau terpisah mandiri sebagai kelompok tenaga apoteker yang setara dengan tenaga medis.

Pemahaman stakeholder dan masyarakat terhadap obat seringkali mengabaikan prinsip pengobatan khususnya dalam hal penguasaan obat dan keamanan penggunaan obat. Padahal pemakaian obat dalam suatu pengobatan tidaklah sederhana dan tidak dapat disederhanakan. Apoteker sering menyampaikan informasi obat dengan menggunakan bahasa awam dan sederhana, namun proses yang dilalui sangatlah komplek. Oleh karenanya akan lebih baik apabila untuk setiap obat dan pemakaian obat oleh masyarakat didampingi oleh apoteker sebagai tenaga professional yang kompeten dibidangnya.

Apa sajakah kontroversi usulan penggolongan obat dalam RUU Kesehatan ini?

RIWAYAT PENGGOLONGAN OBAT

Secara de Jure penggolongan obat yang berlaku di Indonesia menurut UU Obat Keras 1949 ada 2 (dua), yaitu Obat Daftar G / obat-obat keras yang berbahaya (Gevaarlijk ) dan Obat Daftar W / Obat-obat keras dengan peringatan ( Warschuwing ). Obat daftar G terdiri dari Obat-obat racun (Narkotika, Psikotropika dan Obat Keras Tertentu). Sedangkan Obat daftar W terdiri dari obat keras selain daftar G. Semua golongan obat tersebut adalah obat keras yang harus dikuasai dan dikelola oleh Apoteker.

Dalam Permenkes nomor 167/Kab/B.VII/72 tentang pedagang eceran obat, terjadi pergeseran makna golongan obat keras daftar W menjadi obat bebas dan bebas terbatas. Implementasi pedagang eceran obat adalah berwujud toko obat dengan penanggungjawab teknis asisten apoteker. Pengaturan pedagang eceran obat diperbaharui pada Permenkes 1331/MENKES/SK/X/2002. Puncaknya PP No. 51 Tahun 2009 memunculkan nomenklatur baru Fasilitas Pelayanan Kefarmasian (fasyanfar) dalam upaya melegalkan Toko Obat sebagai bagian pelayanan kefarmasian.

Bagaimana dengan obat keras daftar G? Obat keras daftar G mengalami juga mengalami akrobat pergeseran makna, dari yang seharusnya golongan obat-obatan racun / berbahaya menjadi “semua obat keras”. Nomenklatur “obat daftar G adalah semua obat keras” mulai diatur dalam Kepmenkes Nomor 197/A/SK/77 dengan keharusan mencantumkan kalimat “harus dengan resep dokter” sebagai penandaan bungkus obat keras. Peraturan ini diperkuat Kepmenkes Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G. Dalam pasal 2 ayat 2  keharusan mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter” pada bungkus obat keras diartikan sebagai perintah bahwa obat keras hanya dapat diberikan dengan resep dokter.

Puncaknya pada Permenkes RI nomor 917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat, mendefinisikan penggolongan obat terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotik, obat keras, psikotropika dan narkotik. Regulasi pelaksanaan ini baru efektif sebatas penandaan dan pelabelan kemasan obat karena belum 100% sesuai dengan konsideran UU obat keras. Sehingga ada upaya terbalik agar RUU Kesehatan dan RUU Waspom merujuk pada peraturan menteri ini.

OBAT SEBAGAI SARANA TERAPI

Obat bukanlah merupakan komoditas dagang semata, namun obat adalah komoditas kesehatan yang sudah seharusnya hanya digunakan sebagai sarana terapi. Obat hanya dapat diserahkan kepada masyarakat setelah melalui tahapan yang salah satunya manajemen resiko. Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang ada pada suatu kegiatan, yaitu  tanggung jawab apoteker terhadap keselamatan pasien (Patient Safety). Manajemen resiko merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya apoteker dalam memenuhi personal medication needs. (Depkes RI, 2008)

Pelayanan kefarmasian beda dengan praktik jual-beli, karena dalam pelayanan kefarmasian oleh apoteker obat merupakan perlengkapan praktik atau sarana terapi yang konsepnya jauh dari konsep perdagangan. Dalam pelayanan kefarmasian oleh apoteker penyerahan obat harus didasarkan pada adanya temuan personal medication needs. Oleh karena hal diatas, dengan pertimbangan kompetensi yang dimiliki apoteker, apoteker memiliki kewenangan untuk menyerahkan obat keras kepada masyarakat pada kasus tertentu dengan alasan kemanusiaan dan pendampingan swamedikasi. Dengan demikian penandaan kalimat “harus dengan resep dokter” yang tertulis dikemasan obat harus dimaknai bahwa obat harus diserahkan untuk digunakan sesuai indikasi yang tepat (pasal  4, UU 36 tahun 2009)

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih melakukan swamedikasi untuk penanganan minor illness sebagai upaya preventif (Riskesdas 2013). Menurut WHO, Swamedikasi  adalah pemilihan dan penggunaan obat oleh diri sendiri untuk mengobati penyakit atau gejala yang ditetapkan sendiri. Swamedikasi harus dilaksanakan dengan bertanggungjawab dengan pendampingan apoteker yang akan memastikan semua obat yang digunakan adalah aman, berkualitas dan terbukti khasiatnya. Semua obat yang digunakan adalah yang dimaksudkan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk beberapa kondisi kronis atau berulang (yang diawali diagnosis medis). Intinya selama swamedikasi dapat dipertanggungjawabkan kemanan dan keefektifannya adalah menjadi hak asasi masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dalam bidang kesehatannya. (The Role of the Pharmacist in Self-Care and Self-Medication, WHO, 1998).

KOMPETENSI APOTEKER DALAM BIDANG MEDIS

Pada mulanya ilmu medis (kedokteran) dan ilmu farmasi (medication) menjadi satu profesi kesehatan, yaitu dokter. Pada perkembangannya Pada tahun 1240, raja Frederich II dari kerajaan Sisilia mengeluarkan undang-undang yang memisahkan antara profesi dokter dan apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien, menuliskan resep obat sesuai hasil pemeriksaan dan melakukan tindakan medis. Kemudian atas dasar resep tersebut dimintakan obat kepada apoteker, yang dibawa kembali kepada dokter untuk diminumkan kepada pasien. Kemudian pada tahun 1407, terbitlah Pharmacist’s Code of Genoa yg melarang seorang apoteker bekerja sama dengan seorang dokter, salah satu contohnya adalah kong kalikong peresepan untuk menentukan jenis dan harga obat yang membebani masyarakat.

Adanya pemisahan tersebut menjadikan kewenangan dokter dalam obat dan pengobatan diawali dari interaksi obat-reseptor dan kewenangan apoteker adalah menjamin terjadinya interaksi obat-reseptor sesuai dengan goal of theraphy. Oleh karenanya, Jika kompetensi medis diantaranya adalah interaksi obat-reseptor,  maka apoteker memiliki atau harus memiliki kompetensi medis sebagai kompetensi minor. Kompetensi minor tesebut penting bagi apoteker, karena tanpa kompetensi medis sama sekali apoteker hanya akan menjadi tenaga teknik atau vokasi atau asisten dokter. Kompetensi medis apoteker bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa, namun dimaksudkan untuk menjamin bahan aktif obat dapat mencapai reseptor sehingga terjadi interaksi obat-reseptor sesuai dengan indikasi yang ditemukan, selanjutnya pengobatan dapat diharapkan berlangsung seaman mungkin, se-efektif mungkin dan se-efisien mungkin yang dapat dicapai. (Hisfarma Jatim, 2017)

KEWENANGAN APOTEKER DALAM PENGOBATAN

Salah satu kewenangan apoteker yang telah dimiliki sejak awal jaman kemerdekaan adalah menyerahkan obat keras secara langsung kepada masyarakat yang dikenalnya (UU Obat Keras, St. 1949 Nomor 149 dan Reglement DVG, St. 1949 Nomor 228). Namun seiring sejalan dengan perkembangan jaman mulai banyak pihak yang ingin mengurangi kewenangan tersebut dengan berbagai dalih. Seharusnya kewenangan apoteker dalam hal menyerahkan obat keras terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan.

Dikembangkan bukan berarti dibebaskan seluas-luasnya, namun dikembangkan agar kewenangan tersebut dapat berlangsung dengan lebih aman dan lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena apoteker merupakan satu-satunya profesi yang memiliki keahlian dibidang obat-obatan dari hulu ke hilir.   Pengembangan tersebut juga harus mempertimbangan kewenangan dan kompetensi profesi lain. Jikalau ada dua profesi dengan kompetensi yang sama bukan untuk diadu siapa yang lebih berwenang, namun kesamaan tersebut harus dapat diselaraskan dalam manajemen kontrol pembuat kebijakan dan kalau mungkin dikolaborasikan untuk kepentingan masyarakat (Yanto, 2018)

PILIH ISTILAH RESEP ATAU RESEP DOKTER?

Penggolongan obat dinegara maju dibagi menjadi 2 (dua), yaitu obat berdasar resep (prescription only medicine) dan obat dengan apoteker (pharmacist only medicine). Negara maju sepenuhnya sadar yang memiliki otoritas, keahlian dan kewenangan dari hulu ke hilir terkait obat-obatan adalah apoteker. Penggolongan diatas didasarkan atas dasar tingkat resiko dan pengamanan penguasaan obat-obatan.

Didalam dunia Kesehatan istilah resep (prescription) pasti merujuk ke sediaan farmasi dan alat Kesehatan. Resep dokter adalah salah satu bagian dari resep itu sendiri. Dalam konteks definisi baik di dunia maupun di Indonesia hanya terdapat definisi RESEP (prescription), bukan RESEP DOKTER (physician prescription). Selain ditulis dokter, resep juga dapat ditulis dokter gigi dan dokter hewan. Bahkan dibeberapa negara maju, psikolog, apoteker, perawat dan bidan dilegalkan menulis resep terkait obat yang dibutuhkan dibidang kompetensinya. Sebagai contoh di lima negara bagian: Louisiana, New Mexico, Illinois, Iowa, dan Idaho. Psikolog dapat meresepkan obat-obatan tertentu yang digunakan dalam pengobatan gangguan jiwa. Dalam kasus seperti itu, psikolog diharuskan untuk menerima pelatihan khusus dan diizinkan untuk meresepkan. (hariyono B, 2009)

PENGGOLONGAN OBAT HARUS MENGUTAMAKAN KEPENTINGAN MASYARAKAT

Dalam permenkes nomor 9 tahun 2017, definisi resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan bagi pasien. Resep adalah PERMINTAAN, bukan PERINTAH kepada apoteker. Artinya penggolongan obat dengan memakai istilah “resep dokter” akan berpotensi menyebabkan adanya monopoli, hegemoni dan gratifikasi dalam kontrol obat-obatan dan pengobatan.

Istilah “Obat dengan resep dokter” juga berpotensi meningkatkan biaya pengobatan masyarakat, untuk mendapatkan setiap obat keras masyarakat harus mengeluarkan biaya konsultasi dan peresepan, terlepas butuh tidaknya masyarakat terhadap pemeriksaan tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa komponen iklan obat, gratifikasi obat ( entertaint, cash netto, kontrak resep dst) dibebankan ke masyarakat sehingga obat menjadi lebih mahal. Tahun 2016, KPK pernah mengusut kasus gratifikasi 800M dari perusahaan farmasi untuk peresepan. Sungguh jumlah yg luar biasa besar bila harus ditanggung masyarakat terkait harga obat. (CNN, 17 Sept 2016)

Selanjutnya adalah istilah penggolongan “obat tanpa resep dokter” dipandang juga kurang tepat. Obat bebas dan bebas terbatas yang dimaksud sebagai obat tanpa resep dokter, tak sepenuhnya diserahkan ke pasien tanpa resep dokter. Obat bebas dan bebas terbatas di fasilitas pelayanan Kesehatan selain apotek (klinik, puskesmas dan RS) harus diserahkan ke pasien atas dasar resep dokter karena bersifat pelayanan kolaboratif dan satu pintu. Nomenklatur obat bebas dan bebas terbatas dibuat dalam rangka penggolongan obat atas dasar bisnis eceran obat, dimana toko obat, loss pasar, dst saat ini masih diperkenankan menyediakan dan mendistribusikan ke masyarakat tanpa pengawasan apoteker.

KESIMPULAN DAN SARAN

Indonesia harus bergerak maju didalam transformasi pelayanan Kesehatan dengan meninggalkan feodalisme pelayanan Kesehatan dan berfokus pada kebutuhan pasien (personal medication needs). Demi kepentingan masyarakat dan pengamanan masyarakat dari penyalahgunaan serta salah guna obat-obatan, maka mengembalikan kontrol penguasaan dan kewenangan pengelolaan sediaan farmasi dan alat Kesehatan ke apoteker adalah tidak bisa ditawar. Bukan untuk kepentingan apoteker, namun untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Selanjutnya penulis ingin memberikan masukan kepada Presiden, Menteri kesehatan, Kepala BPOM, DPR RI dan yang terkait yaitu ;

A. Memasukkan definisi resep yang selangkah lebih maju di dalam ketentuan umum, yaitu ; “Resep adalah permintaan resmi dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, dan/atau tenaga kesehatan lain yang diberi kewenangan oleh negara untuk membuat resep, kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik, untuk membuat, menyiapkan dan menyediakan obat tertentu serta menyerahkannya kepada pasien tertentu”

B. Merubah Pasal 337 menjadi :

  • Obat digolongkan menjadi Obat dengan resep (prescription only medicine), Obat dengan apoteker (pharmacist only medicine) dan Obat bebas (Over The Counter Medicine)
  • Obat dengan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah narkotika, psikotropika dan obat keras tertentu yang diserahkan apoteker harus dengan resep.
  • Obat dengan apoteker sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah obat keras, baik yang diserahkan apoteker dengan resep maupun tanpa resep.
  • Obat bebas sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah obat yang dapat diperjualbelikan secara bebas dimasyarakat secara eceran.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dari penggolongan obat diatur dalam Peraturan Pemerintah.

C. Menghapus penjelasan pasal 337, karena sudah akan diatur dalam peraturan pemerintah dan/atau memasukkan definisi resep, bila tidak dicantumkan dalam ketentuan umum.

apt. Fidi Setyawan, M.Si

1. Dosen IIK Strada Indonesia 2. Presidium Farmasis Indonesia Bersatu 2018-2022 3. Kabid Kajian Hukum PD IAI Jawa Timur 2022-2026

Share
Published by
apt. Fidi Setyawan, M.Si

Recent Posts

Peran Penting Apoteker dalam Menjamin Distribusi Aman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (NPP)

Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…

7 hari ago

Mengapa Pemetaan Suhu Penting di Gudang Farmasi? Kenali 7 Manfaat Utamanya

Majalah Farmasetika - Produk farmasi, seperti obat-obatan, memerlukan stabilitas tinggi untuk menjaga efektivitas dan kualitasnya…

7 hari ago

Pentingnya Surat Pesanan di Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Majalah Farmasetika - Dalam dunia perdagangan obat, surat pesanan memiliki peran yang sangat penting. Di…

7 hari ago

Peran Penting Apoteker dalam Pelatihan Penerapan CDOB dan CDAKB di PBF

Majalah Farmasetika - Di fasilitas distribusi farmasi, memastikan obat-obatan dan alat kesehatan tetap berkualitas sepanjang…

7 hari ago

Hubungan Signifikan Antara Insomnia dan Kekambuhan Atrial Fibrilasi Jangka Panjang Setelah Ablasi Radiofrekuensi

Majalah Farmasetika - Studi kohort yang baru-baru ini diterbitkan dalam Annals of Medicine Journal menetapkan…

2 minggu ago

BPOM Perintahkan Tarik Latiao Tercemar Bakteri Penyebab Keracunan

Jakarta - BPOM resmi mengumumkan penarikan produk pangan olahan impor latiao asal Tiongkok penyebab keracunan.…

2 minggu ago