farmasetika.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada November 2016 telah mengeluarkan Safety Alert untuk tenaga profesional kesehatan terkait “Peginterferon Alfa — 2a dan Risiko Facial Palsy “.
Peginterferon alfa-2a merupakan obat yang diindikasikan untuk pengobatan HbeAg positif dan HbeAg negatif hepatitis B kronis pada pasien non sirosis dan sirosis dengan penyakit hati dan bukti adanya replikasi virus, peningkatan ALT dan histologi yang diverifikasi dengan peradangan hati dan atau fibrosis.
Peginterferon alfa-2a juga diindikasikan untuk pengobatan hepatitis C kronis pada pasien dewasa dengan serum HCV-RNA positif. Pada pengobatan hepatitis C, peginterferon alfa-2a dikombinasi dengan ribavirin untuk hasil yang optimal.
Facial palsy atau bell palsy merupakan kelumpuhan saraf VII atau saraf wajah. Facial palsy umumnya mengacu pada kelemahan otot-otot wajah, terutama yang dihasilkan dari kerusakan sementara atau permanen pada saraf wajah.
Ketika saraf wajah adalah tidak berfungsi dengan baik atau hilang, otot-otot di wajah tidak menerima sinyal yang diperlukan agar dapat berfungsi dengan baik. Hal ini menyebabkan kelumpuhan bagian yang terkena wajah, yang dapat mempengaruhi pergerakan mata (s) dan / atau mulut, serta daerah-daerah lainnya.
Ada berbagai tingkat kelumpuhan wajah: kadang-kadang hanya bagian bawah wajah yang terpengaruh, kadang-kadang satu seluruh sisi wajah dan dalam beberapa kasus kedua sisi wajah yang terkena.
Pada Desember 2015, Therapeutic Goods Administration (TGA)-Australia menginformasikan terkait risiko facial palsy pada penggunaan peginterferon alfa-2a. Hingga 19 Agustus 2015, TGA telah menerima lima laporan kelumpuhan saraf VII yang berhubungan dengan peginterferon alfa-2a, termasuk tiga kasus dimana peginterferon alfa-2a sebagai satu-satunya obat yang dicurigai.
Berdasarkan pemantauan TGA terhadap laporan efek samping pasca pemasaran di Australia dan internasional mengidentifikasikan bahwa terdapat potensi risiko kelumpuhan saraf VII (juga dikenal sebagai Bell palsy) pada penggunaan peginterferon alfa-2a.
Hingga saat ini Badan POM RI sebagai Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional ‘ belum menerima laporan kasus terkait risiko facial palsy pada penggunaan peginterferon alfa-2a. Badan POM RI menyampaikan informasi ini kepada profesional kesehatan untuk meningkatkan kehati-hatian dan sebagai pertimbangan dalam peresepan produk obat mengandung peginterferon alfa-2a.
Badan POM RI sebagai Pusat Fan-nakovigilans/MESO Nasional menghimbau agar profesional kesehatan melaporkan apabila ditemui adanya ESO dengan menggunakan Form—Kuning MESO atau dapat melaporkan secara online melalui Subsite http://e-meso.pom.goid ke Badan POM R.I.
Data laporan ESO tersebut sangat dibutuhkan untuk mengavval keamanan produk yang beredar di Indonesia, sehingga dapat dilakukan evaluasi, dan diberikan informasi keamanan obat kepada pasien berdasarkan data populasi di Indonesia.
Sumber :
What is Facial Palsy? http://www.facialpalsy.org.uk/inform/what-is-facial-palsy/ (diakses 29 Januari 2017)
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…