farmasetika.com – Rubrik Opini. Hari Pangan Sedunia atau World Food Day diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Penetapan tanggal tersebut dilakukan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia karena pada tanggal tersebut FAO didirikan. FAO merupakan badan yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Maka sejak tahun 1981, Hari Pangan Sedunia diperingati setiap tanggal 16 Oktober dengan mengambil tema yang beragam, bertujuan untuk menekankan pentingnya seluruh bangsa di dunia agar memberikan perhatian yang lebih besar terhadap persoalan pangan, baik dari hulu (aspek produksi) ke hilir (aspek konsumsi) maupun dimensi ketersediaan, pemerataan, pengelolaan, keamanan, ketahanan, kemandirian sampai kedaulatan pangan. Maka bicara pangan sesungguhnya bicara tentang kedaulatan suatu bangsa. Kedaulatan yang memberikan hak sepenuhnya bagi suatu bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangannya.
FAO telah menetapkan tema World Food Day Tahun 2017 yaitu Change The Future of Migration : Invest in Food Security and Rural Development. Tema ini dipilih dengan mencermati kecenderungan global akan pesatnya arus urbanisasi.
Tema ini juga sejalan dengan kerangka kerja bersama seluruh negara di dunia tentang arah pembangunan global yang tertuang dalam dokumen Transforming Our World : The 2030 Agenda for Sustainable Development. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam Sustainable Development Goals/SDGs adalah menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan (UNSDS, 2015).
Melalui pengarusutamaan food security and rural development, FAO ingin setiap negara mulai melakukan langkah nyata agar tidak terjadi lagi kelaparan dan kemiskinan. Pembangunan berbasis pedesaan yang memiliki lahan pertanian memadai, diharapkan mampu menjadi solusi akan ketersediaan dan ketahanan pangan. Terlebih lagi data menunjukkan bahwa ¾ penduduk miskin di dunia justru bermata pencaharian sebagai petani yang beraktifitas di pedesaan.
Kemiskinan yang terjadi pada para petani ini akhirnya mendorong terjadinya urbanisasi. Penghasilan bekerja di kota menjadi lebih menarik daripada bekerja sebagai petani. Semakin berkurangnya masyarakat yang bekerja sebagai petani tentu mengancam tingkat produksi pertanian. FAO ingin agar gejala urbanisasi dan alih profesi ini terus menerus dikurangi melalui investasi dan pembangunan desa sebagai penopang kebutuhan pangan bagi masyarakat dunia (FAO, 2017)
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 (UU No. 18 Tahun 2012) tentang Pangan. Undang-Undang ini mencabut aturan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam UU No. 18 Tahun 2012, definisi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Undang-Undang ini mengatur segala aspek yang berkaitan dengan pangan. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Maka sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi setiap warga negara. Tanpa pemenuhan kebutuhan pangan yang memadai, maka akan sulit untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal, kualitas sumber daya manusia adalah modal dasar bagi kemajuan bangsa.
Selain itu,
Undang-Undang ini mendefinisikan keamanan pangan yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Penyelenggaraan keamanan pangan ini harus dilakukan secara terpadu dan sinergis oleh semua pemangku kepentingan pada setiap aspeknya yang meliputi produksi, pengolahan, distribusi, penyimpanan, penanganan dan penggunaan pangan. Begitu ketatnya keamanan pangan ini diatur untuk menjaga agar dapat pangan tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pangan ini bermacam-macam, namun saat ini yang menjadi leading sector-nya adalah Kementerian Pertanian. Leading sector dalam artian bahwa saat ini Indonesia masih fokus dalam aspek ketersediaan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat.
Bicara ketersediaan tidak bisa dilepaskan dari jumlah kebutuhan pangan yang menjadi hak asasi warga negara dan harus dipenuhi oleh negara. Bila kita dapati fakta tentang kekurangan bahkan sampai kelangkaan salah satu jenis pangan di suatu daerah, maka akan sangat mudah memicu konflik sosial yang ada ditengah-tengah masyarakatnya.
Tidak ada satupun manusia yang tidak butuh pangan. Urusan “perut” ini bisa membuat orang tidak dapat berpikir rasional dan pada akhirnya memicu perbuatan-perbuatan negatif lainnya. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, tentu tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Seringkali pemerintah dihadapkan pada kondisi besarnya ketimpangan antara ketersediaan pangan dengan kebutuhan masyarakat. Maka jalan pintasnya adalah dengan melakukan impor. Padahal sebagai negara agraris dan berlimpah ruah sumber daya alam, tidak selayaknya Indonesia masih terus berkutat hanya pada aspek ketersediaan untuk pemenuhuan kebutuhan pangan semata.
Keputusan impor haruslah menjadi langkah jangka pendek dan instan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Langkah jangka panjang dan berkelanjutan tentulah dengan terus menerus meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Bila terus menerus tergantung dengan impor, maka sulit bagi Indonesia untuk mencapai kemandirian pangan, apalagi kedaulatan pangan.
Diluar aspek ketersediaan, aspek keamanan pangan juga tidak kalah pentingnya untuk dicermati. Pangan yang dikonsumsi manusia haruslah aman sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi manusia. Pangan harus terbebas dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Sekalipun memiliki kandungan nutrisi yang memadai, pangan yang telah terkontaminasi cemaran tidaklah layak untuk dikonsumsi karena akan berdampak negatif pada kesehatan manusia.
Lembaga pemerintah yang bertugas untuk menjaga keamanan pangan ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, pangan yang menjadi kewenangan Badan POM adalah pangan olahan. Definisi pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Melalui pengawasan terhadap produksi dan peredaran pangan olahan ini, Badan POM memiliki peran strategis dalam upaya menjaga keamanan pangan. Tujuan akhir yang ingin dicapai tentu saja agar tercapai perlindungan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Bila berbicara tentang aspek keamanan pangan, maka pada titik inilah sesungguhnya profesi apoteker dapat mengambil peran dan tindakan nyata, baik terhadap pangan olahan berupa makanan maupun minuman. Tindakan nyata seorang apoteker dalam menjaga keamanan pangan dapat dilakukan pada skala dan posisi apapun.
Skala produksi, distribusi dan pelayanan yang menjadi trilogy pekerjaan kefarmasian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 dapat juga dilakukan. Pada skala produksi, seorang apoteker dididik untuk dapat mengetahui cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat merusak pangan olahan. Tidak cukup hanya dengan mengetahuinya, apoteker dididik juga untuk dapat melakukan pemastian mutu (quality assurance) terhadap pangan olahan sehingga kandungan nutrisi yang ada dalam pangan dapat terjaga sampai dikonsumsi oleh manusia.
Pada skala distribusi, seorang apoteker juga dituntut untuk dapat terus menjaga terlindunginya pangan dari kontaminasi cemaran-cemaran yang berbahaya. Ada upaya quality assurance yang dapat juga dilakukan. Dan terakhir pada skala pelayanan, seorang apoteker dapat berperan tidak hanya dalam bentuk product oriented berupa quality assurance, namun dapat juga dalam bentuk community oriented dalam bentuk pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang keamanan pangan kepada masyarakat.
Bila ditinjau pada keberadaannya, seorang apoteker dapat berperan nyata dalam aspek keamanan pangan baik pada posisi formal di pemerintahan, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, industri, badan usaha dan lain sebagainya, maupun juga pada posisi informal seperti dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Peran nyata inilah yang kurang terlihat dalam Hari Pangan Sedunia Tahun 2017 yang baru saja berlalu. Mungkin isu keamanan pangan belum menjadi isu yang menarik bagi apoteker untuk mendalaminya. Padahal isu ini tidak kalah pentingnya dengan isu keamanan obat. Berbeda dengan obat yang hanya dikonsumsi oleh orang yang sedang sakit, pangan dapat dikonsumsi oleh siapa saja baik dalam kondisi sehat maupun dalam kondisi sakit. Sudah saatnya bagi apoteker untuk lebih peduli pada pangan.
Daftar Pustaka
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…
Majalah Farmasetika - Produk farmasi, seperti obat-obatan, memerlukan stabilitas tinggi untuk menjaga efektivitas dan kualitasnya…