Farmasetika.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan fungsinya dalam pengawasan obat post marketing dengan melarang peredaran 4 produk (Albothyl, Medisio, Prescotide, dan Aptil) sediaan cair mengandung Policresulen konsentrat 36% untuk penggunaan obat sariawan karena efek samping serius.
BPOM mengambil keputusan tersebut salah satunya didasari oleh adanya pelaporan efek samping obat oleh praktisi kesehatan.
Pada bulan September 2014, sempat viral di media sosial pelaporan efek samping dari penggunaan Policresulen dari pasien-pasien seorang dokter gigi bernama Widya Apsari.
Bahkan, Widya sempat di somasi dari pihak distributor obat. Berikut adalah wawancara ekslusif dengan Widya Apsari dengan redaksi Majalah Farmasetika.
Sejujurnya alasan awal ketika saya membuat twit mengenai kasus pasien tersebut karena saya melihat iklan obat policresulen di televisi yg dibintangi oleh Syahrini dan Baim cilik.
Dalam iklan itu ada adegan dimana Baim mengeluh sariawan dan Syahrini mengobatinya dengan memberikan obat sariawan.
Melihat iklan tersebut membuat saya tergelitik untuk membagi kasus pasien yang saya angkat dalam laporan kasus untuk tugas perkuliahan pendidikan dokter gigi spesialis penyakit mulut.
Ketika saya menulis di twitter jujur tidak memiliki niat untuk menyerang produsen obat, niat saya mutlak hanya untuk menuliskan efek tidak terduga yang diakibatkan oleh penggunaan policresulen yang saya pikir masyarakat harus mengetahuinya. Sayapun tidak menduga twit saya tersebut menjadi cukup viral pada saat 2014 itu.
Satu tahun sejak twit saya beredar, pada sept 2015 saya mendapat somasi dari perusahaan distributor merk X yang mengandung policresulen. Inti dari somasi tersebut adalah meminta saya untuk menjelaskan mengenai kebenaran tulisan saya di twitter, baik dari sisi kebenaran keberadaan pasiennya, kasusnya, dan bukti ilmiah dari tulisan di twitter.
November 2015 saya didatangi Produsen produk X, meminta saya untuk mengisi form pelaporan efek samping obat. Saat itu saya menolak mengisinya, karena kasus yang saya angkat di twitter adalah kasus selama saya pendidikan spesialis, dan ada dokter penanggung jawab pasien yang mensupervisi perawatan yang saya lakukan terhadap pasien, teman pasien tersebut adalah pasien di salah satu RS di Jakarta. Jadi saya tidak memiliki hak untuk mengisinya. Maka saya meminta Produsen utk menghubungi dokter penanggungjawab pasien saya tersebut.
Kemudian selang beberapa hari pihak produsen menghubungi Dokter penanggung jawab untuk mengisi form pelaporan efek samping obat, namun ditolak, karena form tersebut diperuntukkan utk pelaporan efek samping obat yg diberikan dokter terhadap pasiennya. Sedangkan pada kasus yang saya angkat, medikasi obat X terhadap pasien dilakukan oleh pasien sendiri.
Sebagai gantinya drg penanggung jawab pasien memberikan laporan resmi dari RS (melalui komite pelayanan medik) tentang data-data pasien yang mengalami efek samping obat tersebut. Data-data tersebut dikirimkan ke BPOM dan digunakan sebagai salah 1 pertimbangan tim ahli BPOM.
Kemudian tahun 2016-2017 terjadi pertemuan antara drg penanggung jawab pasien, bpom, pihak produsen dan para ahli lainnya.
Hasil akhir dari pertemuan tersebut, pada pertengahan tahun 2017 didapat hasil akhir diskusi berupa produk policresulen tetap boleh edar dengan indikasi terbatas atau ditarik sama sekali. Dan keputusannya dikembalikan ke tim dari BPOM
Tidak sampai ke pengadilan. Hanya surat somasi yg saya dapat dari Distributor. Dan setelah saya kirimkan jawaban somasi, tidak ada tindak lanjut dari surat somasi tersebut kepada saya.
BPOM sangat berperan dalam kasus ini, BPOM cukup tanggap terhadap pelaporan efek samping policresulen dari dokter penanggungjawab, walaupun membutuhkan waktu kurang lebih 1,5th.
Tapi hal ini bisa dimaklumi karena memang keterbatasan informasi yg beredar tentang zat policresulen ini, terutama jurnal yang membahas tentang policresuen
Menurut saya, sebaiknya dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya harus berani bersuara apabila terdapat kejanggalan dari suatu obat, dan tidak perlu ragu untuk bersurat ke BPOM.
Dan tentunya jangan lagi menganjurkan pasien untuk menggunakan policresulen dalam mengobati sariawan.
Melalui kasus ini, saya berharap masyarakat ikut pro aktif apabila mengalami gangguan setelah memggunakan obat tertentu, yaitu dengan cara melapor kepada BPOM maupun ke YLKI.
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…