farmasetika.com – Para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) berhasil memanfaatkan kekuatan kecerdasan buatan untuk membuat obat baru yang kuat yang mampu membunuh bakteri penyebab penyakit, beberapa di antaranya resisten terhadap semua jenis antibiotik yang dikenal.
Hanya sejumlah kecil antibiotik baru telah dikembangkan selama beberapa dekade terakhir karena biaya dan waktu yang terkait dengan penyaringannya. Faktanya, sebagian besar antibiotik yang baru disetujui hanyalah varian kecil dari obat yang ada. Tetapi sekarang berkat kekuatan kecerdasan buatan dan meningkatnya kebutuhan untuk menangkis bakteri yang kebal antibiotik, yang berubah.
Para peneliti di MIT menciptakan mesin model pembelajaran (machine-learning algorithm) untuk mencari fitur kimia yang membuat molekul efektif membunuh E. coli, melatihnya pada sekitar 1.700 obat yang disetujui FDA dan 800 produk alami. Setelah dilatih, model ini diuji pada Pusat Pengembalian Obat-obatan Broad Institute yang terdiri dari sekitar 6.000 senyawa.
Model mengasah pada molekul yang diprediksi memiliki sifat antibakteri yang kuat dan struktur kimia yang berbeda dari antibiotik yang ada. Model pembelajaran mesin yang terpisah menunjukkan bahwa ia mungkin juga memiliki toksisitas rendah terhadap sel manusia.
Molekul, yang mereka beri nama halicin setelah komputer “HAL” pada tahun 2001: A Space Odyssey, diuji terhadap puluhan strain bakteri dan terbukti efektif dalam memberantas banyak dari mereka termasuk Acinetobacter baumannii, Clostridium difficile dan Mycobacterium tuberculosis.
Pada tikus yang terinfeksi dengan strain A. baumannii tertentu yang resisten terhadap semua antibiotik yang dikenal, halicin sepenuhnya membersihkan infeksi dalam waktu 24 jam.
Para peneliti percaya halicin membunuh bakteri dengan mengerutkan kemampuannya untuk mempertahankan koneksi elektrokimia melintasi membran sel. Gradien ini diperlukan untuk menghasilkan ATP dan tanpa itu, sel-sel mati. Terlebih lagi, terbukti efektif melawan mutasi.
Selama 30 hari, E.coli tidak mengembangkan resistensi terhadap halicin. Sebagai perbandingan, bakteri mengembangkan resistensi terhadap antibiotik ciprofloxacin dalam satu hingga tiga hari. Pada hari ke 30, bakteri itu sekitar 200 kali lebih resisten terhadap ciprofloxacin daripada pada awalnya.
Model ini oleh para peneliti telah digunakan untuk mengidentifikasi 23 kandidat lain, dua di antaranya sangat kuat melawan bakteri.
Mereka berencana untuk melakukan pengujian tambahan pada halicin dan bekerja dengan perusahaan nirlaba atau farmasi untuk mengembangkannya untuk penggunaan manusia.
Sumber : MIT researchers use artificial intelligence to identify powerful new antibiotic. https://www.techspot.com/news/84120-mit-researchers-use-artificial-intelligence-identify-powerful-new.html
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…