farmasetika.com – Rubrik Opini. Sebuah tulisan terkait jumlah Kasus COVID-19 Indonesia Bisa Melebihi Jumlah Terkonfirmasi Saat Ini dari Septian Hartono, seorang ilmuwan MRI di National Neuroscience Institute. Duke–NUS Medical School, Nanyang Technological University, Singapura bisa dijadikan bahan renungan agar pemerintah Indonesia segera mengeluarkan dan melakukan kebijakan tepat terkait penanganan pandemi COVID-19 seperti halnya dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan, Jepang, ataupun Cina.
Dear teman-teman di Indonesia,
Mohon waktunya sejenak untuk membaca tulisan ini.
Pengumuman kasus-kasus di Singapura beberapa hari belakangan ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, yaitu terus munculnya kasus-kasus dari Indonesia, yang dimulai dari Kasus 147 pada tanggal 8 Maret, Kasus 152 & 153 pada tanggal 9 Maret, Kasus 170 pada tanggal 11 Maret, dan Kasus 181 & 182 pada tanggal 12 Maret. Selain itu, juga ada Kasus 12 di negara bagian Victoria, Australia yang diumumkan pada tanggal 8 Maret yang juga diduga kuat terinfeksi di Indonesia.
Munculnya kasus-kasus COVID-19 dari Indonesia ke luar negeri beberapa hari belakangan ini memiliki makna yang sederhana: Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang sebenarnya sekarang jauh melebihi jumlah yang sudah terkonfirmasi saat ini.
Saya ulangi lagi: Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang sebenarnya sekarang jauh melebihi jumlah yang sudah terkonfirmasi saat ini.
Ditemukannya TUJUH kasus dari Indonesia di negara-negara lain dalam waktu yang singkat ini tidak sesuai dengan kronologi dan jumlah kasus yang sudah terkonfirmasi di Indonesia, dimana kasus pertama baru terkonfirmasi pada tanggal 2 Maret dan per 12 Maret jumlahnya baru 34 kasus saja. Terlebih lagi, hanya 14 kasus di antaranya merupakan kasus penularan lokal dan belum dinyatakan terjadi penularan komunitas.
Situasi ini mengingatkan saya kepada situasi di Iran, yang pada hari ketiga setelah pengumuman kasus pertama di negara tersebut (21 Feb), langsung muncul kabar ada kasus di Kanada dan Lebanon yang terkonfirmasi positif COVID-19 dan memiliki riwayat perjalanan dari Iran. Padahal pada saat itu Iran baru melaporkan 18 kasus penularan lokal. Jumlah kasus ini tidak mendukung adanya kasus ekspor, oleh karena itu muncul dugaan kuat bahwa skala wabah di Iran sebenarnya sudah jauh lebih besar dari yang telah terkonfirmasi saat itu. Dan benar saja, per 12 Maret, wabah di Iran sampai saat ini masih belum terkendali dimana sudah ada lebih dari 10.000 kasus di Iran dengan 429 pasien meninggal dunia.
Detil-detil dari kasus ekspor ini lebih mengkhawatirkan lagi.
Kasus di Australia misalnya, berangkat dari Jakarta pada tanggal 27 Februari, bahkan sebelum pengumuman kasus pertama yang resmi di Indonesia!
Begitu pula dengan Kasus 153 Singapura, yang terpapar saat ia mengunjungi saudarinya yang dirawat di Indonesia dengan pneumonia pada tanggal 25-28 Februari, lagi-lagi sebelum pengumuman kasus pertama yang resmi di Indonesia.
Selain itu, dari rilis pers MOH Singapura, di Singapura sendiri ada 4 kelompok kasus dari Indonesia yang terpisah: Kasus 147, Kasus 152/170, Kasus 153, dan Kasus 181/182. Sementara di Indonesia sendiri baru ada 1 kluster penularan lokal, yaitu kluster besar yang berawal dari Kasus 24 Malaysia. Apa artinya? Jika keempat kelompok pasien di Singapura + 1 pasien di Australia ini juga tidak terkait dengan kluster penularan lokal yang ada di Indonesia, maka setidaknya di Indonesia sendiri sudah ada 6 kluster penularan lokal.
Sekali lagi: Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang sebenarnya sekarang jauh melebihi jumlah yang sudah terkonfirmasi saat ini. Indonesia is significantly undertesting, underdetecting and underreporting cases. Apa yang kita lihat sekarang, 34 kasus dengan 20 kasus impor dan 14 kasus lokal, hanyalah puncak dari gunung es.
Inilah mengapa jumlah kasus yang lebih besar (mis. Singapura yang sudah 187 kasus per 12 Maret) tidak mesti berarti buruk, sementara jumlah kasus yang kecil tidak mesti berarti baik. Yang lebih penting adalah kemampuan deteksi kasusnya. Kalau jumlahnya kecil namun ternyata sudah bisa mengekspor kasus ke luar berarti ada tanda tanya besar dengan deteksi di tempat tersebut. Situasi semacam ini malah membuat penilaian risikonya lebih sulit, karena tidak jelas berapa jumlah kasus yang sebenarnya. Lebih baik tinggal di tempat dengan jumlah kasus yang lebih besar namun tingkat deteksinya tinggi daripada di tempat dengan jumlah kasus yang lebih kecil namun tingkat deteksinya kecil.
Karena itu, terutama bagi teman-teman di Jakarta dan sekitarnya (berhubung sebagian besar kasus yang terkonfirmasi dan kasus ekspor ke negara lain berasal dari sini), sampai kita tahu dengan lebih pasti seberapa besar skala penyebaran wabah ini yang sesungguhnya di Indonesia, tolong lebih berjaga-jaga.
Memang, jika kita yang berusia 0-40an terjangkit penyakit ini kemungkinan besar akan sembuh, namun kita mesti ingat bahwa jika kita terpapar, kita berpotensi menularkan ke orang tua kita atau orang lanjut usia lainnya atau orang lain dengan penyakit penyerta yang akan lebih rawan memiliki gejala yang serius jika terjangkit penyakit ini.
Statistik di berbagai negara semuanya konsisten: penyakit ini berbahaya bagi orang dengan usia lanjut, terutama jika mereka memiliki penyakit penyerta lainnya (e.g., jantung, diabetes, darah tinggi, penyakit pernapasan lain). Di Italia, misalnya, sekarang sudah ada 1.014 orang yang meninggal dunia dari total 15.113 kasus per 12 Maret, dan hampir semua korban jiwanya berusia 60 tahun ke atas.
Karena itu, untuk perspektif yang lebih tepat, jangan bayangkan apa yang terjadi jika kita terkena penyakit ini. Bayangkan apa yang terjadi jika orang tua kita terkena penyakit ini.
Tetap tenang dan waspada. Jaga kesehatan dan kebersihan pribadi kita masing-masing. Sering-sering cuci tangan menggunakan sabun. Jangan bepergian kalau tidak perlu. Akhir pekan ini diam di rumah saja. Bagi teman-teman yang Kristiani di Jakarta, bisa mempertimbangkan untuk tidak pergi ke gereja hari Minggu ini. Dengan diam di rumah saja akhir pekan ini, Anda sudah akan memperlambat penyebaran wabah ini secara signifikan.
Jika Anda menunjukkan gejala-gejala penyakit COVID-19 (demam 38 derajat, batuk kering, atau sesak napas), mohon jangan pergi ke acara dengan orang banyak. Ikutilah protokol di daerah Anda masing-masing. Misalnya, jika Anda di Jakarta, hubungi hotline 112 jika Anda memiliki gejala-gejala tersebut. Ingatlah, setiap diri kita berperan penting dalam pengendalian wabah ini.
Singapura, 13 Maret 2020
Jumlah kasus: 187 (per 12 Maret)
Sembuh: 96
Aktif: 91 (kritis: 9)
Ditulis oleh Septian Hartono (Assistant Professor at Duke-NUS Medical School;
Medical Physicist at National Neuroscience Institute)
Tulisan tersebut beredar luas di media sosial.
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…