Majalah Farmasetika – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerima laporan data uji klinik fase 3 dari 5 obat kombinasi untuk terapi COVID-19 Universitas Airlangga (Unair) yang diserahkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa kepada Kepala Badan POM (19/8/2020).
Menurut rilis resmi BPOM, persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) untuk 5 kombinasi obat UNAIR diberikan BPOM pada tanggal 3 Juli 2020 setelah mendapatkan lolos kaji etik dari Komisi Etik Rumah Sakit (RS) UNAIR. Dengan diberikan PPUK ini, peneliti dapat memulai kegiatan uji klinik.
Kepala BPOM, Penny K. Lukito menjelaskan bahwa BPOM melakukan inspeksi Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) untuk memastikan bahwa pelaksanaan uji klinik sesuai dengan protokol yang disetujui dan prinsip-prinsip CUKB dipenuhi oleh peneliti dan sponsor untuk memastikan validitas data yang diperoleh.
“Untuk penelitian ini diperlukan data yang menunjukkan apakah uji klinik telah sesuai dengan tujuan dan mampu membuktikan bahwa obat uji berupa kombinasi obat lebih baik dibandingkan obat standar (standard of care) dalam menyembuhkan pasien COVID-19 dengan derajat ringan, sedang dan berat,” ujar Kepala BPOM.
Hasil uji klinik yang diberikan KSAD TNI AD tersebut akan dilakukan evaluasi untuk dapat menyimpulkan apakah uji klinik tersebut valid atau tidak, dan mengetahui apakah obat kombinasi tersebut lebih baik daripada obat standar yang digunakan.
“Hasil inspeksi BPOM pada senter penelitian di wilayah Bandung yang dilakukan pada tanggal 27-28 Juli 2020 menunjukkan perlunya beberapa klarifikasi data yang kritikal, yaitu data laboratorium yang dapat membuktikan bahwa efektivitas kombinasi obat yang sedang diuji lebih baik daripada obat standar, serta efektivitas pada subyek dengan derajat penyakit sedang dan berat, karena semua kasus di SECAPA merupakan pasien dengan gejala ringan dan bahkan pasien tanpa gejala yang seharusnya tidak perlu diberikan obat tersebut.” tulis sebuah pernyataan di situs resmi BPOM (19/8/2020).
BPOM juga akan menilai perbaikan dan klarifikasi yang diberikan oleh peneliti dan/ atau sponsor. Jika perbaikan dan klarifikasi tersebut tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik.
Kepala BPOM, Penny K Lukito, menekankan perlunya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan dari hasil uji klinik ini, mengingat penggunaan obat kombinasi baru yang tidak tepat akan mengakibatkan risiko efek samping, resistensi, dan biaya yang tidak perlu.
“Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam memproduksi obat adalah bahwa obat kombinasi tersebut harus dapat diformulasi dengan baik dan tidak menimbulkan inkompatibilitas baik secara kimia maupun fisik. Industri Farmasi yang akan memproduksi harus telah memiliki sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB),” tutur Kepala BPOM.
“Semua keputusan dilakukan berdasarkan bukti ilmiah yang kuat dan dilakukan oleh tim KOMNAS Penilai Obat. BPOM akan memberikan Persetujuan Penggunaan pada masa darurat jika hasil evaluasi data uji klinik tersebut dinyatakan valid dan sesuai serta telah memenuhi aspek mutu dalam proses pembuatannya,” tegas Penny K. Lukito.
Sumber : Dukungan Badan POM Untuk Penelitian dan Pengembangan Obat COVID-19 https://pom.go.id/new/view/more/pers/559/Dukungan-Badan-POM-Untuk-Penelitian-dan-Pengembangan-Obat-COVID-19.html
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…
Majalah Farmasetika - Produk farmasi, seperti obat-obatan, memerlukan stabilitas tinggi untuk menjaga efektivitas dan kualitasnya…
Majalah Farmasetika - Dalam dunia perdagangan obat, surat pesanan memiliki peran yang sangat penting. Di…
Majalah Farmasetika - Di fasilitas distribusi farmasi, memastikan obat-obatan dan alat kesehatan tetap berkualitas sepanjang…
Majalah Farmasetika - Studi kohort yang baru-baru ini diterbitkan dalam Annals of Medicine Journal menetapkan…
Jakarta - BPOM resmi mengumumkan penarikan produk pangan olahan impor latiao asal Tiongkok penyebab keracunan.…