Majalah Farmasetika – Guru Besar bidang Farmakologi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Prof. Zullies Ikawati, meluruskan pemberitaan terkait efek pembekuan darah dari Vaksin COVID-19 AstraZeneca melalui akun facebook pribadinya.
“Adanya kematian 3 orang pasca vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca memang menyisakan rasa takut pada sebagian masyarakat. Tapi sebenarnya sudah dijelaskan oleh Prof Hindra, Ketua Komnas KIPI, bahwa 2 dari 3 orang yang meninggal itu bisa dipastikan tidak berhubungan dengan vaksin, karena yang satu adalah terinfeksi COVID dan yg satu mengalami radang paru. Sedangkan yang satu (alm. Trio) memang masih perlu diinvestigasi mendalam mengenai kausalitasnya dengan vaksin AstraZeneca, dan bahkan akan diotopsi pada hari Senin tgl 24 Mei mendatang.” tulis Prof. Zullies kemarin (20/5/2021).
Beliau melanjutkan bahwa banyak pertanyaan yang datang terkait dengan keamanan vaksin AstraZeneca, salah satunya adalah terkait dengan berita-berita bahwa vaksin ini dapat menyebabkan pembekuan darah, yang bisa berakibat fatal yaitu kematian.
Jawabannya adalah: dari hasil evaluasi European Medicines Agency (EMA), sejauh ini memang dijumpai ada hubungan kuat antara kejadian pembekuan darah dengan penggunaan vaksin AstraZeneca, tetapi kejadiannya sangat jarang. Sampai tanggal 5 Mei 2021, di Eropa telah ada laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin ini sebanyak 262 kasus, dengan 51 diantaranya meninggal, dari penggunaan sebanyak 30 juta dosis vaksin. Jika dihitung, maka prosentase kejadiannya sangat kecil sekali. Itulah makanya EMA, semacam BPOMnya Eropa, masih menilai bahwa kalaupun memang vaksin ini dapat menyebabkan reaksi pembekuan darah, manfaatnya masih lebih besar daripada risikonya, sehingga vaksin ini tetap boleh diberikan.
Mekanisme pastinya masih dipelajari, tetapi seorang peneliti Jerman, Greinacher, menduga bahwa reaksi pembekuan darah yg jarang ini berkaitan dengan platform vaksinnya, yaitu viral vector dengan adenovirus. Memang belum bisa dipastikan, tetapi penelitian sebelumnya menggunakan platform adenovirus ternyata menghasilkan reaksi yang sama, yaitu aktivasi platelet yang menyebabkan pembekuan darah. Dan reaksi yang sama ternyata juga dijumpai pada penggunaan vaksin Johnson and Johnson yang menggunakan platform yang sama, yaitu adenovirus. Penggunaan vaksin Johnson & Johnson sempat dihentikan di Amerika dan setelah dievaluasi bisa digunakan kembali.
Diduga ada reaksi imun yang berlebihan terhadap vaksin yg berasal dari adenovirus, ketika vaksin tersebut berikatan dengan platelet, kemudian memicu serangkaian reaksi imun yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Reaksi ini sebenarnya bisa membaik sendiri, tetapi ada yang bisa berakibat fatal. Reaksi semacam ini mirip dengan reaksi yang dijumpai pada pasien yang sensitive terhadap heparin, suatu obat pengencer darah. Alih-alih mengencerkan darah, malah yang terjadi darahnya membeku.
Reaksi ini disebut heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis (HITT or HIT type 2). Mungkin analoginya adalah reaksi syok anafilaksis akibat pemberian antibiotik golongan penisilin, yang jarang terjadi, dan tidak selalu bisa diprediksi.
embekuan darah yang terjadi akibat vaksin AstraZeneca kebanyakan dijumpai pada pembuluh darah di daerah kepala, yang disebut cerebral venous sinus thrombosis (CVST). Gejala-gejalanya adalah : Sakit kepala yang hebat, kadang disertai dengan gangguan penglihatan, mual, muntah, gangguan berbicara. Bisa juga dijumpai nyeri dada, sesak nafas, pembengkakan pada kaki atau nyeri perut. Kadang dijumpai lebam di bawah kulit. Jika terdapat gejala-gejala demikian, segera saja mencari bantuan medis. Di Eropa, reaksinya umumnya terjadi 3- 14 hari setelah vaksinasi. Gejala-gejala semacam sakit kepala yang hebat dan tidak tertahankan juga sempat dialami oleh almarhum Trio, yang mungkin memang mengalami pembekuan darah. Namun demikian hal ini masih perlu dipastikan, karena kejadiannya sangat cepat. Yang perlu dipahami adalah bahwa dari sekian ribu yang menerima vaksin AstraZeneca di Indonesia, hanya 1 orang yang dilaporkan meninggal dengan dugaan tersebut, yang menunjukkan bahwa hal tersebut lebih dipengaruhi oleh reaksi individual subyek dibandingkan dengan kualitas vaksinnya.
Tindakan men-suspend vaksin dengan nomer batch CTMA457 merupakan upaya untuk menginvestigasi dan memberikan jawaban yang transparan terhadap kasus ini. Pertanyaan mbak Rosi cukup menarik yaitu mengapa yang di-suspend sementara hanya batch tersebut dan tidak semuanya? Ya, sebenarnya itu memang prosedur jika terjadi KIPI yang fatal untuk menginvestigasi kemungkinan ada faktor dari vaksinnya terhadap kasus kematian tersebut. Mungkin bisa dianalogikan dengan ketika terjadi kecelakaan pesawat, tentu yang diinvestigasi adalah pesawat yang mengalami kecelakaan, dan tidak harus menghentikan semua penerbangan sementara banyak yang membutuhkan.. Jika ternyata vaksinnya tidak ada masalah, maka kemungkinan besar adalah karena faktor respon subyek secara individual terhadap vaksin.
Yang menarik dari kasus pembekuan darah yang terjadi pada penggunaan vaksin ini di Eropa, sebagian besar terjadi pada usia muda (di bawah 40 tahun), bahkan di bawah 30 tahunan, dan kebanyakan adalah wanita. Karena itu, di Inggris, badan otoritas setempat merekomendasikan bagi mereka yang berusia di bawah 40 tahun untuk menggunakan vaksin selain AstraZeneca. Namun demikian, jika sudah menggunakan vaksin AstraZeneca pada suntikan pertama dan tidak mengalami masalah apapun, disarankan untuk meneruskan suntikan kedua dengan vaksin Astra Zeneca lagi.
Sebenarnya belum ada bukti bahwa orang-orang dengan Riwayat pembekuan darah (deep vein thrombosis, stroke, jantung iskemi) berisiko mengalami pembekuan darah akibat vaksin. Yang lebih berisiko justru mereka yang pernah mengalami heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis (HITT or HIT type 2), namun kejadian ini pun sangat jarang. Namun demikian, untuk kehati-hatian, ada baiknya mereka yang punya riwayat pembekuan darah tidak menggunakan vaksin jenis ini.
Masyarakat tidak perlu kuatir dengan vaksin AstraZeneca. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) secara umum bersifat ringan sampai sedang dan bersifat individual, dan adanya KIPI juga menunjukkan bahwa vaksinnya sedang bekerja. Namun jika ada KIPI yang dirasa berat, segera saja dilaporkan kepada kontak yang sudah diberikan untuk bisa segera mendapatkan penanganan. Pastikan Anda dalam keadaan sehat ketika akan vaksinasi. Dan selalu memohon kepada Sang Pencipta untuk diberikan hasil yang terbaik.
Sumber
Facebook Zullies Ikawati https://www.facebook.com/zullies.ikawati/posts/10225978127022456
https://www.webmd.com/vaccines/covid-19-vaccine/news/20210422/scientists-find-how-astrazeneca-vaccine-causes-clots?fbclid=IwAR2DJu9CsyWeGwyiu959MuHQ5AxUxyUENWCsRnazys1WTbRxcAqcoLMUSkI
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…