Majalah Farmasetika – Pruritus (gatal) merupakan sensasi yang tidak nyaman dan menyebabkan keinginan untuk menggaruk. Pruritus adalah komorbiditas yang umum ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, gagal ginjal kronis, dan pasien yang menjalani dialisis (Agarwal et al., 2021). Prevalensi pruritus pada gagal ginjal kronis dan pada pasien yang menjalani dialisis bervariasi di seluruh dunia antara 10% dan 70% (Pisoni et al. 2006).
Patofisiologi dari pruritus dapat disebabkan oleh mediasi mediator seperti histamin, 5-hidroksi tryptamine, protease, peptida opioid, peptida, dan eicosanoids (Tey & Yosipovitch, 2011). Selain itu pruritus dapat pula terjadi melalui jalur pensinyalan yang bergantung pada histamin (histaminergik) dan jalur pensinyalan histamin-independen (nonhistaminergik) (Lamotte et al., 2014).
Lokasi pruritus dapat tejadi di area kulit kepala, lengan atau kaki, atau seluruh tubuh. Gejala yang timbul dari pruritus diantaranya yaitu (Mayoclinic, 2021) :
Terkadang rasa gatal berlangsung lama dan dapat secara intens. Ketika menggosok atau menggaruk area tersebut, maka akan terasa lebih gatal (Mayoclinic, 2021).
Pengobatan pruritus terkait gagal ginjal kronis dapat menggunakan regimen terapi topikal, sistemik, dan pilihan lain berupa tindakan Regimen terapi yang digunakan adalah sebagai berikut (KDIGO, 2019) :
Topikal | Sistemik | Tindakan |
Mast Cell Stabilizers | Gabapentin | Akupuntur |
Emollients | Pregabalin | Fototerapi |
Tacrolimus | Mast Cell Stabilizers | Modifikasi Dialisis |
Capsaicin | Montelukast | |
Sarna | Nalfurafine | |
Naltrexone | ||
Primrose Oil | ||
Thalidomide | ||
Cholestyramine | ||
Ondansentron |
Berdasarkan penelitian sebelumnya, telah ditemukan peran antagonis reseptor histamin yang terbatas atau tidak ada dalam mengurangi pruritus terkait gagal ginjal kronis (Shirazian et al, 2017). Pemberian topikal neuromodulator seperti capsaicin memberikan sensasi terbakar yang sementara dan eritema lokal dengan aplikasi awal. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut dan dapat mengambil manfaat dari aplikasi anestesi topikal secara simultan selama beberapa hari pertama penggunaan untuk meningkatkan kepatuhan secara keseluruhan (Elmariah dan Lerner, 2011).
Para peneliti terus mengembangkan pengobatan pruritus terkait gagal ginjal kronis. Teori ketidakseimbangan opioid pada pruritus uremik mengusulkan bahwa pruritus terkait gagal ginjal kronis disebabkan oleh stimulasi berlebihan reseptor mu-opioid sentral atau antagonisme reseptor kappa-opioid. Ketidakseimbangan antara stimulasi dan antagonisme sistem reseptor ini juga dapat menyebabkan gatal. Dengan demikian, antagonis reseptor mu-opioid sentral dan agonis reseptor kappa-opioid telah dipelajari untuk mengobati pruritus terkait gagal ginjal kronis (Shirazian et al, 2017).
Pada tanggal 23 Agustus 2021, Food and Drug Administration (FDA) telah memberikan persetujuan terhadap obat baru yaitu injeksi KORSUVA™ (difelikefalin). Obat ini diindikasikan untuk pasien hemodialisis dewasa yang menderita pruritus sedang hingga berat.
Keterbaruan Injeksi KORSUVA™ adalah agonis reseptor opioid kappa (KOR) pertama di kelasnya yang menargetkan sistem saraf perifer tubuh. Aplikasi obat baru injeksi KORSUVA™ menawarkan peningkatan yang signifikan terkait keamanan atau efektivitas pengobatan, diagnosis, atau pencegahan kondisi serius bila dibandingkan dengan aplikasi standar. Injeksi KORSUVA™ memiliki selektivitas tinggi untuk reseptor kappa, tidak ada afinitas untuk reseptor non-opioid, paparan Sistem Saraf Pusat (SSP) terbatas melintasi sawar darah-otak, berperan sebagai analgesik, anti-inflamasi, anti-gatal, dan memiliki potensi penyalahgunaan yang rendah.
Injeksi KORSUVA™ telah menerima persetujuan FDA sebagai pilihan pengobatan pertama yang disetujui untuk pruritus sedang hingga berat pada pasien gagal ginjal kronis dewasa yang menjalani hemodialisis.
Injeksi KORSUVA™ diberikan melalui injeksi bolus intravena ke dalam jalur vena dari jalur dialisis pada akhir setiap perawatan hemodialisis. Injeksi KORSUVA™ diberikan sebagai vial dosis tunggal yang mengandung 65mcg/1.3mL difelikefalin sebagai larutan steril bebas pengawet untuk injeksi intravena.
Jangan mencampur atau mengencerkan Injeksi KORSUVA™ sebelum pemberian. Periksa untuk perubahan warna dan partikel sebelum pemberian, larutannya harus jernih dan tidak berwarna. Volume injeksi yang diberikan ditentukan oleh target berat badan kering pasien dalam kilogram (satu pasien dapat menggunakan kurang dari isi penuh botol atau menggunakan lebih dari satu botol) seperti tertera pada tabel dibawah ini (Drugs.com, 2021).
Tabel 1. Korsuva Injection Volumes Based on Target Dry Body Weight | |
Target Dry Body Weight Range (kg) | Injection Volume (mL)* |
36 – 44 | 0.4 |
45 ‒ 54 | 0.5 |
55 – 64 | 0.6 |
65 – 74 | 0.7 |
75 – 84 | 0.8 |
85 – 94 | 0.9 |
95 – 104 | 1.0 |
105 – 114 | 1.1 |
115 – 124 | 1.2 |
125 – 134 | 1.3 |
135 – 144 | 1.4 |
145 – 154 | 1.5 |
155 – 164 | 1.6 |
165 – 174 | 1.7 |
175 – 184 | 1.8 |
185 – 194 | 1.9 |
195 – 204 | 2 |
*Total Injection Volume (mL) = Patient Target Dry Body Weight (kg) x 0.01, rounded to the nearest tenth (0.1 mL). For patient target dry body weight outside of the ranges in table use this formula.
Farmakokinetik difelikefalin adalah dosis proporsional pada rentang dosis tunggal dari 1 sampai 3 mcg/kg (2 sampai 6 kali dosis yang dianjurkan) dan beberapa dosis intravena berkisar 0,5-2,5 mcg/kg (1 sampai 5 kali dosis yang dianjurkan) di pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.
Steady-state tercapai setelah pemberian dosis kedua dan rasio akumulasi rata-rata mencapai 1,6. Volume rata-rata distribusi difelikefalin adalah sekitar 238 mL/kg. Pengikatan difelikefalin dengan protein plasma manusia pada pasien dialisis adalah 23% sampai 28%.
Waktu paruh difelikefalin pada subjek hemodialisis sebelum dialisis berkisar antara 23 dan 31 jam. Setelah pemberian difelikefalin berlabel radio, >99% dari radioaktivitas yang beredar terdapat dalam plasma sebagai induk. Hemodialisis mengurangi konsentrasi plasma difelikefalin sebesar 70% sampai 80% dan difelikefalin tidak terdeteksi dalam plasma setelah 2 siklus dialisis.
Difelikefalin tidak dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 (CYP) CYP1A2, CYP2C19, CYP2C8, CYP2C9, CYP2D6 atau CYP3A yang diamati pada mikrosom hati manusia atau hepatosit, in vitro. Setelah pemberian difelikefalin pada pasien hemodialysis, 11% dari dosis diekskresikan dalam urin, 59% dalam tinja, dan 20% dalam cairan dialisat (FDA, 2021).
Efek samping yang paling umum (insiden ≥ 2% dan ≥ 1% lebih tinggi dari plasebo) adalah diare (9,0%), pusing (6,8%), mual (6,6%), gangguan gaya berjalan, termasuk jatuh (6,6%), hiperkalemia (4,7%), sakit kepala (4,5%), somnolen (4,2%), dan perubahan status mental (3,3%) (Drugs.com, 2021). Obat depresan kerja sentral, antihistamin penenang, dan analgesik opioid harus digunakan dengan hati-hati selama pengobatan dengan KORSUVA™.
Risiko mengemudi dan mengoperasikan mesin : dapat merusak kemampuan mental atau fisik. Anjurkan pasien untuk tidak mengemudi atau mengoperasikan mesin berbahaya sampai efek KORSUVA™ pada kemampuan pasien untuk mengemudi atau mengoperasikan mesin diketahui (FDA, 2021).
Secara klinis, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam farmakokinetik difelikefalin yang diamati berdasarkan usia (25 hingga 80 tahun), jenis kelamin, ras/etnis, atau gangguan hati ringan hingga sedang. Adapun analisis Korsuva pada subjek penelitian lainnya sebagai berikut:
Studi pada hewan uji menunjukkan tidak terdapat efek samping pada tikus atau kelinci
Tidak ada data mengenai keberadaan KORSUVA™ dalam ASI atau efeknya pada bayi yang disusui atau pada produksi ASI
Keamanan dan efektivitas KORSUVA™ pada pasien anak belum ditetapkan
Tidak ada perbedaan dalam konsentrasi plasma Korsuva yang diamati antara subjek berusia 65 tahun dan subjek dewasa yang lebih tua dan lebih muda. Namun kejadian somnolen lebih tinggi pada subjek yang diobati Korsuva berusia 65 tahun dan lebih tua (7,0%) daripada pada subjek yang diobati Korsuva kurang dari 65 tahun (2,8%). Insiden ini sebanding pada kedua kelompok usia plasebo (masing-masing 3,0% dan 2,1%) (Drugs.com, 2021).
Sumber :
Agarwal, P.; Garg, V.; Karagaiah, P.; Szepietowski, J.C.; Grabbe, S.; Goldust, M. 2021. Chronic Kidney Disease-Associated Pruritus. Toxins. 13, 527.
Drugs.com. 2021. Korsuva. Tersedia secara online di https://www.drugs.com/pro/korsuva.html [Diakses pada 6 Oktober 2021].
Drugs.com. 2021. FDA Approves Korsuva. Tersedia secara online di https://www.drugs.com/newdrugs/fda-approves-korsuva-difelikefalin-moderate-severe-pruritus-hemodialysis-patients-5639.html [Diakses pada 6 Oktober 2021].
Elmariah, S. B. & Lerner, E. A. 2011. Topical Therapies for Pruritus. Semin Cutan Med Surg. 30(2): 118–126.
FDA. 2021. Novel Drug Approvals for 2021: Korsuva. Tersedia secara daring di https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2021/214916s000lbl.pdf [Diakses pada 6 Oktober 2021].
KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes). 2019. CKD-Associated Pruritus. Tersedia online di: https://kdigo.org/wp-content/uploads/2019/09/1.-Combs-CKD_Itch_KDIGO2019.pdf [Diakses pada 14 Oktober 2021]
Lamotte R. H., Dong X., Ringkamp M. 2014. Sensory neurons and circuits mediating itch. Nature Reviews Neuroscience. 15(1):19–31
Mayoclinic. 2021. Itchy Skin (pruritus). Tersedia Secara Online di https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/itchy-skin/symptoms-causes/syc-20355006 [Diakses pada 15 Oktober 2021]
Pisoni R. L, Wikstrom B, Elder S. J, Akizawa T, Asano Y, Keen M. L, Saran R, Mendelssohn D. C, Young E. W, Port F. K. 2006. Pruritus in haemodialysis patients: International results from the Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS). Nephrol. Dial. Transplant. 2006;21:3495–3505.
Shirazian, S.; Aina, O.; Park, Y.; Chowdhury, N.; Leger, K.; Hou, L.; Miyawaki, N.; Mathur, V.S. 2017. Chronic kidney disease-associated pruritus: Impact on quality of life and current management challenges. Int. J. Nephrol. Renov. Dis. 10, 11–26
Tey H. L., Yosipovitch G. 2011. Targeted treatment of pruritus: A look into the future. British Journal of Dermatology. 165(1):5–17.
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…