Majalah Farmasetika – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengidentifikasi adanya 6 celah atau gap dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir yang dimanfaatkan oleh beberapa pihak sehingga kejahatan tidak tercegah pada saat masuknya pasokan bahan baku atau eksipien pada rantai produksi.
Hal ini disampaikan Kepala BPOM, Penny K Lukito, dalam press rilis BPOM di Jakarta (17/11/2022). Dalam pengawasan obat di peredaran, BPOM telah mengidentifikasi adanya gap dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir.
Keenam celah itu adalah :
“Terkait komoditi non-lartas, BPOM telah berkoordinasi dengan lembaga terkait, sehingga kedepan BPOM terlibat dalam pengawasan ini” terang Kepala BPOM.
“Dalam rangka penanganan kasus Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) Gagal Ginjal Akut Pada Anak (GGAPA) dan pencegahan agar kasus ini tidak terjadi lagi, BPOM telah melakukan komunikasi dengan World Health Organization (WHO) melalui WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) dalam bentuk Medical Product Alert terkait penanganan kasus KTD GGAPA. Selain itu, BPOM juga menjalin komunikasi terkait standar uji cemaran EG/DEG pada produk jadi dan metode pengujian dengan United States FDA, Thailand FDA, Saudi Arabia FDA, dan National Medical Products Administration (NMPA) Malaysia.” Lanjut Penny K Lukito.
Kepala BPOM kemudian menjelaskan bahwa saat ini, tingkat maturitas Industri Farmasi masih perlu ditingkatkan, utamanya pada 24% Industri Farmasi yang tingkat maturitasnya minimal. Untuk itu, BPOM akan melakukan prioritas pembinaan pada Industri Farmasi tersebut. Selanjutnya, untuk dapat menggambarkan maturitas Industri Farmasi yang lebih komprehensif, maka penilaian maturitas Industri Farmasi, selain penerapan CPOB juga akan mencakup kriteria rekam jejak industri, penerapan farmakovigilans, Good Registration Management (Manajemen Registrasi yang Baik), dan Good Clinical Practice (Cara Uji Klinik yang Baik).
“Terkait perkembangan penindakan yang dilakukan BPOM, telah teridentifikasi beberapa pihak yang memanfaatkan gap (celah) dalam sistem jaminan keamanan dan mutu dari hulu ke hilir, serta kelalaian pihak industri dalam menjalankan tanggung jawab pengawasan dan penjaminan mutu produk, sehingga kejahatan tidak tercegah pada saat masuknya pasokan bahan baku atau eksipien pada rantai produksi.” lanjut Kepala BPOM.
Kepala BPOM menambahkan untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat, BPOM telah menindak 5 (lima) IF yang melakukan tindak pidana memproduksi sirup obat mengandung cemaran EG/DEG di atas ambang batas dan 1 (satu) distributor bahan kimia yang melakukan pemalsuan/pengoplosan propilen glikol (PG). Kelima IF dan distributor tersebut adalah PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Farma, PT Samco Farma, PT Ciubros Farma, dan CV Samudra Chemical.
Majalah Farmasetika - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia resmi mengesahkan Susunan Organisasi Kolegium Farmasi periode 2024-2028 melalui Keputusan…
Majalah Farmasetika - Yogyakarta, 5 Desember 2024 – Upaya untuk memperkokoh eksistensi dan profesionalisme tenaga…
Majalah Farmasetika - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi III, Muhammad Rofiqi, menyampaikan klarifikasi…
Majalah Farmasetika - Metformin, salah satu obat diabetes paling populer di dunia, telah lama dikenal…
Majalah Farmasetika - Anggota Komisi III DPR RI Dapil 1 Kalimantan Selatan, dan juga Ketua…
Majalah Farmasetika - Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan yang memiliki izin untuk menyediakan, menyimpan,…