Farmasetika.com – Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah gangguan dimana pasien mengalami bronchitis kronik, emfisema atau keduanya. Penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat nonreversible.
Apa itu PPOK
Bronkitis kronis didefinisikan secara klinis sebagai adanya batuk kronis selama 3 bulan selama masing-masing 2 tahun berturut-turut. Emfisema didefinisikan secara patologis sebagai pembesaran permanen dan tidak normal pada ruang udara di bagian distal bronkiolus terminal, disertai dengan penghancuran dinding alveoli (Mosenifar, et al., 2018).
The Global Burden of Disease Study melaporkan prevalensi 251 juta kasus PPOK secara global pada tahun 2016. Secara global, diperkirakan bahwa 3,17 juta kematian disebabkan oleh penyakit pada tahun 2015 (yaitu, 5% dari semua kematian secara global pada tahun itu). Lebih dari 90% kematian PPOK terjadi di negara-negara yang rendah dan menengah ke bawah. Penyebab utama PPOK adalah paparan asap tembakau (baik aktif merokok atau perokok pasif). Faktor-faktor risiko lainnya termasuk paparan polusi udara dalam ruangan dan luar ruangan serta debu dan asap kerja (WHO, 2017).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyebab kematian ketiga di Amerika, mempengaruhi sekitar 16 juta orang Amerika yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya balik dan bersifat progresif. PPOK terjadi pada saluran napas besar, bronkiolus kecil, dan parenkim paru. Sebagian besar kasus PPOK adalah hasil paparan rangsangan berbahaya, paling sering dari asap rokok. Obat oral dan inhalasi digunakan untuk pengobatan PPOK, dimana bisa mnegurangi dispnea (kondisi sesak) dan mencegah komplikasi. Sebagian besar obat yang digunakan dalam pengobatan PPOK diarahkan pada mekanisme keterbatasan aliran udara.
Golongan obat untuk PPOK yang digunakan di Indonesia
-
Golongan Metyl Xanthine
Teofilin adalah derivat Xantin memiliki mekanisme kerja berupa relaksasi otot pada bronkus, terutama jika bronkus mengalami kontriksi (penyempitan). Teofilin yang digunakan untuk PPOK memiliki tujuan yang sama dengan pengobatan asma (Gunawan & Setiabudy, 2011). Berikut ini obat dari golongan Methyl Xanthine yang digunakan di Indonesia :
2. Teophylline/Teofilin
Teofilin yang beredar yaitu berbentuk sediaan Kapsul 130 mg : Bufabron, Bronchophylin dan Theobron; sediaan Tablet 150 mg : Bronsolvan; sediaan Tablet Retard 250 mg : Euphyllin Retard; Tablet Retard mite 125 mg : Euphyllin Retard Mite. Teophyllin juga ada yang tersedia dalam kombinasi tetap dengan ephedrine untuk asma bronkial, contoh merek dagang : Grafasma (Teophylline 130 mg dan Ephedrine HCl 10 mg).
3. Aminophylline/Aminofilin
Aminofilin adalah bentuk injeksi yang digunakan dari teofilin. Aminofilin terdiri dari campuran antara teofilin dengan etilendiamin, yang sifatnya 20 kali lebih larut dibanding teofilin sendiri. Aminofilin harus diberikan injeksi secara IV (Intravena) paling cepat 20 menit dan tidak diberikan secara IM (Intramuskular) karena sifatnya sangat iritatif. Sediaan injeksi berbentuk Ampul 24 mg/ml (1 Ampul = 10 ml) (BPOM, 2017).
4. Anti Muskarinik
Antimuskarinik memiliki mekanisme kerja yaitu memblokade efek bronkokontriksi dari asetilkolin (Acth) pada reseptor muskarinik M3 yang terdapat pada otot polos saluran napas (BPOM, 2017).
Berikut ini antimuskarinik yang digunakan untuk PPOK di Indonesia diantaranya :
Ipratropium Bromida
Inhalasi dari ipratropium aerosol dapat digunakan untuk terapi jangka pendek pada PPOK ringan. Inhalasi ipratropium aerosol memberikan efek puncak 30 – 60 menit sesudah pemberian; lama kerjanya 3 – 6 jam dan efek bronkodilatasi dapat bertahan dengan pemberian dosis 3 x/hari. Bentuk sediaan dari Ipratropium Bromida diantaranya Inhaler 20 mcg/semprot : Atrovent; Larutan inhalasi 0,025 % (0,25 mg/ml) : Atrovent; Kombinasi Ipratropium Bromida 0,5 mg dan salbutamol sulphate 2,5 mg (dalam 1 ampul 2,5 ml) : Combivent, Farbivent.
Tiotropium Bromida
Tiotropium Bromida adalah bronkodilator antimuskarinik kerja panjang, efektif untuk pengobatan PPOK dan kurang cocok untuk mengatasi bronkospasme akut. Bentuk sediaan yang beredar diantaranya Kapsul untuk inhalasi 18 mcg/kapsul : Spiriva; Inhaler 2,5 mcg/puff : Spiriva Respimat (BPOM, 2017).
5. Golongan Beta 2 Agonis Kerja Panjang
Golongan agonis adrenoreseptor beta – 2 yang digunakan untuk PPOK di Indonesia yaitu Formoterol Fumarat dan Salmeterol. Formoterol dan Salmeterol ditambahkan sebagai terapi kortikosteroid inhalasi reguler serta berperan dalam mengontrol asma kronik jangka panjang dan asma nokturnal (BPOM, 2017).
Berikut penjelasan mengenai formoterol dan salmeterol :
Formoterol
Formoterol digunakan untuk terapi jangka pendek untuk menghilangkan gejala dan untuk mencegah spasme bronkus akibat kerja fisik dengan mula kerja yang sama cepatnya dengan salbutamol. Formoterol yang beredar di Indonesia tidak bersifat tunggal, namun kombinasi dengan kortikosteroid, salah satu mere dagang kombinasi antara Formoterol dan Budesonide yang dikenal dengan Symbicort. Ada 2 jensi merek Symbicort :
- Symbicort 80/4,5 mcg turbuhaler mengandung : Budesonide 80 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg.
- Symbucort 160/4,5 mcg turbuhaler mengandung : Budesonide 160 mcg dan formoterol fumarate 4,5 mcg.
Salmaterol
Salmaterol tidak boleh digunakan untuk mengatasi serangan akut, karena mula kerjanya lebih lambat dibanding salbutamol dan terbutalin. Sedian salmeterol yang beredar di Indonesia tidak bersifat tunggal, namun merupakan kombinasi dengan kortikosteroid. Ada 5 jenis merek dagang dari kombinasi salmeterol yaitu :
- Inhaler Seretide 50 : Salmeterol 25 mcg + Fluticasone 50 mcg
- Inhaler Seretide 125 : Salmeterol 25 mcg + Fluticasone 125 mcg
- Diskus Seretide 100 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 100 mcg
- Diskus Seretide 250 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 250 mcg
- Diskus Seretide 500 : Salmeterol 50 mcg + Fluticasone 500 mcg (BPOM, 2017)
Persetujuan Revefenacin
PPOK merupakan penyakit penyebab kematian ketiga di AS (American Lung Association , 2016). Hampir 15,7 juta orang Amerika (6,4%) pernah didiagnosis menderita PPOK. Biaya pengelolaan PPOK di AS diperkirakan hampir mencapai $50 miliar pada tahun 2010, termasuk $29,5 miliar untuk pengeluaran perawatan kesehatan langsung, $8 miliar dalam biaya morbiditas tidak langsung dan $12,4 miliar untuk biaya kematian tidak langsung (Center for Disease Control, 2018).
Pada tanggal 9 November 2018 FDA menyetujui revefenacin sebagai obat baru untuk perawatan dan pemeliharaan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Revefenacin dengan merek dagang YUPELRITM merupakan obat baru yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi Theravance Biopharma dan Mylan yang memiliki mekanisme kerja sebagai antagonis muskarinik long-acting (LAMA) dan merupakan bronkodilator nebulisasi pertama dengan dosis satu kali sehari yang telah disetujui untuk pengobatan PPOK di AS. Kelebihan dari YUPELRITM adalah dapat meningkatkan fungsi paru selama 24 jam dengan konsisten dengan penggunaan sehari sekali dengan dosis 175 mcg/3mL yang diaplikasikan menggunakan nebulizer. “Selama ini belum tersedia pilihan pengobatan PPOK dengan nebulisasi yang dapat digunakan sekali sehari sehingga revefenacin diharapkan mampu membantu pasien PPOK untuk mendapatkan pengobatan nebulisasi sekali sehari untuk pertama kalinya” kata Rick E Winningham, ketua dan chief executive officer dari Theravance Biopharma (Mylan, 2018).
Uji klinik dilakukan pada 2 kelompok. Kelompok pertama melibatkan 32 pasien yang secara acak menerima dosis tunggal revefenacin (350 atau 700 μg), kontrol aktif ipratropium (500 ug) atau larutan inhalasi placebo yang diberikan melalui nebulizer dan kelompok kedua melibatkan 59 pasien secara acak menerima dosis tunggal revefenacin (22, 44, 88, 175, 350 atau 700 μg) atau plasebo selama 7 hari. Pada kelompok pertama revefenacin menunjukkan durasi kerja bronchodilator yang cepat ditunjukan dari hasil FEV1 yang signifikan lebih tinggi untuk revefenacin dan ipratropium dibandingkan dengan plasebo, dengan perbedaan 176,8 mL untuk revefenacin 350 μg, 162,2 mL untuk 700 μg revefenacin dan 190,6 mL untuk ipratropium. Hasil untuk kelompok kedua menunjukan nilai FEV1 pada Hari ke 7 secara signifikan lebih tinggi untuk semua dosis revefenacin dibandingkan dengan plasebo, dengan perbedaan mulai dari 53,5 mL (dosis 22 μg) hingga 114,2 mL (dosis 175 μg).
Hasil untuk endpoint spirometri konsisten untuk setiap penelitian, menunjukkan bahwa efek bronkodilator dari revefenacin berlangsung lebih dari 24 jam setelah pemberian nebulasi. Revefenacin cepat diserap dan dimetabolisme, diikuti oleh eliminasi yang lambat dan akumulasi minimal dengan dosis berulang (Quinn, 2018)
Sumber :
American Lung Association. 2016. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)”. Avaiable oneline at http://www.lung.org/lung-health-and-diseases/lung-disease-lookup/copd [Accessed 26 November 2018].
BPOM, I. (2017). Informatorium Obat Nasional Indonesia cetakan tahun 2017. Jakarta: Sagung Seto.
Center for Disease Control. 2018. COPD. Avaiable oneline at https://www.cdc.gov/copd/index.html [Accessed 26 November 2018].
Gunawan, S., & Setiabudy, R. (2011). Farmakologi dan Terapi (5th ed.). Jakarta: FKUI.
Mosenifar, Zab et al. 2018. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Available at: https://emedicine.medscape.com/article/297664-overview#a3 [Diakses 26 November 2018].
Mosenifar, Zab et al. 2018. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Available at: https://emedicine.medscape.com/article/297664-overview#a3 [Diakses 26 November 2018].
Mylan. 2018. Theravance Biopharma and Mylan Receive FDA Approval for YUPELRI™ (revefenacin) in Adults with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Avaiable online at http://newsroom.mylan.com/2018-11-09-Theravance-Biopharma-and-Mylan-Receive-FDA-Approval-for-YUPELRI-TM-revefenacin-in-Adults-with-Chronic-Obstructive-Pulmonary-Disease [Accessed 26 November 2018].
Quinn, Dean., Barnes, Christopher N., Yates, Wayne., Bourdet, David L., Moran, Edmund J., Potgieter, Peter., Nicholls, Andrew., Haumann, Brett., Singh, Dave. 2018. Pharmacodynamics, pharmacokinetics and safety of revefenacin (TD-4208), a long-acting muscarinic antagonist, in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD): Results of two randomized, double-blind, phase 2 studies. Pulmonary Pharmacology & Therapeutics, 48 : 71 – 79. DOI : https://doi.org/10.1016/j.pupt.2017.10.003.
WHO. 2017. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Available at: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-pulmonary-disease-(copd) [Diakses 26 November 2018].
Penulis : Rossi F, Fairuzati A, Derif A.A
Alif V.B, Hani N, Amelia H., Wenni Pakpahan (Mahasiswa Program Studi Sarjana Farmasi, Universitas Padjadjaran)