Majalah Farmasetika (V1N6-Agustus 2016). Setelah terbongkarnya beberapa kasus terkait kefarmasian beberapa bulan terakhir, meliputi kasus vaksin palsu dan peredaran obat-obat ilegal, Kementrian Kesehatan memutuskan untuk mengkaji ulang tiga peraturan menteri kesehatan (permenkes) terkait pelayanan kefarmasian.
Permenkes yang kemudian mengalami perubahan yaitu Permenkes Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Permenkes Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan Permenkes Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Perubahan-perubahan yang dibuat kemudian dicantumkan dalam tiga permenkes Baru, yaitu
- Permenkes No. 36 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Status: mengubah Permenkes No 30 tahun 2014. (Download/Unduh)
- Permenkes No. 35 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Status: mengubah Permenkes No. 35 tahun 2014. (Unduh)
- Permenkes No. 34 tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Status: mengubah Permenkes No. 58 Tahun 2014. (Unduh)
Peranan BPOM dalam pengawasan sediaan farmasi dipertegas di aturan Permenkes terbaru
Perubahan dalam ketiga peraturan tersebut pada umumnya sama, yaitu melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam proses pengawasan, pengelolaan, dan distribusi obat-obatan di apotek, puskesmas, dan rumah sakit.
Permenkes Nomor 34 dan 35 Tahun 2016 menambahkan satu poin pada Pasal 1 dan menyisipkan tiga pasal tambahan (Pasal 9A, 9B, dan 9C) pada Permenkes 58 dan 35 Tahun 2014, berturut-turut, sedangkan Permenkes Nomor 36 Tahun 2016 juga menambahkan satu poin pada Pasal 1 dan menyisipkan tiga pasal tambahan (Pasal 8A, 8B, dan 8C) pada Permenkes Nomor 30 Tahun 2014.
Poin yang ditambahkan pada Pasal 1 masing-masing Permenkes tersebut berbunyi,
“Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.”
Pasal-pasal yang disisipkan pada masing-masing Permenkes tersebut mencakup 3 poin, yaitu:
- Pengawasan dalam pengelolaan sediaan farmasi, selain dilaksanakan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, juaga dilakukan oleh Kepala BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Selain pengawasan, Kepala BPOM dapat melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan sediaan farmasi.
- Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, yang juga dilakukan oleh Kepala BPOM, dilaporkan secara berkala kepada Menteri Kesehatan. Laporan dibuat dan disampaikan setidaknya sekali dalam setahun.
- Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga peraturan menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 8 Agustus 2016 di Jakarta.
Kemenkes keluarkan Permenkes baru terkait pemastian mutu obat
Selain tiga perubahan permenkes tersebut, pada tahun 2016 ini dikeluarkan pula Permenkes terkait pengujian mutu obat di instalasi farmasi pemerintah, yaitu Permenkes Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Uji Mutu Obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah (Unduh). Namun, beberapa penambahan dan perubahan dicantumkan pada Permenkes Nomor 33 Tahun 2016 tentang Uji Mutu Obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah (Unduh) dan Permenkes Nomor 2 Tahun 2016 dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan ini dibuat untuk mendukung pemastian mutu obat yang diadakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Beberapa poin penting yang tercantum dalam Permenkes Nomor 33 Tahun 2016 yang mulai berlaku pada tanggal 8 Agustus 2016 ini di antaranya:
- Penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah dilakukan dengan tahapan pengambilan sampel, uji laboratorium, dan pelaporan hasil uji. Pengujian mutu obat disesuaikan dengan prioritas sampling BPOM, yang ditentukan dengan mempertimbangkan usulan prioritas sampling dari instalasi yang bersangkutan. Pengambilan sampel dilaksanakan dengan koordinasi bersama Direktur Jendral (untuk instalasi farmasi milik Kementrian Kesehatan) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota (untuk instalasi farmasi milik pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota), paling lambat 10 hari kerja sebelum kegiatan pengambilan sampel.
- Obat yang dijadikan sampel meliputi semua jenis obat, terutama obat yang tercantum dalam Formularium Nasional dan obat program kesehatan. Kriteria obat yang dijadikan sampel antara lain cold chain product, obat yang tidak stabil atau mudah rusak, obat-obat life saving, dan obat-obat fast-moving. Jumlah dan jenis ditentukan dengan memperhitungkan aspek ketersediaan obat di instalasi yang bersangkutan. Jumlah sampel untuk sediaan padat maksimal 100 satuan terkecil, sediaan cair maksimal 18 wadah, dan sediaan semisolid maksimal 15 wadah.
- Setiap pengambilan sampel disertai Berita Acara Pengambilan sampel (BAP), Berita Acara Serah Terima (BAST), dan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) ditandatangani oleh petugas BPOM atau Balai Besar/Balai POM dan penanggung jawab instalasi yang bersangkutan.
- Hasil pelaksanaan uji mutu obat terdiri atas memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Penyampaian hasil pelaksanaan uji mutu obat dilakukan secara berkala setiap 3 bulan untuk hasil uji MS dan paling lambat 10 hari kerja sejak ditetapkan untuk hasil uji TMS. Terhadap hasil uji TMS, dilakukan penarikan dan pemusnahan. Perintah penarikan dan pemusnahan disampaikan kepada industri farmasi bersangkutan dengan tembusan Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota.
- Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan permenkes ini dilakukan oleh Menteri, Kepala BPOM, Kepala Balai Besar/Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Sumber : binfar.depkes.go.id