Download Majalah Farmasetika
fotosensitivitas
Antibiotik Pemicu Fotosensitivitas Obat yang Harus Diketahui Apoteker

Antibiotik Pemicu Fotosensitivitas Obat yang Harus Diketahui Apoteker

Manifestasi Klinis Fotosensitivitas
Area tubuh yang paling sering mengalami reaksi fotosensitivitas adalah area yang sering terpapar cahaya, seperti wajah, area tengkuk, kaki bagian depan, dan lengan bagian belakang. Reaksi ini biasanya menyerupai sengatan matahari parah disertai edema dan eritema. Pada kasus yang parah, dapat terbentuk lepuhan dan pasien akan mengeluhkan kulit terbakar, kulit lunak melepuh, dan nyeri. Hiperpigmentasi, yang merupakan hasil dari proliferasi atau deposisi melanosit akibat obat dan fotoproduknya, mungkin tidak akan hilang meski fase akut reaksi telah terlewati.

Manifestasi fotosensitivitas lain di antaranya:
• Foto-onikolisis: Terlepasnya kuku dari dasar kuku setelah paparan terhadap radiasi ultraviolet. Gejala ini terjadi paling sering akibat penggunaan tetrasiklin.
• Pseudoporfiria: Ditandai oleh lepuhan, kerapuhan kulit, luka gores, dan mudah lebam. Gejala ini dikaitkan dengan penggunaan tetrasiklin dan dapsone, pulih setelah penghentian obat pemicu reaksi.

Antibiotik yang Diketahui Menyebabkan Fotosensitivitas
Fluorokuinolon
Antibiotik ini menyebabkan fotosensitivitas dengan derajat yang bervariasi, sebagian besar menyebabkan reaksi fototoksik. Potensi fotosensitivitas meningkat dengan halogenasi pada posisi C-8 dan pada senyawa dengan waktu-paruh dan bioavailabilitas yang lebih lama. Sebaliknya, moxifloxacin dan gatifloxacin memiliki gugus metoksi pada posisi ini sehingga memiliki fotostabilitas yang paling baik. Levofloxacin dan ciprofloxacin, dua senyawa florokuinolon yang paling banyak digunakan saat ini, memiliki potensi fototoksil yang relatif rendah.

Turunan Tetrasiklin
Antibiotik ini sangat terkenal menyebabkan reaksi fototoksik. Manifestasi klinisnya meliputi sengatan matahari dan erupsi, diikuti dengan hiperpigmentasi residual. Selain itu, fotoonikolisis juga sering kali ditemukan, muncul beberapa minggu setelah paparan terhadap obat dan menyerang bagian distal pada satu kuku atau lebih. Perubahan warna kuku juga dapat terjadi.

Baca :  Waspada! Pemilih Ketua Kolegium Farmasi Bisa dari Akun Satusehat Palsu

Dari semua senyawa tetrasiklin, doksisiklin adalah sensitizer yang paling sering menyebabkan reaksi ini. Dosis dan intensitas UV-A menjadi penentu potensi fototoksik yang paling utama. Tetrasiklin menyebabkan pseudoporfiria. Minosiklin memiliki potensi yang rendah untuk menyebabkan fototoksisitas, tetapi dilaporkan terjadi fotoonikolisis.

Turunan Sulfonamid
Tidak seperti tetrasiklin dan fluorokuinolon yang utamanya melibatkan rentang UV-A, fotosensitivitas akibat obat-obat sulfonamid muncul pada rentang cahaya UV-B. Meskipun antibiotik sulfonamid aman dalam hal fotosensitivitas, diuretik yang mengandung sulfur dan obat-obat diabetes merupakan pemicu yang umum.

Sulfametoksazol, suatu komponen antibiotik kotrimoksazol yang banyak digunakan, terbukti menyebabkan fototoksisitas, begitu juga dapsone. Sulfasalazin, yang digunakan untuk artritis reumatoid, menyebabkan hiperpigmentasi pada kulit yang terpapar cahaya.

Informasi yang Harus Diberikan pada Pasien
Saat memberikan konseling pada pasien mengenai penggunaan antibiotik-antibiotik tersebut, tekankan untuk menghindari sinar matahari langsung atau sengaja berjemur. Jika menghindari sinar matahari tidak memungkinkan, sarankan untuk menggunakan pakaian tertutup dan menggunakan tabir surya spektrum luas dengan SPF setidaknya 30. Kompres dingin dan kortikosteroid topikal dapat direkomendasikan untuk sengatan matahari ringan, tetapi pasien harus berobat ke dokter jika reaksinya parah.

Sumber:

  1. http://www.pharmacytimes.com/contributor/thomas-szymanski-pharmd-candidate-2017/2016/08/drug-induced-photosensitivity-focus-on-antibiotics/P-1
  2. http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen_Fotosensitivitas%20karena%20Obat-obatan_4223_3767
  3. http://sehat-enak.blogspot.com/2010/02/reaksi-fotosensitivitas.html

Artikel Majalah Farmasetika ini termasuk kedalam artikel edisi khusus yang telah diterbitkan di http://jurnal.unpad.ac.id/farmasetika

Share this:

About Hafshah

Hafshah Nurul Afifah, S.Farm., Apt. meraih gelar sarjana dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran pada tahun 2012. Gelar apoteker diperoleh dari Program Studi Profesi Apoteker Universitas Padjadjaran pada tahun 2016. Tahun 2012 hingga 2013 bekerja full-time sebagai editor buku farmasi di CV. EGC Penerbit Buku Kedokteran dan hingga saat ini masih aktif sebagai editor dan penerjemah lepas. Penulis pernah bekerja sebagai ASN di Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Maret 2019-Juni 2020 sebagai Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Pertama (analis laboratorium vaksin), namun saat ini kembali bekerja sebagai Spv. Registration Officer di sebuah industri farmasi swasta di Bandung.

Check Also

Pasca Visitasi LAM-PTKes, Unpad Siap Buka Program Spesialis Farmasi Nuklir

Majalah Farmasetika – Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) akan segera membuka program studi baru, yaitu …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.