farmasetika.com – Perkembangan teknologi digital mendorong perubahan dalam segala hal, termasuk bisnis apotek. Selain itu, hadirnya BPJS Kesehatan juga menjadi faktor pemicu perubahan yang bila tidak disikapi dengan baik berpotensi disruptif bagi pelayanan kesehatan konvensional.
Apotek bukanlah seperti supermarket obat
Prospek apotek di Indonesia masih sangat cerah, secara pribadi saya percaya itu. Namun tetap saja diperlukan manajemen yang baik untuk mengelola apotek di tengah rimba persaingan yang semakin ketat.
Yang perlu disadari adalah apotek bukanlah atau tidak sama dengan supermarket obat. Apotek bukan toko serba ada yang dimaksudkan untuk menyediakan produk-produk farmasi secara lengkap. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker, dalam hal ini Apoteker Pengelola Apotek atau biasa disingkat APA.
Profesi apoteker dan omset di Apotek
Profesi ini sedang mengalami redefinisi peran setelah sekian lama peran dan fungsinya nyaris tidak terlihat dalam realitas sistem kesehatan kita. Mirisnya, hal itu lebih banyak disebabkan salah langkah sebagian oknum apoteker sendiri di masa silam. Jamak di masyarakat, apoteker hanya ada di apotek setiap hari ketiga puluh alias sebulan sekali. Sebagian oknum apoteker hanya ’menjual nama’ untuk legalisasi persyaratan administratif apotek lalu menyerahkan sepenuhnya pengelolaan apotek pada pemilik sarana apotek.
Di sisi lain, penghargaan atau rasa kebutuhan terhadap apoteker biasanya (dan memang lebih mudah) diukur dari omset apotek. Omset mesti diakui tetaplah aspek penting kalaulah bukan yang utama dalam pengelolaan apotek. Untuk merebut pasar, apotek harus mampu mencuri hati konsumen, mengenali kebutuhannya, lalu memberi solusi.
Sebagai konsumen, cara paling mudah untuk mengukur mutu pelayanan suatu apotek adalah menanyakan pertanyaan sederhana pada petugas yang sedang bertugas di apotek tersebut, “Apotekernya ada tidak?”. Apotek yang baik tentu dikelola oleh ahlinya, seseorang yang dididik dan dilatih secara khusus mengenai obat-obatan dan pengelolaannya. Jika apotekernya tidak ada, tentu memunculkan sebuah pertanyaan, seperti apa pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh yang bukan ahlinya?
Di kota Ternate, tenaga apoteker PNS diwajibkan untuk bergiliran jaga di apotek binaan Dinas Kesehatan. Sebuah upaya agar peran dan tugas fungsi yang selama ini terabaikan dapat mendapat tempat secara riil dan terasa manfaat dalam masyarakat.
Pelayanan kefarmasian bukan sekedar menjual obat
Apotek memang bukan satu-satunya wadah bagi apoteker untuk berkiprah. Sebuah sarana yang unik karena memiliki beberapa aspek yang bisa jadi berseberangan, aspek bisnis dan aspek sosial. Untuk itu, APA pun dituntut memiliki kualifikasi yang mumpuni untuk mengelola apotek, kemampuan dasar kefarmasian, komunikasi interpersonal dengan karyawan dan pelanggan apotek, kemampuan manajerial dalam mengelola apotek yang bukan cuma didapat dari bakat alami tapi dari pendidikan, pelatihan dan pengalaman. APA ideal tentunya tidak hanya product oriented, patient oriented atau profit oriented, tapi ketiganya sekaligus.
Pelayanan kefarmasian bukan sekadar menjual obat dan mengerjakan resep, namun termasuk konsultasi kefarmasian dan penjaminan mutu pengobatan. Jika mendapati kejanggalan pada resep misalnya, apoteker dapat berkata “resep ini sungguh tak wajar” dan mengkonfirmasi ke dokter yang menuliskan. Karena itu pelayanan kefarmasian adalah sebuah pekerjaan penuh nilai yang memang hanya mampu dilakukan oleh profesi yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Maka saat doa dan ucapan selamat dilantunkan kepada para wisudawan seiring diserahkannya ijazah tanda kelulusan, sebuah pertanyaan dapat disampaikan dengan nada yang enak didengar “Mau jadi APA?”, dan jawabannya akan terucap mantap. “Ya, tentu saja.”
Daftar Pustaka
- https://swa.co.id/swa/trends/bisnis-apotek-kimia-farma-di-tengah-era-disruptif
- Republik Indonesia (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek. Jakarta : Sekretariat Negara