Majalah Farmasetika – Wabah dengan dampak yang luar biasa seperti COVID-19 menyegarkan ingatan kita tentang vitalnya komunikasi risiko dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat untuk melindungi diri sendiri tanpa menimbulkan kepanikan.
Perkembangan teknologi informasi telah menata ulang cara kita berkomunikasi satu sama lain. Akselerasi daya jangkau media massa dan internet membuat diseminasi informasi menjadi jauh lebih mudah dan cepat. Perdebatan bentuk bumi sudah selesai di dunia maya. Bumi jelas-jelas kembali menjadi ‘datar’ di era web 2.0 yang mengusung semangat egaliter, keterbukaan, dan partisipasi publik.
Kemudahan diseminasi informasi adalah kelemahan sekaligus kelebihan internet. Sebagian pengguna internet dan media sosial sering kali menyebarkan berita tanpa berfikir untuk memvalidasi kebenaran berita yang disampaikan. Tak utuhnya informasi dapat menimbulkan persepsi menyimpang yang dalam ranah pengobatan dapat menjelma menjadi bencana mengerikan. Melimpahnya arus informasi dapat menjelma “infodemik” atau banjir informasi yang menyulitkan kita untuk memilah mana informasi yang layak dipercaya dan mana yang tidak.
Tantangan dalam bidang komunikasi juga dipengaruhi aspek budaya yang beragam. Budaya komunikasi konteks tinggi seperti Jepang atau Korea Selatan misalnya sangat kaya dengan makna yang tidak selalu disampaikan secara tersurat. Sementara budaya negara-negara di Amerika atau Eropa cenderung menerapkan komunikasi konteks rendah yang relatif lugas.
Komunikasi kesehatan dapat hadir dalam berbagai bentuk seperti proses penyampaian pesan dari tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker atau perawat kepada pasien. Atau misalnya ketika penyuluh kesehatan menyampaikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada masyarakat. Selain itu dapat juga ketika suatu organisasi seperti Kementerian Kesehatan meluncurkan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PISPK) melalui berbagai kanal komunikasi.
Tujuan komunikasi kesehatan adalah untuk menyampaikan informasi kesehatan dan memengaruhi orang lain secara kognitif, afektif dan psikomotorik menuju perilaku hidup sehat atau menjauhi perilaku yang berisiko terhadap kesehatan. Misalnya kebijakan pencantuman label peringatan bergambar pada kemasan rokok di Indonesia.
Buku setebal 140 halaman yang diterbitkan oleh Prenadamedia Group ini adalah karya kolaborasi antara Fajar Junaedi dan Filosa Gita Sukmono. Keduanya merupakan dosen ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Buku ini mengulas konsep-konsep dasar komunikasi, aksioma komunikasi, elemen-elemen komunikasi, macam-macam model komunikasi serta penerapannya dalam bidang kesehatan dengan berbagai contoh kasus. Namun pemaparan studi kasusnya masih relatif sedikit padahal banyak insiden-insiden yang dapat dibedah lebih dalam seperti kasus vaksin palsu, label dan iklan susu kental manis atau berbagai insiden lain terkait komunikasi dalam bidang kesehatan.
Selain itu ada sedikit hal yang mengganjal dalam buku ini, yaitu masih digunakannya istilah Departemen Kesehatan, padahal istilah Kementerian Kesehatan telah lama digunakan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Kehadiran buku ini dapat menjadi oase referensi terkait komunikasi kesehatan yang belum banyak tersedia. Perguruan tinggi di Indonesia juga masih jarang yang menawarkan konsentrasi komunikasi kesehatan dalam program paska sarjananya.
Program pembangunan kesehatan adalah suatu upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang relatif akan lebih mudah tercapai ketika dalam pelaksanaannya tidak hanya memandang masyarakat semata sebagai penerima, namun juga sebagai aktor utama perubahan yang aktif turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu faktor penunjangnya adalah tentang bagaimana menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat dengan latar belakang yang beragam.