Majalah Farmasetika – Di beberapa negara, apoteker merupakan salah satu profesi yang paling dipercaya publik. Menurut salah satu jajak pendapat yang diadakan Gallup di Amerika Serikat, apoteker menempati urutan keempat untuk kejujuran dan standar etika di antara profesi lainnya. Sekitar 64% responden pada jajak pendapat tersebut memberikan penilaian ‘tinggi’ atau ‘sangat tinggi’ untuk apoteker [1].
Studi yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa 87% dari 1.160 responden percaya kepada apoteker [2]. Sementara itu, dari NAB Pharmacy survey di Australia, apoteker menempati posisi ketiga untuk profesi yang sangat dipercaya masyarakat, setelah dokter dan perawat. Satu dari tiga orang Australia juga berpendapat bahwa apoteker merupakan profesi yang sangat penting untuk kesehatan mereka [3].
Apoteker memiliki setidaknya tiga unsur yang dibutuhkan untuk dapat dipercaya publik [4].
Pertama, apoteker membangun hubungan yang positif dengan pasien dengan mendengarkan dan merespons kebutuhan pasien.
Kedua, apoteker memiliki kompetensi dan keahlian yang dibangun dari pendidikan formal dan pendidikan profesional berkelanjutan.
Ketiga, apoteker konsisten memberikan pelayanan kepada masyarakat, bahkan dengan jam operasional lebih panjang dibandingkan layanan kesehatan lainnya.
Meski belum ada survei skala besar serupa di Indonesia, tahun ini apoteker Indonesia seolah diingatkan untuk menempatkan kepercayaan publik terhadap profesinya sebagai prioritas.
Hal ini sejalan dengan tema Hari Apoteker Sedunia yang baru saja diperingati tanggal 25 September lalu. ‘Apoteker selalu dipercaya untuk kesehatan Anda’ merupakan tema yang sangat relevan di tengah simpang siurnya informasi kesehatan, apalagi di masa pandemi COVID-19 ini.
Pandemi COVID-19 memunculkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat. Menurut Edelman Trust Barometer 2021, masyarakat global mengalami penurunan kepercayaan terhadap berbagai sumber informasi dibandingkan tahun sebelumnya. Meski menganggap bahwa peningkatan literasi media informasi lebih penting, ternyata hanya 1 dari 4 orang yang memiliki kemampuan penanganan informasi yang baik (good information hygiene). Menariknya, kemampuan penanganan informasi yang buruk dapat memperburuk pandemi COVID-19. Masyarakat yang memiliki penanganan informasi yang buruk juga cenderung enggan untuk divaksinasi, sementara vaksinasi merupakan salah satu langkah penting untuk meningkatkan imunitas masyarakat terhadap COVID-19 [5].
Di Indonesia, akses informasi yang semakin mudah tanpa diikuti dengan kemampuan untuk memilah informasi memicu miskonsepsi masyarakat terhadap penanganan COVID-19. Pada bulan Juli lalu, masyarakat menyerbu Ivermectin di apotek maupun online marketplace, bertepatan dengan gelombang kedua yang melanda Indonesia [6,7]. Padahal Ivermectin belum didukung bukti klinis yang kuat untuk dapat digunakan sebagai terapi COVID-19. Beberapa waktu sebelumnya, Deksametason menjadi obat yang paling dicari masyarakat karena dapat mencegah COVID-19 [8]. Tanpa indikasi yang sesuai, Deksametason dapat menyebabkan berbagai efek samping yang merugikan.
Apoteker harus berperan aktif dalam melawan misinformasi obat, khususnya di masa pandemi ini. Setidaknya ada dua langkah yang dapat dilakukan apoteker untuk mengatasi penyebaran informasi yang salah kaprah [9].
Pertama, apoteker perlu proaktif mencegah penyebaran misinformasi. Umumnya, pasien ingin perasaan khawatir, takut, dan frustrasinya divalidasi. Apoteker harus mengenali emosi negatif yang muncul dari seseorang yang membawa misinformasi ini. Selanjutnya, apoteker harus secara aktif menyampaikan informasi yang benar. Informasi ini perlu disampaikan dengan jelas dan berulang-ulang agar mengurangi pengaruh misinformasi yang beredar.
Kedua, apoteker harus memberikan reaksi yang tepat terhadap misinformasi. Saat berhadapan dengan sumber informasi tertentu, apoteker harus mengecek keterkinian, relevansi, otoritas, akurasi, dan tujuan informasi tersebut. Apoteker juga harus menyajikan penjelasan alternatif yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat.
Apoteker harus menyadari kompetensi dan keahliannya di bidang obat-obatan. Dengan terus mengasah kompetensinya, apoteker siap untuk menghadapi misinformasi terkait obat dan menjadi profesi yang dipercaya masyarakat.
Apoteker juga perlu berkolaborasi dengan profesi kesehatan lainnya seperti dokter, perawat, dan praktisi kesehatan masyarakat mengingat sifat informasi COVID-19 adalah kompleks dan multidisipliner. Dengan demikian, diharapkan kepercayaan publik terhadap apoteker Indonesia pun semakin kuat, meski di tengah masa pandemi ini.
Referensi:
[1] Reinhart R. Nurses Continue to Rate Highest in Honesty, Ethics. Gallup n.d. https://news.gallup.com/poll/274673/nurses-continue-rate-highest-honesty-ethics.aspx (accessed September 30, 2021). [2] Andalo D. The public trusts pharmacists but not to the same degree as other health professionals, survey shows. Pharm J n.d. https://pharmaceutical-journal.com/article/news/the-public-trusts-pharmacists-but-not-to-the-same-degree-as-other-health-professionals-survey-shows (accessed September 30, 2021). [3] The Guild. NAB Pharmacy Survey 2021. Pharm Guild Aust n.d. https://www.guild.org.au/news-events/news/forefront/v11n12/nab-pharmacy-survey-2021 (accessed September 30, 2021). [4] International Pharmaceutical Federation (FIP). World Pharmacist Day 2021 Fact Sheet. 2021. [5] Edelman. Edelman Trust Barometer 2021. 2021. [6] Septiana S. Apotek di Bandung Jual Ivermectin yang Lagi Diuji Jadi Obat Covid-19, Harus Pakai Resep Dokter. Trib Jabar 2021. https://jabar.tribunnews.com/2021/06/29/apotek-di-bandung-jual-ivermectin-yang-lagi-diuji-jadi-obat-covid-19-harus-pakai-resep-dokter (accessed September 30, 2021). [7] Naraswari SL. Obat Ivermectin Laris Diburu Online, Harganya Capai Rp 550.000 per Setrip. Kompas 2021. https://foto.kompas.com/video/read/2021/6/30/c9d71625052046838a2732/obat-ivermectin-laris-diburu-online-harganya-capai-rp-550000-per-setrip (accessed September 30, 2021). [8] Sulistyawati RL, Mabruroh, Antara. Waspada Penggunaan Obat Covid-19 yang Kini Laku Keras. Republika 2020. https://internasional.republika.co.id/berita/qcogw7409/waspada-penggunaan-obat-covid-19-yang-kini-laku-keras (accessed September 30, 2021). [9] Marwitz KK. The pharmacist’s active role in combating COVID-19 medication misinformation. J Am Pharm Assoc (2003) 2021;61:e71–4. https://doi.org/10.1016/j.japh.2020.10.022.