Farmasetika.com – Sebelum membahas emulsi, ada baiknya ketahui terlebih dahulu apa itu tegangan permukaan dan tegangan antarmuka. Secara singkat tegangan permukaan adalah tegangan yang terjadi antarmuka dari fase gas dengan fase padat serta antara fase gas dengan fase cair, sedangkan tegangan antarmuka adalah tegangan yang terjadi pada permukaan antar dua fase. Misalnya, antara fase cair-fase padat, antara fase padat-fase padat dan antara fase cair-fase cair. Sedangkan (Sinala, 2016).
Definisi emulsi
Dalam bidang Farmasi, dikenal sediaan emulsi. Dimana emulsi merupakan sediaan hasil campuran antara minyak dan air.
Lalu, apa hubungan tegangan permukaan/tegangan antarmuka dengan emulsi? Mari kita lanjut. Seperti kita ketahui bahwa minyak dan air tidak dapat saling bercampur, padahal bukankah minyak dan air sama-sama berwujud cairan. Nah, apasih yang menyebabkan minyak dan air tidak dapat bercampur? Hal ini disebabkan karena adanya tegangan antarmuka di antara kedua jenis zat ini, di mana molekul minyak saling tarik menarik satu sama lain (kohesi) dan tolak menolak dengan molekul air (adhesi) begitu juga sebaliknya pada molekul minyak sehingga tercipta perbedaan tegangan yang memisahkan mereka.
Dapatkah disatukan? Suatu bahan yang disebut surfaktan, bekerja menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air, mengakibatkan butiran minyak dan butiran air dapat bersatu membentuk sebuah emulsi. Surfaktan adalah salah satu bahan penolong untuk membuat emulsi, berfungsi untuk menstabilkan zat atau bahan aktif terlarut dalam minyak atau air yang diemulsikan. Bahan aktif permukaan terdiri dari bagian yang suka minyak dan bagian yang suka air.
Kejadian yang harus diperhatikan pada sediaan emulsi
Menurut Hadning (2011), kejadian yang harus diperhatikan pada sediaan emulsi adalah terbentuknya koalesensi yaitu peristiwa ketidakstabilan emulsi dikarenakan penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. Ketidaksempurnaan pelapisan globul ini dapat disebabkan antara lain konsentrasi emulgator yang digunakan belum mencukupi untuk menyelimuti globul-globul atau pengembangan emulgator yang belum sempurna sehingga proses pembentukan lapisan multimolekular belum sempurna. Kejadian lain yang mungkin terjadi adalah sistem emulsi yang terbentuk kurang kental, sehingga globul-globul tidak dapat dipertahankan tetap pada posisinya. Akibatnya laju sedimentasi akan meningkat dan diperoleh emulsi yang tidak stabil. kejadian yang harus diperhatikan pada sediaan emulsi selanjutnya adalah terbentuknya creaming yang terjadi karena globul-globul sejenis saling bergabung kembali sehingga pada emulsi terbentuk lapisan-lapisan dengan kerapatan massa yang berbeda-beda. Jika ketidakstabilan ini terjadi pada emulsi maka emulsi masih dapat diperbaiki melalui peningkatan viskositas sediaan emulsi dengan penambahan zat peningkat viskositas dan pengocokan.
Menurut Nonci, dkk (2016), suhu selama penyimpanan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu emulsi. Efek normal penyimpanan suatu emulsi pada suhu yang lebih tinggi adalah mempercepat koalesensi dan terjadinya creaming dan hal ini biasanya diikuti dengan perubahan kekentalan. Hal ini juga terlihat pada semua formula krim dimana krim menjadi lebih encer pada suhu penyimpanan 35°C dan menjadi lebih kental pada suhu penyimpanan 5°C. Bahkan pemberian stress condition ini menjadikan ketidakstabilan krim nonionik dalam hal terbentuknya kriming.
Apakah sediaan emulsi saya rusak?
Sediaan emulsi dikatakan rusak jika terjadi ketidakstabilan emulsi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu koalesensi dan creaming. Koalesensi bersifat ireversibel, dimana pecahnya emulsi karena adanya penggabungan partikel-partikel kecil fase terdispersi membentuk lapisan atau endapan tidak dapat terbentuk kembali seperti semula melalui pengocokan. Sedangkan creaming bersifat reversibel, ketika terbentuknya dua lapisan emulsi yang memiliki viskositas yang berbeda dapat didistribusikan kembali melalui pengocokan. Menurut Murtiningrum dkk (2013) kerusakan emulsi terjadi karena emulsi mengalami deemulsifikasi yang ditandai dengan butiran-butiran lemak mulai tampak mengapung di permukaan emulsi dan lama kelamaan terlihat dengan jelas terpisahnya fase minyak dan air.
Sediaan emulsi yang rusak dan bagus dapat diamati dari penampakan organoleptiknya, pada emulsi yang rusak terlihat sistem emulsi menjadi dua fase, terjadi endapan yang tidak dapat menyatu kembali meskipun dilakukan pengocokan, dan berbau tengik. Sedangkan pada emulsi yang bagus emulsi terlihat seperti satu fase meskipun terdapat sedikit endapan dapat menyatu kembali dengan sedikit pengocokan.
Lalu, bagaimana peranan ahli farmasi terhadap kestabilan sediaan emulsi?
Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya atau umur simpan suatu produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat dan karakteristik yang sama seperti pada waktu pembuatan. Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang amat penting untuk suatu hasil produksi yang baik. Ketidakstabilan produk obat dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sampai dengan hilangnya khasiat obat, obat dapat berubah menjadi toksik atau terjadinya perubahan penampilan sediaan (warna, bau, rasa, konsistensi dan lain-lain) yang akibatnya merugikan bagi si pemakai. Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui perubahan sifat fisika, kimia serta penampilan dari suatu sediaan farmasi (Deviarny dkk, 2012).
Seorang ahli farmasi harus mampu merancang, merumuskan, dan membuat formulasi suatu sediaan farmasi yang aman dan berkhasiat. Selain hal tersebut, kestabilan sediaan farmasi juga perlu diperhatikan karena penting dalam penentuan ketahanan sediaan selama proses penyimpanan. Kestabilan sediaan emulsi dapat bergantung pada pemilihan dan konsentrasi emulgator atau surfaktan yang digunakan, seperti yang dijelaskan pada beberapa penelitian di bawah ini.
Hadning (2011), membuat formulasi emulsi oral minyak kelapa murni menggunakan emulgator alam PGA, xanthan gum, veegum, serta kombinasi xanthan gum dan veegum dengan berbagai konsentrasi, kemudian ditentukan jenis dan konsentrasi emulgator yang optimum untuk formula emulsi. Optimum di sini berarti sediaan yang dihasilkan stabil (tidak terjadi pemisahan fasa), pertumbuhan mikroorganisme lambat, dan menarik dari segi estetika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula emulsi oral minyak kelapa murni dengan penampilan dan stabilitas fisik yang paling baik adalah formula menggunakan emulgator PGA 20%.
Pengon dkk (2013) membuat formulasi nanoemulsi yang mengandung minyak kedelai menggunakan berbagai jenis dan jumlah surfaktan (Tween 60, Cremophor RH-40, natrium lauril sulfat (SLS) dan Lutrol F-127). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dan jumlah surfaktan mempengaruhi formasi dan stabilitas fisik nanoemulsi. Nanoemulsi yang mengandung minyak kedelai dengan menggunakan Cremophor RH-40 sebagai surfaktan menunjukkan ukuran seragam dan stabilitas yang baik.
Nonci dkk (2016) membuat formulasi krim susu kuda sumbawa dengan menggunakan emulgator nonionik dan anionik. Formulasi krim susu kuda Sumbawa dengan emulgator anionik menunjukkan stabilitas fisik yang baik dalam penyimpanannya berdasarkan hasil pengamatan organoleptis, tipe emulsi, kriming, viskositas, daya sebar, dan pH dibandingkan dengan emulgator nonionik yang kurang baik dalam penyimpanan. Diamati kedua emulgator anionik dan nonionik dengan konsentrasi 2%, 3%, dan 4% diperoleh stabilitas fisik yang baik pada emulgator anionik dengan konsentrasi 4%.
Penelitian tersebut membuktikan bahwa pemilihan emulgator maupun surfaktan dengan konsentrasi yang tepat dapat menghasilkan stabilitas fisik yang baik dari sediaan emulsi. Hal tersebut dapat terwujud dengan adanya kecakapan ahli farmasi dalam pemilihan emulgator maupun surfaktan untuk formulasi suatu sediaan emulsi.
Contoh produk emulsi komersil
Contoh sediaan emulsi yaitu diantaranya:
- Oral, contoh: scott emulsion, curcuma plus, curvit
- Topical, contoh: dermacare emollient cream
Saran Untuk Konsumen
Disarankan bertanya kepada apoteker dalam penentuan dan penggunaan sediaan farmasi, untuk meminimalisir kekeliruan penggunaan sediaan farmasi. Konsumen harus memperhatikan expired date apakah masih berlaku, perhatikan juga sediaan emulsi sebelum digunakan apakah terdapat pemisahan fase menjadi dua bagian atau tidak. Jika sediaan emulsi terdapat sedikit pemisahan atau terdapat butiran butiran minyak atau air, lakukan pengocokan ringan sampai sediaan tercampur merata. Jika tidak mampu menyatu menandakan sediaan emulsi tersebut rusak dan disarankan tidak digunakan kembali, karena takutnya zat aktif obat tidak tersebar merata yang dapat memicu kejadian kelebihan dosis atau kekurangan dosis akibatnya terjadi kegagalan terapi.
Referensi:
Deviarny C, Lucida H, & Safni. 2012. Uji Stabilitas Kimia Natrium Askorbil Fosfat Dalam Mikroemulsi Dan Analisisnya Dengan HPLC. Jurnal Farmasi Andalas, 1(1). pp.1-6.
Hadning I. 2011. Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Oral Emulsi Virgin Coconut Oil. Mutiara Medika, 11(2). pp.88-100.
Murtiningrum, Sarungallo Z.L, Cepeda G.N, & Olong N. 2013. Stabilitas Emulsi Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus L) Pada Berbagai Nilai Hydrophile-Lyphophile Balance (HLB) Pengemulsi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 23(1). pp.30-37.
Nonci F.Y, Tahar N, & Aini Q. 2016. Formulasi Dan Uji Stabilitas Fisik Krim Susu Kuda Sumbawa Dengan Emulgator Nonionik Dan Anionik. JF FIK UINAM, 4(4). pp.169-178.
Pengon S, Limmatvapirat C, Sriamornsak P, & Limmatvapirat P. 2013. Factors Affecting Formation of Emulsions Containing Soybean Oil. Advanced Materials Research, Vol 747. pp 725-728.
Sinala S. 2016. Farmasi Fisik. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.